Cerita Perubahan

Bangkit Harapan di Tengah Letusan: Kisah Livi dan Alvin Belajar Lebih Nyaman di Sekolah Darurat Lewotobi

“Opa melihat rumah di atas sudah habis terbakar. Opa sangat sedih.”

Livi*, anak perempuan usia 11 tahun di Flores Timur, hanya sanggup mengenang momen terakhir itu dari sudut pandang sang kakek. Ketika mendengar kabar rumahnya hancur, ia dan keluarganya sudah sampai ke tempat yang lebih aman, jauh dari lelehan magma dan abu vulkanik Gunung Lewotobi Laki-laki. Hari-harinya  bermain dan belajar tidak sama lagi. Ia tak bisa kembali lagi ke rumahnya dan harus mengungsi bersama ribuan keluarga dan anak-anak lain.

Alvin*, anak laki-laki usia 13 tahun dari desa dan sekolah yang sama dengan Livi, juga terdampak oleh letusan itu. Saat kejadian, ia terbangun, keluar rumah, dan melihat batu-batu pijar dan kilat dari puncak gunung. Ia dan keluarganya langsung bergegas mengambil pakaian dan barang-barang penting, kemudian pergi menyelamatkan diri menggunakan mobil.

“Kami melihat hujan belerang, batu-batu berguling, batu yang menindih rumah,” kata Alvin.

Tengah malam, pada 3 November 2024, Gunung Api Lewotobi Laki-laki di Flores Timur meletus dengan kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kolom abu letusannya mencapai ketinggian 2.000 meter di atas puncak gunung, disertai kilat dan batu-batu pijar. Batu-batu pijar jatuh menghantam pemukiman warga di lereng. Rumah-rumah dan sekolah-sekolah hancur. Di salah satu sekolah misalnya, atap dan lantai berlubang besar, temboknya ambruk dan terbakar.

Salah satu ruang kelas di sekolah Livi dan Alvin yang hancur akibat erupsi gunung.

Letusan-letusan berikutnya masih terus terjadi hingga hari sehingga desa mereka telah menjadi kawasan rawan bencana yang tidak aman untuk ditinggali. Mereka tidak bisa pulang ke rumah dan bersekolah seperti biasa.

“Sedih karena ingat rumah, ingat peliharaan, dan ingat kenangan-kenangan di kampung,” kata Alvin.

“Saya menggambar emoji pertama, emoji sedih karena rumah saya terbakar,” kata Livi.

Alvin dan Livi mengenang bencana itu dengan sangat jelas. Mereka sangat bersedih, tetapi sudah cukup terbuka untuk menceritakannya pada orang lain. Selama tiga bulan, mereka dan keluarga telah berpindah tempat tinggal beberapa kali, sampai akhirnya tinggal di hunian sementara (huntara) yang dibangun oleh pemerintah dan lembaga non pemerintah di atas tanah milik para warga yang bermurah hati membantu.

Anak-anak menceritakan perasaan senang dan sedih mereka melalui gambar dalam sesi dukungan psikososial di salah satu ruang sekolah darurat baru yang dibangun Save the Children dan mitra.
Anak-anak menceritakan perasaan senang dan sedih mereka melalui gambar dalam sesi dukungan psikososial di salah satu ruang sekolah darurat baru yang dibangun Save the Children dan mitra.

Save the Children Indonesia, melalui mitra lokal CIS Timor, YPPS Larantuka, dan PMPB NTT, memberikan dukungan kepada warga terdampak erupsi dengan program respons dan pemulihan, berfokus di sektor pendidikan, psikososial, dan sanitasi.

Di pengungsian, Livi, Alvin, dan kawan-kawan mereka telah melanjutkan sekolah di tenda-tenda darurat di belakang huntara. Namun, keterbatasan jumlah tenda membuat dua hingga tiga rombongan belajar harus bergabung di bawa satu tenda dan hanya dibatasi dengan sekat-sekat kain. 

“Udaranya panas dan susah konsentrasi karena kelas sebelah ribut,” tutur Livi. “Soalnya, kalau kami di sini diam, kelas sebelahnya ribut. Kalau kami di sini, dia di sebelah diam, kami di sini ribut, gitu.”

“Kami belajar dengan duduk di terpal dan menulis di meja kecil. Papan tulis juga kecil. Suasana panas, ribut, sempit,” kata Alvin.

Tenda belajar darurat pertama yang digunakan Livi, Alvin, dan kawan-kawan.

Untuk membantu Livi, Alvin, dan anak-anak lain menghadapi masa krisis ini, Save the Children bersama para mitra membangun ruang belajar sementara yang lebih aman dan nyaman. Bangunan sekolah darurat ini terbuat dari rangka besi, seng, dan tripleks, dirancang dengan memperhatikan sirkulasi udara yang baik, dibangun di dekat pepohonan, serta dilengkapi dengan meja, kursi, dan toilet air bersih baru. Sebelumnya, anak-anak juga telah mendapatkan paket perlengkapan sekolah berupa tas, buku dan alat tulis, sepatu, serta seragam.

“Hal yang saya paling sukai di sekolah baru ini adalah saya mendapatkan meja baru, kursi, dan tidak panas, tidak ribut, dan bisa belajar dengan baik,” kata Alvin.

Pada hari pertama belajar di sekolah darurat ini, Alvin, Livi, dan teman-teman kelasnya mengikuti kegiatan dukungan psikososial yang dipandu oleh guru kelas mereka. Guru-guru kelas ini telah dilatih oleh tim respons dari Save the Children dan CIS Timor supaya mereka dapat membantu anak-anak mengelola emosi dan mengatasi dampak psikologis selama masa krisis.

Anak-anak tampak gembira sepanjang hampir seluruh sesi. Mereka bernyanyi, bergerak, dan melakukan teknik relaksasi sederhana. Sebelum sesi terakhir, guru mengajak anak-anak mengekspresikan perasaan mereka melalui emoji. Mereka diminta menggambar emosi sebelum dan sesudah pindah ke sekolah baru. Tidak hanya perasaan sedih, tetapi juga perasaan senang.

Anak-anak kelas awal bernyanyi bersama guru dalam sesi dukungan psikososial pada hari pertama mereka menggunakan ruang belajar sementara yang baru.

“Saya menggambar emoji kedua, yaitu emoji senang karena mendapat sekolah baru, sekolah yang layak kami gunakan, sejuk, dingin, dan saya bisa konsentrasi saat belajar,” ungkap Livi. Ia bercita-cita menjadi guru karena menurutnya, guru baik hati dan bisa membantu anak-anak mencapai cita-cita mereka masing-masing.

“Senang karena mendapatkan sekolah baru dan bisa bermain dengan teman dari sekolah lain,” ungkap Alvin. Ia bercita-cita menjadi tentara supaya bisa dapat membantu masyarakat ketika dalam kesulitan.

Livi, Alvin, dan kawan-kawan mereka kini dapat kembali belajar dengan aman dan nyaman di sekolah darurat. Dengan ruang belajar yang lebih layak serta perlengkapan sekolah yang memadai, mereka bisa melanjutkan pendidikan dan membangun cita-cita mereka supaya menjadi kenyataan. Meskipun masih beradaptasi dengan lingkungan baru, semangat mereka untuk belajar tetap menyala, membawa asa baru di tengah masa pemulihan. 

Anak-anak sekolah dan relawan Save the Children Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan edukasi dan pemberdayaan anak-anak di komunitas pedesaan.
Seorang guru memandu murid-murid menyanyikan lagu terima kasih atas ruang belajar yang baru dalam acara peresmian.

*) Nama telah disamarkan karena alasan perlindungan anak.

Scroll to Top