Nurma Nengsih, Upaya Menjadi Manfaat bagi Masyarakat

Cerita Penggerak

Bergabung di Save the Children Indonesia menambah perspektif Nurma Nengsih tentang pola dan cara pengasuhan anak. Perempuan dengan sapaan akrab Nengji ini memulai karier sebagai Casual Worker untuk mendampingi masyarakat. Setelah itu menjadi Village Facilitator, Area Officer, Program Officer, District Coordinator (2016 – 2023) di Program Cocoa Life, dan sejak Maret 2023 lalu menjadi Women Economic Empowerment & Gender Coordinator untuk Program GrowHer Kakao.

Karier yang beragam tersebut membuatnya jadi tahu bahwa beberapa praktik yang selama ini dianggap biasa di lingkungannya, ternyata termasuk perlakuan yang salah terhadap anak.

“Awalnya kita menganggap biasa perlakuan-perlakuan, yang ternyata tidak benar ke anak. Masyarakat menganggap biasa (perlakuan tidak benar) karena sudah melihatnya dari dulu dan belum ada edukasi terkait mana yang boleh atau tidak,” jelas Nengji.

Karena itu, salah satu alasan Nengji bertahan di Save the Children sejak 2016 lalu adalah agar masyarakat bisa terus mendapatkan edukasi terkait pemenuhan hak anak. Apalagi, sejak awal bergabung, ia selalu berkarya di daerah asalnya, Sulawesi Selatan.

Dari tahun ke tahun, isu yang ditanganinya berganti-ganti. Mulai dari perlindungan anak, ekonomi, hingga gender yang berfokus pada pemberdayaan perempuan. Saat bekerja di Program Cocoa Life, ada satu kisah yang tidak bisa ia lupakan.

“Ada perempuan muda kelompok dampingan yang dulunya korban perkawinan anak, terus dia putus sekolah, hanya tamatan SMP. Sebelum terlibat di program, dia malu untuk berbicara di depan umum dan bersosialisasi dengan pemuda yang lain. Namun dengan pendampingan yang diberikan ke pemuda, sekarang aktif terlibat di kegiatan desa dan berani berbicara di depan umum,” tutur Nengji.

Nengji bercerita, sang perempuan muda merasakan manfaat pendampingan program. Sekarang ia diterima bekerja sebagai pegawai di Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tingkat kecamatan.

“Cerita-cerita seperti itu yang membuat saya merasa senang bekerja dengan masyarakat, ketika program pendampingan yang dilakukan, ada dampak bagi masyarakat dampingan,” sebut Nengji.

Meski demikian, Nengji tak menampik jika bekerja di bidang kemanusiaan kerap mendapat tantangan. Awal bekerja, tantangan justru datang dari dalam dirinya. Walau bekerja di kampung halaman sendiri, sebagai pemula saat itu ia tetap membutuhkan penyesuaian waktu untuk bisa berkomunikasi dengan pemerintah setempat, dari tingkat desa hingga provinsi.

“Bagaimana saya harus mendampingi pemerintah desa atau petani, di mana mereka semua adalah orang yang lebih tua dari saya,” kenangnya.

Tak berhenti di situ, tantangan kedua adalah saat ia harus menyampaikan program ke masyarakat dan sekaligus mengadvokasikan ke pemerintah. Tentu perlu strategi dari sisi komunikasi dan pendekatan lokal agar pesan dan tujuan program dapat sampai.

Karena bergabung dalam tim yang solid, ia dapat menyelesaikan kendala tersebut dengan diskusi bersama tim. Hal ini pula yang mendukung Nengji dalam bekerja.

“Dengan dukungan dari line manager dan tim, akhirnya bisa terpecahkan. Yang awalnya agak pesimis, ternyata hanya persoalan waktu, keterampilan, berlatih dan percaya pada diri sendiri. Di Save the Children saya belajar banyak. Bukan hanya terkait program, tapi mulai dari hal-hal kecil seperti kebiasaan mengucapkan terima kasih, minta maaf, minta tolong, dan lain-lain,” sebutnya.

Kenyataan tersebut membuat Nengji yakin untuk terus bertahan dan bekerja demi anak Indonesia. Ternyata dengan berbagi pengetahuan bisa bermanfaat bagi orang lain dan membuat perubahan besar di masyarakat.

Nengji mengajak para pemuda agar tidak ragu jika ingin bekerja di bidang kemanusiaan. Menurut Nengji, ada beragam pekerjaan yang bisa dijalankan para pemuda, terutama pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Contoh kecilnya bisa dimulai dari lingkungan keluarga dan sekitar. Ia mencontohkan, ada beberapa anak di lingkungan terkecil kita, khususnya di desa, tidak memiliki akses pendidikan yang baik seperti akses pendidikan di kota.

“Namun anak-anak tersebut, meski terbatas, tetap mau belajar. Dari kita, bagaimana kita bisa berikan akses kepada anak-anak tersebut, misalnya dia dari keluarga atau lingkungan sekitar kita. Ada jalan bagi anak-anak desa untuk memiliki akses yang sama seperti anak di kota dengan bantuan dan kegigihan kita,” pungkasnya.

Teks: Susmita Eka Putri, Purba Wirastama
Foto: Nurma Nengsih/Save the Children
Skip to content scroll to top button