“Kalau BAB (buang air besar) sekarang sudah nyaman, enggak perlu keluar-keluar (area rumah). Kalau keluar ke semak-semak ini ada ular, serangga, digigit-gigit kakinya,” ujar Indik, salah satu warga yang baru saja membangun jamban di rumah.
Di daerah Indik (43) tinggal, buang air besar sembarangan (BABS) sempat dianggap lumrah. Sebelum memiliki jamban pribadi, ia dan anggota keluarganya BAB di antara pepohonan sekitar rumah. Namun, sejak salah satu anaknya memiliki jamban di rumah lain, Indik mulai terbiasa menggunakan jamban. Rasa aman dan nyaman selama buang air memotivasi Indik untuk membuat jamban keluarga di rumahnya. Ia tak perlu lagi waswas bertemu ular ataupun gatal tergigit serangga. Indik kemudian meminta bantuan ke pemerintah desa untuk pembangunan jamban di rumahnya.
Lain cerita dengan Maria (27) yang sudah memiliki jamban sejak awal membangun rumah. Kendati begitu, lokasinya berada tepat di balik tembok dan belum memenuhi standar kelayakan. Setelah mendapatkan sesi pemicuan mengenai Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), Maria memilih untuk membangun ulang jamban bilik di rumahnya.
“Sudah punya jamban, tapi sempit, sudah jelek. Sehabis dengar (sesi pemicuan) Bu Dini, ngomong jamban yang benar yang begini, yang begitu, jadi ya bikin baru lagi biar lebih enak,” ujar Maria.
Keluarga Indik dan Maria adalah dua dari 254 keluarga di desa mereka yang telah memiliki akses jamban di tiap rumah, baik jamban keluarga maupun komunal. Pada tahun 2024, desa mereka berhasil melakukan terobosan besar: deklarasi Desa Bebas Buang Air Besar Sembarangan atau Open Defecation Free (ODF).
Bagaimana capaian inspiratif ini bisa terjadi? Mari kita simak kisah Dini, Peni, Amin, dan Ujal yang menjadi penggerak dan mercusuar perubahan di desa mereka.
Gigih Rangkul Warga, Sebarkan Pengetahuan Sanitasi
Dini (37) dan Peni (36) adalah kader Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Mereka bertugas untuk membagikan pengetahuan kepada warga tentang sanitasi, meliputi stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengolahan air minum dan makanan dengan benar, pengelolaan sampah rumah tangga, dan pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Dini, Peni, serta kader lain dilatih dan didampingi oleh Save the Children dan Yayasan Ulin dalam sebuah program di sektor kepemudaan, mata pencaharian, dan sanitasi dengan dukungan pendanaan dari Cargill Tropical Palm. Sejak akhir tahun 2021, tim program telah mendampingi warga di 10 desa di Kalimantan Barat, termasuk desa Dini dan Peni.
Sama seperti Indik, Dini juga belum mempunyai jamban sebelumnya. Ia baru membuat jamban setelah mengikuti pelatihan kader STBM. Dini mengaku, awalnya ia tidak mengetahui apapun tentang sanitasi. Setelah belajar dan memahami pentingnya STBM, Dini giat membagikan pengetahuan tersebut kepada individu dan masyarakat untuk mendorong perubahan perilaku higiene dan sanitasi. Kegiatan inilah yang dinamakan “pemicuan”.
“Kami jalankan (pemicuan) bareng Bu Peni ke rumah-rumah, dari RT sampai ke rumah warga,” ungkap Dini.
Dini juga bekerja sebagai salah satu perangkat desa. Ini memberinya lebih banyak ruang untuk melakukan pemicuan, misalnya saat pertemuan warga. Namun, hal itu juga sempat menjadi pedang bermata dua karena ia sempat mendapatkan penolakan dari warga.
“Kesannya kurang baik karena saya perangkat desa. Jadi, saat saya datang kasih ilmu, mereka ya minta bantuan (pemerintah) desa. Lalu kami ambil inisiatif, ‘Kalau begini kayaknya kurang mantap, gimana kalau kita jalani sendiri-sendiri?’ Maksudnya, seperti saat kegiatan Posyandu, pertemuan ibadah, atau di kelompok VSLA,” ungkap Dini. VSLA merujuk ke kelompok simpan pinjam desa yang juga menjadi bagian dari program Cargill, Save the Children, dan Yayasan Ulin.
Walaupun begitu, ia tidak pantang menyerah dan kerap bertamu ke rumah warga untuk berbagi pengetahuan secara personal. Dalam kunjungan itu, ia selalu bertanya siapa yang belum membuat jamban di rumahnya. Jika ada yang berencana bulan depan, misalnya, ia akan bertanya lagi dalam pertemuan berikutnya.
“Jadi, mereka tidak merasa tertekan. tapi merasa ini penting dan perlu. Kalau mereka sudah merasakan (jamban) di tempat lain, mereka mikir, ‘enak juga ini,'” tutur Dini.
Agar Tidak Ada Lagi Anak-Anak Diare
Berbeda dengan Dini, Peni sama seperti Maria yang telah memiliki jamban di rumah. Namun pada tahun 2020, bersamaan dengan pandemi COVID-19, banyak anak-anak di desa mereka yang terkena diare, termasuk anaknya. Jumlah kasusnya begitu tinggi sampai petugas kesehatan dari kecamatan datang ke desa untuk memantau dan mengobati.
Sejak saat itu, ia tidak ingin lagi anak-anak terkena diare. Ia menerima ajakan Dini menjadi kader STBM dan mendorong anak-anak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
“Saya sudah punya jamban, tetapi anak saya tetap terkena diare saat pandemi,” ungkap Peni. “Enggak lagi anak-anak kena diare, saya jadi kader bareng Dini.”
Peni, yang bekerja sebagai guru sekolah, giat melakukan pemicuan di sekolah. Selama pelajaran, Peni sering membagikan pengetahuan dan praktik seputar sanitasi, termasuk soal jamban dan stop buang air sembarangan.
Tak Hanya Pengobatan, tetapi Juga Pencegahan
Perjuangan Dini dan Peni tidak mudah. Perlu pendekatan intensif dan usaha ekstra supaya warga desa memahami pentingnya sanitasi. Kehadiran Amin (37) melengkapi upaya Dini dan Peni. Amin adalah seorang dokter dari Puskesmas yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan bagi warga setempat karena lokasi desanya sangat jauh dari fasilitas kesehatan.
Setelah mengikuti pelatihan kader STBM, Amin mulai meningkatkan pelayanan kesehatannya. Biasanya ia hanya melakukan pengecekan rutin dan pengobatan saja. Sekarang, Amin juga melakukan upaya pencegahan penyakit dengan memberikan pesan edukasi kepada pasien.
“Namun sejak ada pelatihan dari program, saya juga bertambah pemikirannya, bertambah juga ilmu untuk masyarakat. Hasilnya, Alhamdulillah baik. Dulu fokus pengobatan, tapi pencegahan kurang. Sekarang sudah baik,” ungkap Amin.
Kolaborasi Dini, Peni, dan Amin menjadi gerigi roda penggerak perubahan di desa. Ketiga kader STBM ini tidak berhenti berusaha untuk meningkatkan kesadaran warga desa tentang pentingnya sanitasi. Dini berbagi pengetahuan dalam momen pertemuan warga, Peni mengajarkan pola hidup bersih dan sehat kepada murid-muridnya di sekolah, dan Amin memberikan saran-saran pencegahan saat pelayanan kesehatan. Dedikasi ketiganya membawa perubahan positif bagi masyarakat desa.
Kesadaran Bersama, Gotong Royong, dan VSLA: Kunci Keberhasilan Sanitasi Desa
Bersamaan dengan kegiatan pemicuan, Dini juga menjadi salah satu penggerak awal Village Savings and Loan Association (VSLA) atau kelompok simpan pinjam masyarakat desa. Kelompok VSLA ini dibentuk dan didampingi oleh program yang sama dari Cargill, Save the Children, dan Yayasan Ulin.
VSLA adalah sebuah model penyelenggaraan kelompok simpan pinjam yang dikelola dan dimodali secara mandiri oleh para anggota. Setiap kelompok terdiri dari 10-25 orang yang menabung bersama-sama melalui pembelian lot. Setiap anggota dapat mengajukan pinjaman tanpa bunga, tetapi dengan biaya aplikasi dan aturan denda sesuai kesepakatan kelompok.
“Saat dikenalkan dengan STBM, kami juga dikenalkan dengan VSLA. Yang membuat orang tertarik itu, kami melakukan VSLA itu enggak cuma satu rumah. Walaupun orang di rumah itu tidak ikut VSLA, tetapi kami tetap ke rumah itu, terus ke rumah tetangga sebelahnya lagi setiap minggu. Kami bertemu empat kali sebulan. Maksudnya biar orang-orang paham seperti apa VSLA – seperti arisan tetapi enggak bergiliran, sifatnya menabung,” tutur Dini.
Akhirnya, terbentuk tiga kelompok VSLA yang masing-masing beranggotakan 15-17 orang. Setelah kegiatan berjalan rutin, Dini mengajak para anggota untuk melakukan peminjaman. Ia menyarankan pinjaman tersebut dapat digunakan untuk membangun jamban.
“Banyak yang mau bikin jamban, tetapi kurang mampu. Jadi, saya pakai hitung-hitungan, saya bilang ‘Rp 2 juta sudah bisa.’ Saya tawarkan, siapa yang mau pinjam, pokoknya kita pinjamkan. Walaupun saldo VSLA kita belum cukup Rp 2 juta, saya siap pinjamkan,” kata Dini.
Semangat Dini menular kepada anggota VSLA lain dan mendorong mereka untuk bergotong royong. Beberapa warga juga sepakat untuk membantu pembangunan jamban dengan tenaga dan keahlian masing-masing. Dalam rentang waktu dua tahun, semua rumah tangga sudah memiliki jamban bilik yang dibangun dengan dana mandiri, pinjaman VSLA, atau bantuan pemerintah desa.
“Di sini, bikin WC itu enggak pakai upah tukang, jadi sistem gotong royong. Jadi misalnya, bapak ini pintar ngecor, jadi kami pinjamkan dulu (jasanya) ke bapak yang mau bikin WC. Ada yang pintar pasang kloset, kami pinjamkan dulu kalau saat perlu. Jadi gotong royong masih kuat,” tutur Dini.
VSLA Mendukung Dana Desa
Ujal (32), kepala desa, takjub dengan semangat gotong royong warga dan kegiatan VSLA. Sebagai kepala desa yang baru menjabat pada tahun 2023, Ujal baru mendengar kegiatan-kegiatan seputar sanitasi dan VSLA dari laporan Dini.
Suatu ketika, pemerintah desa hendak memperbaiki jalan, tetapi sayangnya Dana Desa belum tersedia. Karena perbaikan jalan sangat mendesak, Ujal lantas mengajukan pinjaman VSLA kepada kelompok Dini. Semua anggota kelompok setuju, pemerintah desa boleh meminjam tabungan VSLA saat itu untuk memperbaiki jalan.
“Pada saat itu musim hujan, saya panggil excavator untuk perbaiki jalan, sementara kita enggak punya anggaran untuk bayar kontraktor. Kala itu, pertolongan dari kelompok VSLA yang bisa membantu saya. Itu momen pertama yang enggak bisa saya lupakan,” ungkap Ujal.
Kegiatan VSLA menginspirasi Ujal untuk membentuk kelompok VSLA baru yang beranggotakan staf perangkat desa. Setelah belajar dengan seksama dari Dini, Ujal sebagai kepala desa resmi membentuk kelompok VSLA keempat milik pemerintah desa. Tabungan kelompok ini diharapkan dapat menjadi cadangan dana desa yang dapat dipinjam jika ada kebutuhan mendesak.
Jerih Lelah Terbayar Tuntas, Status Desa Bebas BABS
Dua tahun berselang sejak Dini, Peni, dan Amin melakukan pemicuan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Setelah melihat perubahan di masyarakat, mereka bersama pemerintah desa akhirnya percaya diri untuk mengajukan verifikasi Desa Open Defecation Free (ODF) atau bebas BABS. Desa ODF adalah bagian dari program STBM yang digagas oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program STBM diluncurkan untuk mengatasi masalah sanitasi dan kesehatan masyarakat dengan pendekatan berbasis masyarakat.
Dinas Kesehatan menerima pengajuan itu dan datang untuk melakukan verifikasi. Dalam satu hari, tim verifikasi mengecek setiap rumah tangga satu per satu. Sepekan berikutnya, Dinas Kesehatan mengukuhkan bahwa desa mereka sah untuk menjadi Desa ODF. Dari 254 keluarga yang terdaftar sebagai warga desa, sebanyak 160 keluarga memiliki jamban pribadi dan 94 keluarga memiki jamban komunal. Terdapat jamban komunal karena satu rumah bisa berisi lebih dari satu keluarga.
Dinas Kesehatan juga menyatakan bahwa desa ini telah memenuhi tiga pilar STBM. Selain bebas BABS, dua pilar lain adalah pengolahan air minum dan makanan dengan benar serta pengelolaan sampah rumah tangga. Dua pilar ini telah memenuhi kelayakan 50-75%.
Seremoni pengukuhan Desa ODF diselenggarakan di balai desa pada bulan Mei 2024. Bupati dan jajaran pejabat pemerintah kabupaten, termasuk dinas-dinas terkait, hadir dalam acara seremoni ini.
“Saya sangat berterima kasih kepada Save the Children, PT Cargill, dan Ulin karena program mereka sangat membantu kami. Kami juga mendapat bonus, yaitu desa kami diantarkan menjadi salah satu desa di kabupaten yang sudah deklarasi ODF; dan sekaligus yang menerima tiga pilar (STBM) – itu baru desa kami dan ini sangat luar biasa,” ungkap Ujal.
Status Desa sebagai Pintu Masuk Advokasi Warga
Lebih dari acara seremoni, perubahan status ini menjadi titik balik perubahan positif lain yang berkelanjutan. Menurut Dini dan kawan-kawan, desa mereka dulu relatif tertinggal karena lokasinya berada di pelosok dan sangat jauh dari pusat kabupaten/kecamatan.
Namun setelah menjadi satu dari sedikit Desa ODF dan desa pertama dengan tiga pilar STBM di kabupaten, mereka kini mendapatkan perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah lebih banyak daripada sebelumnya. Ujal dan Dini juga beberapa kali diundang oleh pemerintah kabupaten untuk memberikan edukasi kepada perwakilan desa-desa lain. Kerja-kerja mereka di desa dipromosikan di lingkup pemerintah daerah dan organisasi perangkat daerah. Desa ini juga menjadi lebih dikenal.
“Bagi saya, yang paling membahagiakan selaku saya perangkat desa itu: lebih dihargai,” ungkap Dini. “Dulu, kami mengundang dinas-dinas, tidak ada yang datang. Namun, dengan adanya ODF, sekarang mereka lebih segan (…). Program-program pemerintah dipercepat.”
Bak setetes demi setetes air dapat melubangi batu, segala upaya yang berawal dari Dini, Peni, Amin, dan Ujal kini menghasilkan dampak yang semakin besar seiring waktu. Kolaborasi dan gotong royong pemerintah dan masyarakat dalam satu tujuan telah membuat pembangunan desa ini melaju lebih cepat, termasuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak. Mereka bahkan berhasil mengadvokasi kepentingan masyarakat desa kepada pemerintah daerah.
Perjalanan desa ini untuk melakukan perubahan tidak berhenti di Desa ODF. Masih ada beberapa persoalan lain yang tidak kalah genting untuk mereka selesaikan. Salah satunya adalah akses listrik di desa. Selain untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, warga juga membutuhkan listrik untuk menyalurkan air bersih dengan pompa air.
Tidak hanya untuk kebutuhan kebersihan pribadi anak-anak dan orang dewasa, tetapi juga mendukung sumber pendapatan alternatif. Misalnya, Indik bersama salah satu kelompok VSLA lain telah membangun kolam untuk budidaya ikan lele, tetapi mereka masih terkendala soal air. Di dekat area kolam, terdapat mata air tidak terlalu dalam, tetapi mereka belum bisa mengalirkan ke kolam karena belum ada pompa air.
“Untuk mencapai keberhasilan yang sangat besar seperti ODF itu butuh waktu yang enggak singkat. Berkeringat-keringat itu. Sekarang kami masih sangat membutuhkan bantuan. Saya bisa sebutkan satu-satu, tapi listrik ini paling utama karena untuk pompa air,” ungkap Ujal. •