Pemulihan Pembelajaran Pasca COVID-19 di Belu dan Malaka

Cerita Program

Selama pandemi COVID-19, tantangan pendidikan di Indonesia menjadi semakin berat karena sulitnya akses pendidikan berkualitas di banyak wilayah di Indonesia.  Ketertinggalan pembelajaran menjadi sangat besar, termasuk provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka. Diperkirakan kesenjangannya setara dengan 60% dari satu tahun pembelajaran yang hilang karena sekolah sempat selama empat bulan.

Selain menghambat pendidikan anak-anak, para guru juga memiliki tantangan tersendiri. Para guru kurang mendapatkan dukungan untuk beradaptasi dengan sistem pembelajaran yang baru selama pandemi. Akibatnya, banyak anak-anak yang tidak dapat memahami dan menyelesaikan tugas mereka dengan baik.

Save the Children dan Yayasan Penmasata, dengan dukungan Sony, membantu mengatasi situasi tersebut melalui Program Pemulihan Pembelajaran atau Learning Recovery di Belu dan Malaka pada tahun 2022. Fokus utama program adalah membantu para pengajar dengan metode pembelajaran alternatif, yaitu percepatan keaksaraan. Metode ini dapat dilakukan di sekolah dan di rumah. Tidak hanya untuk mendukung pembelajaran, tetapi juga untuk mengembalikan kondisi kenyamanan psikososial anak.

Program ini dilaksanakan di 25 sekolah, meliputi 12 SD di Belu dan 13 SD di Malaka. Sekolah-sekolah ini dipilih berdasarkan penilaian dan rekomendasi Dinas Pendidikan Kabupaten Belu dan Dinas Pendidikan Kabupaten Malaka.

Di sekolah, tim program melakukan pelatihan kepada para guru dan kepala sekolah. Sebanyak 74 guru dan kepala sekolah mendapatkan pembelakan untuk mengatasi persoalan pembelajaran. Para guru dan kepala sekolah ini menjadi Master Trainer, yang kemudian menyalurkan pengetahuan tersebut kepada guru-guru lain.

Rosadalima, salah satu guru kelas 2 SD, menceritakan pengalamannya selama mengikuti program.

“Dari awal sebelum saya mengikuti pelatihan dari Save the Children, saya mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar, sampai ada kalanya anak-anak saya itu belum bisa membaca. Dan di dalam kelas tidak ada pajangan sederhana, tidak ada sudut baca. Setelah saya mengikuti pelatihan, saya mulai belajar menyiapkan sudut membaca, kartu-kartu huruf, sehingga membuat anak-anak saya senang untuk mengikuti pelajaran,” tutur Rosadalima.

MJ* (6), salah satu murid di sekolah yang mendapatkan pelatihan, bercerita bahwa ia sangat menyukai metode belajar terbaru karena menggunakan lebih banyak warna dan gambar.

“Guru saya di kelas mengajari kami untuk menulis a,b,c, menulis nama hewan dan angka, dan lain-lain. Guru saya juga mengajak kami untuk menunjuk huruf yang ditempel di tembok sambil belajar. Kami sekarang belajar seperti ini dan saya suka. Bagus dan saya suka belajar seperti ini. Terus juga ada banyak warna-warna menarik,” kata MJ*.

Ansila Mau (39), seorang guru honorer untuk kelas 6 SD, juga telah menerapkan metode ini di kelasnya.

“Anak-anak sangat tertarik dengan metode yang kami terapkan, yaitu kata berirama dan sudut baca dengan pohon penilaian. Kami menggunakan batu-batu untuk berhitung dari satu kata ke kata lain atau kata demi kata menjadi suku kata. Ini membuat anak-anak bisa dengan cepat menghitung suku kata di dalam teks bacaan,” kata Ansila.

Program ini juga bekerja sama dengan para orang muda yang mengembangkan komunitas atau taman baca masyarakat. Mereka mendapatkan pelatihan fasilitator dan modul berisi strategi dan tips mendukung kebutuhan literasi anak-anak. Metode ini diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan literasi anak di luar jam sekolah.

“Kami sangat senang karena kami dapat ilmu baru dan modul yang di dalamnya ada strategi, cara, tips yang kami gunakan sebagai fasilitator untuk mengajar anak-anak dengan cara yang itu (menarik), mulai dari yang pertama harus bermain, bernyanyi, bercerita. Lalu dari cerita yang kita ceritakan, kita tanya anak-anak itu bisa pahami apa yang diceritakan atau tidak. Setelah itu kita juga membuat jurnal untuk mereka bawa pulang,” kata Laurensia Luruk, salah satu fasilitator taman baca.

“Secara personal, saya merasa sangat senang setelah mengikuti pelatihan. Pengetahuan saya meningkat, relasi saya meningkat. Itu adalah buku-buku terbaik (dari Save the Children) karena berdasarkan usia anak, dan gambar-gambarnya sangat cocok dengan yang dibutuhkan anak-anak,” kata Sipriana Nana, seorang guru SD yang juga mengelola klub Bahasa Inggris bernama Waderok English Club.

Dengan melibatkan segala unsur masyarakat, mulai dari orang muda dan guru, program ini diharapkan dapat membantu ketertinggalan pembelajaran yang terjadi selama masa pandemi COVID-19, serta membantu anak-anak mendapatkan kembali akses pendidikan yang berkualitas.

Bagikan Artikel Ini

Skip to content scroll to top button