Eli, ibu tiga anak di Bandung Barat, semakin yakin dengan keputusannya memberi Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. Ia belajar dari pengalamannya dengan dua anak pertama serta dari pengalaman dia mengikuti sesi Emo-Demo.
Eli sebetulnya telah memiliki komitmen untuk memberikan ASI ekslusif bagi anak-anaknya. Namun, bagi sebagian orang, pemberian ASI saja dianggap tidak cukup bagi bayi. Fenomena ini pula yang mesti dihadapi Eli dari tetangga sekitarnya.
“Dulu, waktu saya memperjuangkan ASI eksklusif 6 bulan, banyak tetangga yang menyuruh saya memberi makanan (padat) ke bayi saya,” kenang Eli. Hal itu membuat Eli terusik dan bimbang pada waktu menyusui Naza. Naza terlahir dengan berat normal, yaitu 2,7 kg – di atas ambang batas Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 2,5 kg.
Sebelum mengenal Emo-Demo, Eli sudah menjadi pejuang ASI eksklusif. Eli menuruti nasihat dari bidan dan kader saat itu agar tidak memberi makanan lain selain ASI kepada bayinya hingga usia 6 bulan. Namun, ada kalanya Eli merasa gundah ketika Naza menangis setelah disusui. Sebagai catatan, Eli hanya tinggal dengan suami dan anak-anaknya, tidak dengan orang tua dan mertuanya, sehingga tidak mengalami bujukan atau pengaruh orang tua dalam hal pemberian makanan ke bayi. Namun Eli memiliki kerabat atau saudara yang kadang menjadi tempatnya bertanya soal pengasuhan.
Ketika Naza menangis setelah disusui, Eli pun menyampaikan curahan hatinya kepada salah satu kerabatnya. Bukannya mendukung perjuangan Eli memberikan ASI eksklusif, kerabatnya tersebut malah menyarankannya untuk memberi makan bayinya saja.
“Pernah, waktu itu Naza nangis terus. Saya cerita sama saudara, terus dia nyaranin, kasih makan saja. Saya tetap nggak mau. Akhirnya, saya gendong saja anak saya sambil diayun-ayun, lama-lama berhenti sendiri menangisnya,” kata perempuan yang juga ibu rumah tangga ini.
Belajar tentang Pemberian Makanan Bergizi bagi Anak lewat Emo-Demo
Ketika Program Better Investment for Stunting Alleviation (BISA) dari Save the Children dan Nutrition International diterapkan di Posyandu tempat Eli tinggal, ia mulai mengenal Emo-Demo karena sering berkunjung. Emo-Demo adalah pendekatan komunikasi untuk mengubah perilaku ibu atau pengasuh dalam pemberian makan bayi dan anak (PMBA). Usia Naza saat itu sudah sekitar 3 tahun. Menurut salah seorang kader Posyandu di desa, tinggi badan Naza sedikit pendek dibandingkan standar usianya. Hal itu membuat Eli sedikit resah.
Eli mengakui, sebelum mengikuti Emo-Demo, ia biasa memberi Naza camilan instan dalam kemasan kurang dari satu jam sebelum waktu makan. Akibatnya, nafsu makan Naza menurun saat dia seharusnya menyantap makanan utama yang bergizi. Setelah mengikuti Emo-Demo, Eli pun mengubah pendekatannya. Naza tidak lagi makan camilan kurang dari satu jam sebelum waktu makan. Dampaknya, Naza makan makanan bergizi lebih banyak, dan pertumbuhan badannya pun normal.
Berbeda dengan metode penyampaian informasi biasa, Emo-Demo menggunakan pendekatan praktik dengan contoh-contoh yang mudah dimengerti. Bukan hanya terkait pemberian makanan padat, namun juga terkait pemberian ASI.
Misalnya, untuk menjelaskan bahwa bayi usia 0-6 bulan hanya butuh ASI saja, kader dan bidan yang mempraktikkan Emo-Demo membandingkan ukuran perut bayi dengan kelereng. Informasi itulah yang kemudian lekat di benak Eli dan menyentuh hatinya.
“Kader (yang diberitahu oleh bidan) bilang, jangan dulu, jangan dulu, karena lambung bayi itu kan masih kecil, segede kelereng, di Emo-Demo itu,” kata Eli menirukan kata-kata kader tentang anggapan bahwa bayi usia kurang dari 6 bulan boleh diberi makanan padat. Bagi Eli sendiri, penjelasan itu membuatnya semakin iba pada bayi di bawah 6 bulan yang tidak mengalami ASI eksklusif.
“Ya, akhirnya saya tahu, kasihan bayinya nanti kalau dikasih makan,” Eli mengemukakan rasa ibanya.
Begitu Eli melahirkan anak ketiganya, Nabila, Eli bisa memberikan ASI ekslusif tanpa dibayangi kegundahan seperti pengalaman menyusui sebelumnya. Dukungan yang ia terima dari kader yang memberikan Emo-Demo meningkatkan keyakinan diri Eli dalam memberikan ASI eksklusif. Kader berhasil meyakinkan Eli bahwa dengan lambung bayi yang hanya sebesar kelereng, maka air susu ibu saja sudah cukup. Selain kader, suaminya juga mendukung Eli memberikan ASI eksklusif. Kini, Eli memberikan ASI eksklusifnya terhadap anak ketiganya yang sudah mendekati usia 5 bulan di bulan ini (Agustus 2024).
Faktor Sosial dan Keyakinan Diri yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif
Hasil studi akhir Program BISA di beberapa wilayah memang menyimpulkan bahwa pendekatan Emo-Demo meskipun berhasil meningkatkan pengetahuan, namun dalam hal praktik, faktor eksternal seperti dukungan sosial sangat berperan. Faktor hambatan sosial atau kurangnya dukungan sosial ini juga muncul dalam studi-studi sebelumnya mengenai ASI eksklusif.
Misalnya, sebuah studi yang dilakukan di Jawa Tengah mengungkap bahwa suami dan keluarga besar dari perempuan menyusui dapat memberi pengaruh negatif pemberian ASI eksklusif dengan menawarkan susu formula sebagai pengganti ASI. Tinggal bersama keluarga besar kadang berisiko memunculkan pengaruh negatif bagi ibu yang sedang menyusui. Situasi ini tidak terjadi pada Eli yang tinggal hanya bersama suami dan seorang adiknya saja.
Selain itu, Eli juga mendapat dukungan dari suaminya untuk memberikan ASI eksklusif. Pendekatan persuasif dari bidan dan kader juga dapat meningkatkan keyakinan diri seorang ibu untuk memberikan ASI eksklusif, seperti yang dialami Eli. Sebuah studi di Jawa Barat juga mengkonfirmasi pentingnya keyakinan diri dari ibu bahwa mereka mampu memberikan ASI ekslusif. Keyakinan diri ini bersumber antara lain dari tindakan persuasif dari orang lain khususnya yang mengerti masalah ASI, seperti bidan dan kader terlatih. Selain itu, keyakinan diri juga ditentukan dari pengalaman keberhasilan. Seperti Eli yang sudah dua kali memberikan ASI eksklusif pada dua anak sebelumnya.
“Takutnya bayinya sakit, apa gimana gitu, mengalami gangguan di perutnya (kalau diberi makanan padat). Dari Posyandu itu sih yang saya dapat, jadi nggak apa-apalah dikasih ASI aja dulu. Kan bayi juga kenyang dengan ASI aja, itu sih yang bikin saya semangat ngasih ASI, nggak kasih makan apa-apa dulu,” kata Eli, yang baru mengetahui bahwa ukuran perut bayi di bawah 6 bulan hanya sebesar kelereng setelah mengikuti Emo-Demo.
Pengalaman Eli membuktikan pentingnya dukungan sosial termasuk tindakan persuasif untuk meningkatkan keyakinan diri ibu dalam memberikan ASI eksklusif, dan pada akhirnya mendorong keberhasilan praktik pemberian ASI eksklusif. •
Referensi
- Apriningsih , Hanifah L, Nasrulloh N (2024) Exclusive breastfeeding practice during COVID-19 pandemic in West Java Indonesia: A cross-sectional study. PLoS ONE 19(5): e0303386. https://doi.org/10.1371/journal. pone.0303386
- Dewi, M., dkk. (2024). Evaluation of a Project on Better Investment for Stunting Alleviation (BISA) in Selected Districts of Nusa Tenggara and West Java Provinces in Indonesia. Seafest Centre & Nutrition International.
- Ichsan, B., Probandari, A.N., Pamungkasari, E.P., & Salimo, H. (2021). Barriers and Support to Exclusive Breastfeeding in Sukoharjo District, Central Java Province, Indonesia; A Qualitative Study. Journal of Health Research, Vol. 35 (6) 482-492.
- Maponya, N.M., & Matlala, S.F. (2022). “They shouted at me to discontinue exclusive breastfeeding”: narrative of mothers in Limpopo Province of South Africa as they grabble with exclusive breastfeeding. Bangladesh Journal of Medical Science. Vol.21 (4).
- Yunifa, P. (2024). Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial dalam Pencegahan Stunting: Refleksi dari Program Better Investmen for Stunting Alleviation (BISA) di 4 Kabupaten di Indonesia. Save the Children Indonesia. www. savethechildren.or.id.