Ruang Belajar Mengajar Bisa Diciptakan: Inisiatif Para Guru di Tengah Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki 

Cerita Program

Artikel ini terbit pertama kali di situs web IDEP Foundation.


Salah satu orang tua murid bertanya, “Hari Senin, sudah ada sekolah atau tidak e?” 

Sesilia Witin bingung menghadapi pertanyaan macam begini. “Melihat cuaca pagi-pagi dulu,” jawabnya. 

Perempuan itu akrab disapa Meti. Dia merupakan seorang guru pengajar di salah satu desa di Flores Timur. Sejak tahun 2009, baru pada awal tahun 2024 ini dinamika belajar-mengajar mereka agak berubah. Tak hanya murid yang harus mengungsi, dia bersama sang suami dan mama pergi ke arah barat, menuju kecamatan lain. Tujuannya supaya bisa menjauh dari lokasi terdampak erupsi Gunung Lewotobi. Saat itu sang mama sedang tak enak badan, jadi keputusan mereka untuk tinggal di daerah pengungsian tampaknya adalah pilihan terbaik. 

Meti dan keluarganya berupaya untuk bisa menghirup udara yang lebih nyaman, bebas dari abu vulkanik. Tiga hari setelahnya, mereka pulang ke desa lain mengikuti ritual adat Tuba Ile. Ritual sakral itu menjadi medium ungkapan permohonan maaf atas semua kesalahan kepada Gunung Lewotobi Laki-laki yang dianggap sedang murka. Masyarakat adat desa setempat menjadikan gunung kembar ini sebagai nenek moyang yang memberikan mereka tempat tinggal untuk merawat kehidupan hingga saat ini. Mereka menyebutnya sebagai Ile Bele (gunung besar), terdiri dari Ile Wae (gunung perempuan) dan Ile Lake (gunung laki-laki), 

Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang terletak di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, terjadi pada 23 Desember 2023. Pada hari tersebut tingkat aktivitas gunung ditetapkan pada Level II (Waspada), dan langsung naik ke Level III (Siaga) pada 1 Januari 2024. Tak hanya berdampak pada aktivitas masyarakat sehari-hari, kegiatan belajar mengajar di sekolah yang seharusnya dimulai pada 4 Januari 2024 juga harus dihentikan. Situasi ini bahkan bertahan sampai pertengahan Februari. 

Selama 15 tahun mengabdi sebagai guru di salah satu Taman Kanak-Kanak (TK), kejadian erupsi Gunung Lewotobi kemarin membuatnya khawatir pada masa depan anak-anak di desanya. 

“Bagaimana bisa anak-anak tetap belajar dalam situasi bencana?” pikir Meti. 

Sesilia Witin bermain dan belajar bersama anak-anak dalam kegiatan dukungan psikososial. 

Dia lantas berinisiatif untuk memanfaatkan Whatsapp Group yang di dalamnya beranggotakan para orang tua murid. Tujuannya, supaya bisa memantau dan memastikan bahwa anak didiknya masih bisa mendapatkan materi pembelajaran. Hari demi hari berlalu, Meti merasa ada yang kurang. Katanya, tidak puas juga kalau tetap berada di rumah. 

Perasaan ini mendorongnya untuk mencari keberadaan anak-anak sekolah di berbagai lokasi pengungsian. Kerinduan memang tak bisa dibendung. Begitu juga perasaan seorang guru yang ingin bertemu muridnya. 

Perasaan serupa dialami oleh sejumlah guru lainnya yang tergabung dalam Kelompok Kerja Guru (KKG), sebuah kelompok kegiatan profesional bagi guru yang masih berada dalam satu gugus/ kecamatan. Mereka secara kolektif memberikan pendampingan dan pembelajaran bersama di salah satu TK yang dipakai sebagai lokasi berkumpulnya beberapa anak usia sekolah yang menjadi korban erupsi. 

Status Gunung Lewotobi Laki-laki saat itu sempat turun ke Level III (Siaga), naik lagi ke Level IV (Awas), sebelum turun lagi ke Level III hingga satu bulan berikutnya dan sampai Maret 2024. Namun, ini bukan berarti bencana erupsi bisa dianggap selesai. Jika banjir datang, sisi kanan dan kiri sekolah di salah satu TK di kaki gunung menjadi jalan banjir lahar dingin ketika arus hujan sudah sangat deras. 

Di salah satu desa sekitar kaki gunung, banjir dari Gunung Lewotobi mengalir sampai jalan setapak, bahkan masuk ke pekarangan rumah warga. Kira-kira tingginya mencapai 30 centimeter. Kejadian ini juga dialami warga desa di desa tetangga. Lumpur tebal bercampur kerikil dengan mudah meluap dari area kebun milik warga hingga ke lokasi tempat tinggal. Menjalar lagi hingga jalan raya. Oleh karena itu dua desa tersebut masih masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB). Berjarak sekitar kurang dari 5 kilometer dari Gunung Lewotobi, potensi bahaya erupsi dan banjir lahar dingin masih cukup besar. Keselamatan warga setempat masih perlu menjadi perhatian utama. 


Untuk mendukung pemulihan bencana erupsi Gunung Lewotobi, sejumlah organisasi lintas wilayah berkolaborasi untuk melakukan distribusi bantuan kebutuhan dasar dan kegiatan dukungan psikososial untuk 474 keluarga dari dua desa terdampak. Aksi kolaborasi lintas organisasi yang digelar selama sepekan pada awal Februari 2024 itu dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar warga terdampak yang baru saja dipulangkan pemerintah setelah lebih dari sebulan terpaksa menempati posko pengungsian sejak erupsi bermula. 

Organisasi-organisasi yang terlibat di dalamnya terdiri dari Yayasan IDEP Selaras Alam dari Bali, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) dari Flores Timur, dan Circle of Imagine Society (CIS) Timor dari Kupang. Ketiganya didukung Save the Children Indonesia, Octa, dan Give2Asia. 

Proses kegiatan distribusi paket ember keluarga untuk masyarakat terdampak erupsi. 

Selain menyasar keluarga secara umum, anak-anak mendapat perhatian khusus dalam aksi kolaborasi lintas organisasi ini. Saat perwakilan keluarga menerima paket ember keluarga, anak-anak diajak dalam sejumlah kegiatan dukungan psikososial. Dalam kegiatan ini, anak-anak dari Kelompok Belajar dan Taman Kanak-Kanak di dua desa tadi diajak untuk bermain sekaligus belajar tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Tujuannya untuk mengajak anak-anak dalam meningkatkan kepedulian mengenai kebersihan dan kesehatan yang ada di lingkungan masing-masing dan diri sendiri. 


Astini, seorang guru di TK yang lokasinya juga terdampak erupsi, punya pengalaman serupa dengan Meti. Kegiatan belajar mengajar tak tahu sampai kapan harus dihentikan. Namun demikian, ia optimis untuk tetap membersihkan ruang kelas yang biasa dipakai dan ingin segera menggunakannya bersama anak-anak didiknya. Rangkaian kegiatan dukungan psikososial ini juga menjadi jembatan kerinduan bagi para guru dan murid yang sudah lebih dari satu bulan masih belum memulai kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas. 

“Ibu gendong saya sedikit,” pinta salah seorang anak pada Rufina Sape, salah seorang guru yang turut mendampingi dalam kegiatan. 

Para siswa TK di salah satu desa terdampak erupsi sedang menonton bersama video edukasi kebencanaan.

Pada 23 Februari 2024, sekitar hampir dua minggu setelah kegiatan dukungan psikososial di dua desa terdampak erupsi, kolaborasi lintas organisasi ini mengunjungi salah satu TK yang ada di sana. Tujuannya adalah untuk memastikan ruangan kelas yang telah dicoba untuk memulai lagi kegiatan belajar mengajar sudah aman dan nyaman bagi ruang belajar anak-anak. Kolaborasi ini juga mengupayakan peningkatan minat belajar melalui penyerahan sarana pendukung kegiatan belajar berupa proyektor LCD untuk meningkatkan pengalaman belajar melalui audio-visual yang lebih menarik minat belajar anak-anak. 

Kendati aktivitas masyarakat sudah mulai kembali normal, namun rasa was-was itu masih ada sampai saat ini. Tingkat aktivitas gunung masih berada di Level III. Sadar akan situasi bahaya dan tinggal di kawasan rawan bencana justru menjadi hal yang penting, apalagi jika dimulai sejak dini. 

“Harapan saya semoga keadaan di desa kami kembali tenang, gunung tidak marah-marah lagi, tidak erupsi lagi. Sehingga kegiatan belajar-mengajar bisa berjalan seperti biasa,” tutup Meti di akhir perbincangan. 

Teks dan foto: Nicolaus Sulistyo / IDEP Foundation
scroll to top button