
Save the Children Indonesia menjalankan program pendidikan anak bernama We See Equal dengan dukungan P&G di Jawa Barat. Program ini mempromosikan kesetaraan gender di antara remaja perempuan dan laki-laki, kaitannya dengan kesehatan, pendidikan, dan peluang lain. Program ini juga turut berupaya mengatasi persoalan norma sosial negatif karena stereotip gender negatif. Di Jawa Barat, program ini dijalankan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur lewat kerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak sekolah.
Kegiatan pendampingan program We Se Equal ini dilakukan di ruang-ruang kelas sekolah menengah. Anak-anak, selain mengikuti kegiatan belajar secara reguler, juga dilibatkan dalam pendidikan karakter remaja. Bentuknya bermacam-macam. Anak-anak yang ikut serta kemudian disebut sebagai agen perubahan.
Salah satunya Alvin, seorang siswa kelas 9. Suatu ketika, dia sedang duduk di depan ruang kelas dan seorang guru menghampirinya. Guru datang untuk menegur saya supaya jangan melamun, pikirnya. Ternyata, ia diajak ke aula sekolah untuk mendapatkan penjelasan tentang persoalan kekerasan anak.

“Kamu sekarang agen perubahan,” tutur Alvin, mengulang perkataan sang guru.
Alvin bertanya apa yang dimaksud dengan “agen perubahan”. Gurunya menjelaskan bahwa agen perubahan adalah untuk mencegah perundungan di sekolah.
Meski kaget karena tiba-tiba, Alvin tidak menolak. Ia mempelajari lebih lanjut tentang isu perundungan dengan mengingat beberapa kasus yang pernah dia tahu. Kemudian, saat dia menemui kasus perundungan di lingkungan terdekat, ia menegur.
Pernah suatu ketika, seorang temannya sering memberi perintah tertentu kepada temannya yang lain. Sang perundung tampak tidak mempan dengan teguran. Alvin memutuskan untuk menginfokan kepada guru. Kejadian ini juga mengingatkan dia tentang Alvin yang dulu. Saat SD, Alvin mengaku pernah menjadi perundung.
“Waktu kelas 6 SD, saya merasa paling tinggi. Saat itu, benar-benar tidak ada informasi tentang bullying, saya pikir itu kewajaran. Setelah masuk SMP, banyak materi tentang bullying yang diberikan guru-guru. Saat SMP, (saya) mulai merasa sudah harus lebih bisa berpikir, mana yang baik dan mana yang buruk,” jelas Alvin.
Setelah menyadari apa yang dulu ia lakukan keliru, Alvin pelan-pelan mengubah perilakunya. Kini ia berusaha lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan kesiswaan di OSIS, ekstrakurikuler, serta agen perubahan dalam Program We See Equal.
Lain cerita dengan Kayla, kelas 9. Dalam program ini, Kayla pernah terlibat dalam penelitian mengenai hak anak. Informan penelitian dipilih dari berbagai sekolah di Indonesia. Fokus penelitian antara lain isu perkawinan anak, diskriminasi, kekerasan, dan perundungan.

Ajakan penelitian itu ia peroleh dari gurunya melakui pesan singkat. Saat pertama kali membacanya, Kayla belum mengerti konteks penelitian yang dimaksud, termasuk hal-hal apa yang harus dilakukannya.
“Jadi setelahnya, langkah pertama yang aku lakukan adalah isi data, lalu diberikan ke pihak Save the Children langsung,” jelasnya.
Penelitian tersebut didampingi oleh Save the Children, mulai dari awal belajar, mengasah materi, cara meneliti yang baik, hingga memahami konvensi hak anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, kasus perkawinan anak, pekerja anak, dan diskriminasi pada anak dan perempuan terhitung tinggi.
Kayla tercengang mendapati temuan tersebut. Selama ini dia berpikir bahwa perkawinan anak sudah seharusnya susah untuk ditemukan. Namun nyatanya, masih banyak anak perempuan tidak mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki. Perempuan ditempatkan dalam urusan rumah tangga untuk melakukan pekerjaan rumah, sedangkan laki-laki mempunyai peran lebih besar dalam memberikan nafkah.
“Seharusnya laki dan perempuan setara. Karena kesuksesan tidak harus melihat jenis kelamin tertentu. Kalau dibiarkan laki-laki saja yang sukses dan perempuan diam, itu salah. Perempuan juga harus sukses. Bisa jadi pemimpin, bisa jadi pahlawan,” tegasnya.
Materi tentang pendidikan karakter remaja di sekolah Kayla sudah diperkenalkan sejak 2018 oleh Save the Children. Dadang, salah seorang guru, menyampaikan bahwa pelaksanaan program tersebut berfokus pada upaya pencegahan dan penanggulangan pada peserta didik dan tenaga kependidikan.
“Konsep dari Save the Children mengenai bullying itu diterapkan pada siswa dalam konteks kegiatan sehari-hari, secara tidak langsung. Jadi, ketika anak itu melakukan bullying pada temannya, anak bisa langsung tahu kalau semisal dia pelakunya,” kata Dadang.
Dadang menambahkan, dulu anak-anak sering meledek dengan menyebut nama orang tua dari temannya secara tidak sopan, sampai ada anak yang menangis.
“Kalau dulu itu hampir setiap hari ada. Sekarang sudah berkurang. Lebih banyak yang berani untuk melapor,” sambungnya.
Dadang sebagai fasilitator juga memberi arahan kepada perundung. Dia selalu mengatakan, jangan pernah menganggap sepele perundungankarena dampaknya mengenai psikis.
Informasi-informasi tersebut juga disampaikan melalui kelas parenting selama empat kali dalam satu tahun. Artinya, para orang tua juga mendapatkan pemahaman tentang sekolah sebagai tempat majemuk, tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai golongan. Pada awalnya, sesi ini disampaikan oleh fasilitator dari Save the Children, kemudian dilanjutkan oleh guru.
Hartono, kepala sekolah dan guru yang juga menjadi fasilitator, menyebut bahwa kelas pengasuhan berguna bagi orang tua supaya mereka mendapat pencerahan tentang perkembangan anak remaja. Ini termasuk bagaimana menyikapi keseharian anak dalam menggunakan gawai digital.
“Bahkan saya berharap Save the Children mendapatkan dukungan dari pemerintah atau kementerian mengenai materi-materi seperti Modul Choices, sebagai materi-materi dasar yang wajib bagi anak-anak SD yang mulai masuk (usia) remaja,” sambung Hartono.
Modul Choices juga merupakan bagian dari program We See Equal Save the Children. Melalui modul ini, anak-anak remaja ini dibantu untuk semakin memahami berbagai aspek dalam tumbuh kembang remaja. Misalnya impian, stereotip, pubertas, penghormatan, dan perlindungan.

Menurut Yessi, salah seorang guru, Modul Choices penting karena menjadi bekal untuk membentengi anak dari pergaulan bebas atau untuk membantu mereka mengenal diri sendiri. Secara lanjut dia juga berpendapat bahwa jumlah perundungan berkurang setelah materi ini mulai disampaikan kepada siswa baru setiap tahunnya.
“Walaupun tidak 100%, tetapi berkurang bullying-nya. Kemudian kalau mereka mengalami masalah atau merasa di-bully atau diperlakukan tidak semestinya, mereka sudah berani untuk melapor, minimal pada temannya, atau pada guru yang dirasa nyaman bagi mereka untuk menyampaikan itu,” ungkap Yessi.
Saat ini, Modul Choices di Jawa Barat disederhanakan menjadi lima sesi, yang sebelumnya berjumlah 10 sesi. Salah satu yang menyangkut perkara perundungan adalah sesi Saya Berhak Dihormati. Sesi tersebut menjelaskan bahwa sikap menghormati perlu diupayakan dengan perbuatan baik, tanpa melihat batasan gender. Sikap tersebut bisa diwujudkan melalui upaya tolong menolong, membantu orang lain, dan menghindari pilihan untuk melakukan hal negatif seperti bolos sekolah dan tawuran antar pelajar/sekolah.
Sypha, salah seorang anak kelas 9 SMP, juga memiliki ketertarikan pada sesi tersebut, selain sesi Pink atau Biru tentang isu kesetaraan gender laki-laki dan perempuan. Ia berpendapat bahwa sikap saling menghormati juga dibutuhkan di lingkungan sekolah.
“Saya Berhak Dihormati penting karena sekarang ini banyak yang tidak bisa menghormati (orang lain). Misalnya ada jabatan OSIS dan hanya dia saja yang dihormati. Namun dengan ini, kita semua jadi sadar bahwa setiap orang memang perlu dihormati. Semua sama,” tegas Sypha.
Bagi Hartono, modul ini telah menjadi inspirasi. Dia mengajak seluruh siswa dan para tenaga pendidik menandatangani sebuah pakta integritas untuk tidak melakukan perundungan dan kekerasan. Kesepakatan ini muncul dari sesi di dalam Modul Choices.
“Kami mengadakan ikrar bersama dengan anak-anak bahwa kami akan melaksanakan program Save the Children dengan membentuk sekolah ramah anak. Kemudian kami bertekad untuk menghilangkan perundungan. Dimulai dengan deklarasi dari semua guru, semua siswa, semua orang tua menandatangani pakta integritas, bahwa kami tidak akan melakukan perundungan,” tutur Hartono.