Pembelajaran bagi anak-anak di Flores Timur terganggu setelah letusan gunung api Lewotobi Laki-Laki pada tanggal 3-4 November 2024. Menurut data Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana per Desember 2024, sebanyak 66 sekolah terdampak dan 5.383 siswa mengalami hambatan dalam belajar dan beraktivitas.
Pada saat erupsi terjadi, batu-batu pijar dengan berbagai ukuran menghantam pemukiman di lerang gunung, termasuk bangunan sekolah. Beberapa ruang kelas mengalami kerusakan parah, dengan lantai berlubang besar dan tembok roboh. Selain itu, batu-batu pijar juga menyebabkan kebakaran di beberapa ruang kelas.
Keluarga dan anak-anak di kawasan rawan bencana mengungsi ke tempat lain yang lebih jauh dan aman. Anak-anak dan guru melanjutkan kegiatan belajar mengajar di tenda-tenda darurat. Namun, keterbatasan jumlah tenda membuat dua hingga tiga kelas bergabung di bawah satu tenda bersekat-sekat. Ruang belajar sempit menjadikan suasana belajar tidak kondusif. Kondisi di dalam tenda juga panas dengan sirkulasi udara terbatas. Anak-anak merasa kepanasan, mudah kehausan, dan tidak nyaman saat belajar. Pihak sekolah membatasi pelajaran menjadi tiga jam saja hingga sebelum sinar matahari terlalu terik.


Sebuah langkah besar diambil agar anak-anak di sekitar Gunung Lewotobi Laki-laki tetap mendapatkan hak belajar dalam lingkungan yang aman dan nyaman. Save the Children bersama CIS Timor, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Larantuka, dan Perkumpulan Masyarakat Penanganan Bencana (PMPB) NTT membangun ruang belajar sementara bagi anak-anak di tengah kondisi krisis.
Bangunan sekolah darurat ini terbuat dari rangka besi, seng, dan tripleks, dirancang dengan memperhatikan sirkulasi udara yang baik, serta dibangun di area dekat pepohonan. Selain itu, tim respons juga menyediakan meja dan kursi tambahan yang dibuat oleh salah satu SMK di Flores Timur.
Pembangunan sekolah darurat ini mendapatkan dukungan dari Komunitas Pahlawan Anak (KPA). Komunitas Pahlawan Anak adalah wadah bagi individu yang peduli dan mendukung upaya pemenuhan hak-hak anak dengan berkontribusi secara finansial bagi keberlanjutan program Save the Children. Karena itu, ruang belajar sementara ini dinamakan Sekolah Komunitas Pahlawan Anak dan menjadi sekolah darurat pertama yang dibangun dengan dukungan KPA. Tanahnya sendiri adalah milik salah satu warga yang bermurah hati meminjamkan lahannya sebagai lokasi sekolah darurat.
Saat ini, tiga ruang kelas baru telah berdiri dan telah digunakan oleh anak-anak. Anak-anak memulai hari pertama di ruangan baru ini dengan kegiatan dukungan psikososial (PSS), dipandu oleh para guru yang telah dilatih oleh tim respons. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu anak-anak meregulasi emosi selama krisis terjadi.
“Senang ada kelas baru. Tidak panas seperti di tenda, tidak berisik, dan kami lebih konsentrasi belajar,” ungkap Ina*, salah satu murid kelas 4 SD.




Acara peresmian dan serah terima sekolah berlangsung pada Selasa, 25 Februari 2025. Berbagai pihak turut hadir, termasuk Kepala Dinas Pendidikan Flores Timur, Kepala Desa di area pengungsian, perwakilan beberapa sekolah, perwakilan masyarakat, serta perwakilan dari CIS Timor, YPPS Larantuka, PMPB NTT, dan Save the Children Indonesia.
Dalam acara serah terima, Ade Ndoen, manajer program dari CIS Timor, menjelaskan bagaimana pembangunan ruang kelas darurat ini bermula.
“Kita lihat kondisi anak yang belajar dalam tenda darurat yang tidak kondusif. Jadi, kami gerak untuk membangun ruang kelas atau temporary learning space ini yang lebih nyaman. Kami kolaborasi, ajak pihak-pihak lain. Dari tanah, besi, bangunan sampai meja kursi,” ujar Ade.
Dalam sambutannya,Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Flores Timur Felix Suban Hoda mengungkapkan rasa syukurnya atas inisiatif ini.
“Kami sangat mengapresiasi dukungan dari berbagai pihak dalam membangun ruang kelas ini. Sebelumnya, anak-anak harus belajar di tenda yang panas dan kurang kondusif. Dengan adanya Sekolah Komunitas Pahlawan Anak, mereka kini memiliki tempat yang lebih layak,” ungkap Felix.
Senada dengan itu, Mahyuddin Hatma, manajer program dari Save the Children Indonesia menegaskan pentingnya ruang belajar yang aman bagi anak-anak di situasi darurat.
“Pendidikan adalah hak setiap anak. Kami berharap dengan adanya sekolah ini, anak-anak terdampak bencana bisa kembali belajar dengan nyaman dan aman,” kata Mahyuddin.


Salah satu sosok yang berperan besar dalam terwujudnya sekolah ini adalah seorang warga bernama Rifki. Ia adalah petani dan mempunyai lahan kebun di sekitar area hunian sementara. Ia memberi izin kelas-kelas darurat ini dibangun di atas lahan miliknya.
“Selama situasi darurat, ini adalah salah satu bentuk dukungan dari saya terhadap perkembangan pendidikan anak-anak. Terima kasih kepada yayasan dan komunitas sudah bantu bangun. Selama kejadian ini, anak-anak sekolahnya terlantar, di tenda-tenda. Jadi ini harapan kami juga untuk bagaimana agar pendidikan berlanjut,” kata Rifki dengan penuh harapan.
Save the Children Indonesia, CIS Timor, YPPS Larantuka, dan PMPB NTT hingga hari ini masih bekerja dalam masa pemulihan pascabencana. Sebelumnya, tim respons telah melakukan sejumlah kegiatan, termasuk distribusi back to school kits dan shelter & hygiene kits.
Berikutnya, Save the Children bersama CIS Timor masih akan melakukan beberapa kegiatan, termasuk membangun beberapa ruang kelas tambahan di lokasi huntara agar semakin banyak anak dapat belajar dengan aman dan nyaman.

*) Nama disamarkan karena pertimbangan prinsip keselamatan anak dalam situasi darurat.