Cerita Perubahan

Merajut Harapan Lewat VSLA Sindintowe 

Di tengah tantangan keterbatasan akses modal dan sulitnya memperoleh pupuk bersubsidi, petani kakao di Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menemukan harapan baru melalui program Village Saving and Loan Association (VSLA) atau kelompok simpan pinjam desa yang mereka beri nama Sindintowe, yang berarti kasih yang bersinar. 

Yones (65), seorang petani kakao, menjadi ketua kelompok ini sejak pembentukannya pada 9 Juli 2023. Bersama 20 anggota lainnya, ia menggerakkan kelompok simpan pinjam ini untuk saling membantu dalam pembiayaan pertanian, pengembangan usaha, maupun pendidikan.  

“Dulu pupuk untuk tanaman kakao susah kami dapat. Kalau pun ada harganya mahal dan kami kekurangan modal. Tapi setelah ikut VSLA ini, kami lebih mudah dapat pinjaman untuk beli pupuk,” kata Yones.   

Sistem VSLA Sindintowe memungkinkan para anggotanya menyimpan dana secara rutin dan mengajukan pinjaman sesuai jumlah simpanan mereka. Misalnya, jika seseorang memiliki simpanan Rp1 juta, mereka bisa meminjam hingga Rp3 juta. Pinjaman digunakan untuk kebutuhan penting seperti pembelian pupuk, pengembangan usaha, ataupun biaya pendidikan. 

Yones sudah dua kali melakukan peminjaman di VSLA, pertama Rp1 juta, dan kedua Rp500 ribu. Semua dana yang dipinjam digunakan untuk pembelian pupuk demi mengembangkan tanaman kakao di kebun miliknya.  

Ketua VSLA Sindintowe, Yones (65), mengecek bibit kakao unggul yang dikembangkan di pekarangan rumahnya

“Puji tuhan, kini saya bisa menanam lebih banyak bibit kakao di kebun, karena bibit kakao yang bisa dipupuk bertambah, sehingga hasil kebun saya bisa menjadi lebih banyak,” ungkapnya.  

Yones menjelaskan, sejak awal dibentuk hingga saat ini, VSLA Sindintowe sudah berhasil mengumpulkan Rp66 juta lebih dana simpanan dan memberikan Rp67 juta lebih dana pinjaman.  

“Kami bersyukur karena semua anggota berkomitmen. Jadi tiap tiga bulan, semua pinjaman dilunasi, dan sampai saat ini tidak ada kendala,” ungkapnya.  

Yones juga menyebut, setelah bergabung dengan VSLA, banyak perubahan positif yang terjadi pada dirinya. Kini ia merasa lebih percaya diri. Ia bahkan pernah dipercaya untuk menjelaskan sistem VSLA kepada pemerintah daerah dan membantu pembentukan VSLA di desa tetangga.  

“Dulu saya kebanyakan diam di rumah seusai berkebun. Sekarang saya bisa berdiri menjelaskan VSLA di hadapan orang banyak. Kalau tahun depan saya masih dipercaya jadi ketua, saya akan terus kembangkan ini. Ada beberapa keluarga sudah mau bergabung,” pungkasnya. 

Berkembang hingga 18 VSLA di Poso

Ketua VSLA Sindintowe, Yones (65), memperlihatkan biji kakao yang dijemur di pekarangan rumahnya

Secara sederhana, VSLA adalah program simpan pinjam berbasis kelompok di desa. Setiap kelompok terdiri dari 10-25 orang. Nantinya, setiap anggota dapat mengajukan pinjaman tanpa bunga, tetapi dengan biaya aplikasi dan aturan denda sesuai kesepakatan bersama. 

Selain membantu para anggotanya untuk melakukan aktivitas simpan pinjam, program ini juga membantu meningkatkan pemahaman anggotanya tentang literasi keuangan, termasuk perencanaan keuangan.  

Program VSLA ini diinisiasi oleh Save the Children dan Yayasan Panorama Alam Lestari (Y-PAL) Poso sebagai mitra lokal, dengan dukungan dari Cargill melalui Program EMPOWER. Secara umum Program EMPOWER berupaya menangani permasalahan pekerja anak di perkebunan kakao. Fokus dari program ini adalah perlindungan anak, maka dari itu aspek pengembangan, pemberdayaan, dan produktivitas masyarakat juga menjadi hal yang penting dalam program ini. Salah satunya dengan mendorong pembentukan VSLA di kelompok tani agar meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan para petani. 

“VSLA adalah salah satu program yang berbicara terkait literasi keuangan. Jadi ada dua hal yang kami kuatkan, pertama pemahaman tentang literasi keuangan yang diawali dengan training, dan kedua implementasinya melalui aktivitas VSLA,” papar M Irfan Renggah, Kepala Departemen Perlindungan Perempuan dan Anak Y-PAL.  

VSLA adalah salah satu usaha untuk membangun sistem perlindungan anak yang berkelanjutan. Kehadiran VSLA diharapkan dapat meningkatkan ketahanan ekonomi keluarga, termasuk anak-anak. 

Saat ini terdapat 18 VSLA di Poso dengan total anggotanya mencapai 234 orang, terdiri dari 143 perempuan dan 91 laki-laki. Dari jumlah tersebut, 134 orang atau 57,3% nya adalah petani, sedangkan 100 orang lainnya atau 42,7% adalah nonpetani. 

Hingga Juli 2025, total dana yang dikelola oleh 18 VSLA di Poso telah mencapai ratusan juta. Total pinjaman mencapai Rp370 juta lebih (40,5%) dan simpanan Rp544 juta lebih (59,5%). Sedangkan total dana sosial yang dapat digunakan untuk membantu anggota yang sakit atau sedang mengalami kesusahan mencapai Rp23 juta lebih.  

“Dari total pinjaman yang mencapai Rp370 juta lebih tersebut, sekitar Rp149 juta digunakan untuk usaha kakao, Rp33 juta digunakan untuk usaha nonkakao, Rp130 juta digunakan untuk kebutuhan pendidikan, Rp54 juta digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, dan Rp1 juta digunakan untuk kebutuhan kesehatan,” jelas Irfan.  

Kehadiran VSLA Membantu Modal Usaha Petani

a woman handing money to a woman
Nofri (45), mengatur kue yang sudah jadi sebelum dijual keliling kampung

Pagi belum benar-benar terang ketika Nofri (45) sudah sibuk di dapurnya. Tangan terampilnya menakar tepung, gula, mentega, dan bahan-bahan sederhana untuk diolah menjadi kue rumahan. Rutinitas ini ia jalani tiap hari demi menopang kebutuhan hidup keluarganya.  

Ketika semua kue sudah jadi dan siap jual, Nofri mengunggah foto kuenya ke media sosial Facebook, menanti pesanan dari pelanggan online. Kue yang tidak habis terjual secara online ia jajakan keliling kampung dari rumah ke rumah. 

“Saya ibu rumah tangga. Saya berjualan kue untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari, hanya saja modal saya sangat terbatas,” ungkap Nofri.  

Dulu Nofri hanya mampu membeli satu kilo gula atau mentega tiap kali membuat kue karena keterbatasan modal. Sampai akhirnya ia mengenal VSLA Sindintowe dari salah satu tetangganya. 

“Dulu pernah ada koperasi di desa tapi sampai sekarang tidak ada hasil. Jadi saya sempat pikir jangan-jangan VSLA juga begitu,” katanya. 

Namun saat hadir dalam pertemuan pertama dan mendengarkan penjelasan tentang cara kerja VSLA keraguan Nofri perlahan hilang. Sistem yang transparan dan pengelolaan dana simpan pinjam yang dilakukan secara kolektif membuatnya tertarik menjadi anggota VSLA.  

“Saya merasa ini berbeda. Saya tertarik dan langsung bergabung saat itu,” ungkapnya.  

Pada tiga bulan pertama, ibu tiga anak ini masih sebatas menabung di VSLA. Setelah tabungannya cukup untuk melakukan pinjaman, ia pun mengajukan pinjaman pertamanya sebesar Rp500.000.  

“Itu saya pakai beli bahan kue. Tiga bulan lunas, saya pinjam lagi Rp1 juta, setelah lunas, saya pinjam lagi Rp2 juta untuk tambah modal pengembangan usaha kue. Jadi saya sudah tiga kali pinjam,” paparnya.  

Sejak itu usaha kue Nofri berkembang. Produksi kuenya meningkat karena ia bisa membeli lebih banyak bahan. Bahkan, produksi harian kini naik hingga lima kilo gula, mentega, dan tepung sekali belanja. Pelanggannya pun bertambah. 

a woman handing money to a woman
Nofri (45) (kanan), melakukan transaksi jual beli kue kepada pelanggannya

Yang paling membekas bagi Nofri bukan hanya soal modal, tapi soal kebiasaan baru. “Dulu saya tidak tahu menabung. Sedikitpun tidak pernah. Sekarang saya bisa menyisihkan uang dan itu membuat saya lebih tenang,” tuturnya. 

VSLA tidak hanya menjadi tempat menyimpan uang, tapi juga ruang belajar dan saling menguatkan. Setiap pertemuan, para anggota saling berbagi cerita dan motivasi. “Saya lihat banyak anggota VSLA yang sekarang juga makin semangat berusaha. Kami jadi saling mendukung,” ujar Nofri.  

Perjuangan Nofri belum selesai. Ia masih mengolah kue secara manual, dari mencampur adonan hingga memasaknya. Itu membuat proses produksi memakan waktu. “Harapan saya bisa punya alat-alat bantu supaya bisa produksi lebih cepat dan layani pesanan lebih banyak,” ucapnya. 

Nofri berharap semakin banyak perempuan di desanya bergabung dengan VSLA. “Biar mereka tahu manfaatnya. Saya sudah rasakan sendiri. VSLA ini benar-benar membantu kami yang usaha kecil-kecil begini,” imbuh Nofri.  

Suami Nofri, Alfianus  (47), merasakan langsung manfaat keikutsertaan istrinya dalam program VSLA. Menurutnya, VSLA mampu menjadi solusi saat keluarganya membutuhkan modal usaha namun tidak memiliki dana lebih.   

“Bagus ibu ikut bergabung dengan VSLA itu. Karena di saat tidak ada uang dan kami membutuhkan modal, itu bisa langsung meminjam ke VSLA,” jelas Alfianus.  

Sistem cicilan selama tiga bulan dinilai Alfianus sangat meringankan dan membantu perekonomian keluarganya. “Bisa menyicil sampai tiga bulan itu sangat membantu sekali,” ungkapnya. 

Kehadiran VSLA Mendukung Biaya Pendidikan 

Seri (71), bersantai di rumahnya

Dengan suara pelan dan penuh ketenangan, Seri (71) duduk di beranda rumahnya, mengenang perubahan besar yang hadir dalam hidupnya pada tiga tahun terakhir ini. Mantan guru sekolah dasar ini merupakan bendahara VSLA Sindintowe.  

“Sebelum ada VSLA, saya pernah pinjam ke koperasi bahkan ke rentenir. Bunganya besar, tiap bulan bikin sesak. Tapi sejak ikut VSLA saya bisa atur uang dengan tenang. Bisa bantu cucu saya kuliah di Kota Palu,” ungkap Seri.  

Sama seperti Nofri, Seri awalnya ragu pada VSLA. Pengalaman pahit dari koperasi abal-abal hingga rentenir membuatnya waswas. 

“Tapi pelan-pelan saya lihat sistemnya VSLA berbeda. Tidak ada bunga mencekik, pinjaman pun dibatasi hanya untuk kebutuhan penting seperti pertanian, pengembangan usaha, dan pendidikan,” jelasnya.  

Seri sendiri sudah beberapa kali mengambil pinjaman ke VSLA. Yang paling berkesan ketika ia mengambil pinjaman sebesar Rp2,5 juta untuk biaya wisuda cucunya. “Dulu saya bingung cari uang, sekarang tinggal ambil pinjaman di VSLA. Saya cicil pelan-pelan, tiga bulan lunas,” jelasnya.  

Solidaritas Kelompok VSLA Sindintowe

VSLA bukan sekadar menyediakan layanan keuangan, namun juga perlindungan. Di VSLA Sindintowe, setiap anggota diwajibkan menyumbang Rp5.000 per bulan untuk disisihkan sebagai dana sosial. Angka ini diperoleh dari kesepakatan bersama. Nantinya, dana sosial dapat digunakan untuk membantu anggota kelompok yang sakit atau sedang mengalami kesusahan.  

“Saya ini sudah jadi oma, tapi dengan VSLA, saya belajar lagi seperti murid. Belajar menabung, belajar peduli, belajar jadi kuat meski usia sudah lanjut,” kata Seri seraya tersenyum. 

Di luar VSLA, Seri juga aktif sebagai Ketua Persekutuan Perempuan Gereja dan Sekretaris Lembaga Adat. Meski aktivitasnya padat, ia tak pernah absen dari pertemuan VSLA yang digelar setiap tanggal 24 bulan berjalan. “Kalau terlambat datang ada denda, tapi itu justru yang mendisiplinkan kami,” ujarnya. 

Bersama anggota VSLA lain, Seri bahkan sempat diutus ke Kota Poso untuk menyosialisasikan konsep VSLA pada dinas-dinas pemerintah. “Saya dan beberapa anggota berdiri di depan kepala dinas, cerita bagaimana VSLA mengubah hidup kami,” tuturnya.  

Kini, dengan rasa bangga dan percaya diri, Seri mengajak lebih banyak warga untuk bergabung. Ia ingin program VSLA terus hidup. “Yang penting kami sudah tahu cara jalankan. VSLA bukan sekadar tempat simpan-pinjam. Ini tempat belajar, tempat saling bantu, tempat tumbuh bersama,” tutupnya.  

Scroll to Top