Sadari Dampak Krisis Iklim, Litha* dan Teman-Temannya Daur Ulang Limbah Baki Telur Jadi Pot Multifungsi

Cerita Perubahan

Litha* (18), seorang pelajar SMK di Jawa Timur, awalnya mengira bahwa bencana banjir yang terjadi di tempat tinggalnya disebabkan oleh peningkatan curah hujan dan cuaca yang semakin tidak menentu. Ia juga sempat menganggap bahwa banjir semata kaki bukanlah perkara besar. Setelah ia dan teman-temannya belajar tentang perubahan iklim dan bisnis hijau, ia bisa melihat persoalan ini secara lebih dekat. Ibarat gajah di pelupuk mata yang tadinya tidak tampak, kini dapat dia lihat.

Ia menyadari, ternyata limbah peternakan dan pertanian di sekitar rumahnya juga turut menjadi penyebab banjir. Apalagi ditambah dengan curah hujan yang tinggi, banjir menjadi tak terelakkan. Ia juga sadar bahwa bau tidak sedap di sekitar rumahnya bukanlah hal yang wajar. Ia baru paham bahwa bau tersebut muncul karena sampah yang menumpuk dan suhu udara yang mempercepat proses pembusukan.

Litha* adalah salah satu dari 35 siswa SMK yang mengikuti kegiatan boot camp Youth-led Innovation Lab (YIL) 2023 di Jawa Timur yang diadakan oleh Save Children dan Yayasan IBU melalui Program Skills to Succeed (S2S) yang didukung oleh Accenture. Selama tiga hari, ia dan teman-temannya dipandu untuk belajar tentang isu perubahan iklim dan mengembangkan ide “bisnis hijau” atau bisnis ramah lingkungan.

Litha dan teman-temannya mempresentasikan ide bisnis kelompok mereka dalam boot camp Youth-led Innovation Lab di Jawa Timur 2023.

“Waktu ikut kegiatan YIL, saya mulai sadar, sampah-sampah di lingkungan saya itu banyak banget. Awalnya itu, banyak selokan tersumbat sampah-sampah itu. Itu yang bikin bau. Cuacanya juga kadang hujan, kadang panas terik – tidak menentu, tidak seperti dulu. Sempat banjir, tapi banjirnya cuma semata kaki, tidak banjir bandang,” urai Litha.

Ia bercerita, dulu ia bukan anak yang peduli dengan kondisi lingkungan alam di sekitar. Hal itu berubah setelah ia menerima ajakan dari guru untuk mengikuti boot camp YIL. Awalnya Litha sempat ragu karena waktu kegiatan berdekatan dengan masa ujian sekolah. Walaupun demikian, ia akhirnya mantap mengambil tawaran tersebut. Ia yakin dapat membagi waktu demi mendapatkan pengalaman baru.

Daur Ulang Limbah Baki Telur

Dalam boot camp, Litha berkelompok bersama empat kawannya. Mereka mencetuskan ide bisnis hijau berupa pot tanaman hasil daur ulang limbah baki telur atau egg tray. Ide ini lahir dari kesadaran mereka terkait kondisi di lingkungan rumah yang dekat dengan peternakan unggas dan perkebunan. Mereka sering menjumpai limbah berupa plastik polybag dan baki telur. Ada yang dibiarkan menumpuk, ada juga yang dibakar dan menyebabkan polusi udara.

“Banyak peternak ayam dan bebek di sini. Sampah menyumbat selokan di depan rumah. Terus sampah plastik itu sulit terurai. Jadi, banyak masyarakat yang membakar sampah dan bikin polusi udara,” ujar Litha.

Salah seorang fasilitator Youth-led Innovation Lab memegang produk pot baki telur BETE.

“Awalnya, kelompok saya itu enggak kepikiran buat bikin pot dari egg tray, tetapi hiasan dinding dari sisa-sisa kayu dan egg tray. Setelah itu kami pikir, kalau bikin hiasan sulit dibawa ke sekolah. Saya scroll di Tiktok, saya lihat pot dari sabut kelapa. Dari situ saya kepikiran buat pot dari egg tray. Karena egg tray itu dibuat dari sisa kertas, ini juga bisa jadi pupuk,” urainya.

Mereka menamai kelompok bisnis mereka dengan BETE atau Bisnis Pot Egg Tray. Mereka merancang nilai gunanya berupa tempat tanaman, wujud baru dari daur ulang limbah, dan sekaligus tambahan pupuk bagi tanaman. Tidak hanya itu, mereka juga bekerja sama dengan peternak dan penjual ayam untuk mengambil sisa baki telur yang tidak terpakai. Hal ini memudahkan para petani dan penjual untuk tidak lagi menumpuk sampah mereka.

Selanjutnya, mereka melakukan tes pasar dengan membawa produk pot mereka ke pasar.

“Waktu kegiatan test market kemarin itu, kelompok saya agak ragu-ragu karena produknya masih awal, takutnya (orang-orang) tidak tertarik. Setelah kami coba promosikan, banyak juga masyarakat yang mulai tertarik tentang pelestarian lingkungan. Jadi banyak yang beli, tapi banyak juga yang memberikan apresiasi dan motivasi,” ujar Litha.

Melihat hasil dari percobaan pasar, Litha menaruh harapan besar dengan produk daur ulang BETE. Memang butuh waktu panjang untuk mendapatkan pasar yang tepat, namun Litha yakin dengan BETE, mereka dapat mengedukasi masyarakat tentang kelestarian alam. Mereka juga ingin menularkan pandangan ke masyarakat bahwa sampah bisa menjadi berkah jika mereka bisa memanfaatkan atau mendaur ulang dengan baik.

Mengenalkan Produk di Kantor Kementerian

Perjalanan Litha dan kawan-kawannya tidak terhenti di desanya. Pada bulan April lalu, ia datang ke Jakarta dan memamerkan produk bisnis hijaunya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Melalui seleksi yang panjang dan ketat, Litha berhasil menjadi perwakilan dari Program YIL Skills to Succeed yang menampilkan produk-produk peserta boot camp dalam acara Seminar Nasional Multi Sektor “Membangun Resiliensi Anak terkait Perubahan Iklim Menuju Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan oleh Save the Children dan Kemenko PMK.

Litha sedang menjelaskan produk pot daur ulang BETE kepada salah satu peserta seminar di kantor Kemenko PMK.

“Saya kemarin itu kayak kurang percaya diri karena pertama kali sosialisasi di depan banyak orang, apalagi petinggi pemerintah. Saya deg-degan. Namun setelah dua-tiga orang, saya sudah bisa menikmati. Sebelum berangkat, saya juga sudah menyiapkan bahan dan didampingi oleh kaka dari Save the Children,” tuturnya.

Selama seminar berlangsung, Litha belajar banyak hal. Selain mengenalkan produk, ia juga belajar tentang advokasi krisis iklim yang dilakukan sepanjang acara. Ia sadar bahwa perubahan iklim yang dihadapi di rumahnya adalah persoalan yang penting dan perlu segera ditangani. Ini menjadi titik terang baginya untuk semakin yakin melanjutkan produk daur ulang BETE seusai wisuda SMK.

“Kita harus selalu melestarikan lingkungan. Bumi ini harus bebas dari sampah karena sampah tersebut akan membuat Bumi merasa terkhianati. Karena Allah menciptakan Bumi ini untuk manusia hidup, tetapi manusia itu sendiri yang merusaknya dengan sampah-sampah itu. Harapan saya, semoga pemerintah tetap jaga selalu lingkungan ini supaya anak-anak yang akan tumbuh besar nanti bisa merasakan bagaimana bumi ini hijau kembali. Semoga juga pemerintah bisa lebih menangani kembali polusi-polusi dari pabrik,” pungkasnya.

*) Nama disamarkan untuk melindungi narasumber.

Teks & foto: Justicia Estetika Maulida / Save the Children
Skip to content scroll to top button