Menyelamatkan Generasi Petani Kakao

Bekas luka di tangan Salma (48), didapat sedari anak-anak ketika bekerja di pertanian kakao.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Di Desa Lompoloang, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Marlina (25 tahun) sedang hamil sembilan bulan. Pada awal Februari 2021, di bawah kolong rumahnya yang sejuk, sembari meluruskan kaki dan memegang perutnya yang besar dengan kehamilan yang semakin tua, dia mengurai kembali ingatannya puluhan tahun lalu. Diperlihatkannya sebuah luka gores di di pergelangan tangan kanannya.

“Ini kena parang waktu bantu orang tua dulu di kebun. Buka coklat, pakai parang,” katanya. “Sekarang kalau ditekan-tekan masih sakit. Mungkin masih luka dalam.”

Salma (48 tahun) adalah ibunya. Dia memperhatikan kembali bekas luka anaknya itu.

“Bagaimana kalau tangan anak ibu putus,” kata Cocci, fasilitator Save the Children wilayah Wajo.

Weh, itulah! Sekarang benar-benar harus hati-hati,” jawab Salma.

Peristiwa itu begitu membekas di ingatan sang ibu. Pada masa itu, ketika puncak musim panen kakao, keluarga ini membawa bekal ke kebun. Jika para petani memperkirakan panen tak selesai dalam sehari, perlengkapan masak pun akan diangkut pula ke rumah kebun. Keluarga Marlina, yang punya kebun berjarak sekitar 2 km dari rumah, akan memilih tinggal di kebun.

Anak-anak mereka yang sedang dalam proses belajar akan ikut menemani. Peralatan sekolah pun akan dibawa ke kebun.

“Dulu kan belum punya motor, tidak bisa pulang balik dari kebun ke rumah,” kata Salma. “Jadi itu Marlina, kalau pulang sekolah dia ke kebun. Dia makan di kebun dan ganti baju.”

Marlina tersenyum mengenang peristiwa itu. Jadi apa yang dilakukannya di kebun?

“Kalau sudah makan, bantu orang tua. Pungut buah, jolo’ (galah) buah, juga buka buah,” kata Marlina.

Sesi penguatan tentang perlindungan anak juga diberikan kepada para ibu untuk mencegah adanya pekerja anak.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Ditimpuk buah saat memetik dengan galah sering terjadi. Kepala benjol dan sakit. Selain itu, tanpa alat pelindung diri, berkali-kali ketika memetik buah yang tinggi, semut bisa masuk mata dan rasanya perih sekali.

Ketika buah kakao sudah dikumpulkan di satu tempat, anggota keluarga akan mengelilingi dan membuka buah itu menggunakan parang. Satu tangan memegang buah kakao, tangan yang satu mengayunkan parang menghantam buah kakao.

Ayunan parang itu tidak boleh terlalu keras sebab bisa membelah buah kakao di dua sisi dan mengenai telapak tangan. Jika konsentrasi hilang, parang bisa saja tidak tepat sasaran ke buah, melainkan ke tangan. Peristiwa itulah yang menimpa Marlina kecil.

Ketika belajar membuka buah kakao itu, dia menggunakan parang yang tajam. Sialnya, parang itu tak mengenai buah, melainkan pergelangan tangannya.

“Waktu itu anak – menunjuk Marlina – kena parang, saya juga kaget. Dia hanya teriak, ‘Mamak, berdarah tanganku!’ Saya lihat. Saya kaget sekali,” kata Salma. “Terus bapaknya, ambil itu lori-lori (gerobak) toh, dia kasih naik, terus dibawa ke kampung dan diobati seadanya.”

“Dikasih air dari batang pisang itu, terus dibungkus pakai kain. Untung sembuh,” imbuhnya.

Salmah lalu tertawa meskipun mengenang peristiwa itu dengan bergidik. Mengapa Salmah dapat menceritakan kisah itu dengan baik dan begitu fasih?

“Saya mau orang tahu, kalau yang selama ini kita lakukan itu, suruh anak ke kebun dan bekerja, ternyata salah dan berbahaya,” katanya.

Salma mulai menyadarinya ketika tim Save the Children bersama LSM ARUS – mitra kerja di Wajo, melakukan pengenalan risiko bahaya pada anak yang diberikan pekerjaan melebihi kapasitasnya.

Sesi sosialisasi tentang perlindungan anak menjadi salah satu kegiatan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakayat (PATBM) Desa Maccolliloloe, Kabupaten Wajo.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

“Kami datang dan berbicara pada petani. Kami menemukan banyaknya praktik yang berbahaya pada anak,” kata Cocci. “Jika terjadi kecelakaan yang fatal, cacat secara fisik, sakit, atau bahkan maninggal dunia, itu akan memutuskan semua rencana dan masa depan anak.”

“Iya, untung ada teman-teman Save the Children itu kasih tahu kita bahaya. Saya sadar sekarang. Sekarang ada cucu, saya kasih tahu ke anak-anak kalau jangan bawa anak ke kebun dan suruh anak pegang parang. Marlina contohnya,” kata Salma.

***

Sementara itu, tak jauh dari desa Salma, di desa Maccolliloloe, ketika tim Save the Children menyambangi, mereka menemukan praktik pertanian dengan risiko berbahaya yang melibatkan anak. Seperti kisah keluarga Salma, kisah-kisah itu juga terjadi.

Sukur (42 tahun) ketua PATBM desa Maccolliloloe, mengatakan jika sosialisasi melibatkan anak bekerja di kebun sempat membuat bingung beberapa petani.

“Terus terang pertama kali saya dengar risiko berbahaya pada anak ke kebun, itu membingungkan. Apa coba hubungan anak dengan kebun kakao,” katanya. “Tapi, berkali-kali pertemuan dan sosialisasi dilakukan, saya mulai memahami. Ada ancaman yang mengintai anak ketika dilibatkan dalam pekerjaan yang berisiko. Sementara mereka belum terlatih dan belum siap.”

Sukur adalah orang tua yang memiliki empat anak. Anak sulungnya sudah menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tiga lainnya masih bersekolah dan berusia di bawah 18 tahun.

“Anak pertama saya itu kasihan. Dia ikut ke kebun dan memang bekerja seperti kami ini. Sama seperti orang dewasa,” katanya. “Untung selama ke kebun dia tidak mengalami kecelakaan yang fatal. Kalau itu terjadi, pasti saya merasa bersalah sekali. Sekarang saya tidak mau itu berulang, jadi anak yang lain bisa bantu tapi yang ringan-ringan saja.”

Kakao menjadi salah satu sumber penghasilan utama masyarakat Kabupaten Wajo.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Di Sulawesi Selatan sektor pertanian masih menjadi penggerak ekonomi warga secara dominan. Selain pertanian padi, perkebunan menjadi primadona, termasuk cengkeh, lada, dan kakao.

Khusus untuk kakao, tanaman ini ditemukan tahun 1560 di Sulawesi Utara, yang kemudian diidentifikasi sebagai kakao yang berasal dari Criollo di Venezuela. Lalu pada tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda melakukan pengembangan tanaman itu di Jawa. Sekitar tahun 1950-an, dilakukan pengembangan besar-besaran untuk membudidayakan kakao.

Hingga akhir tahun 1990-an, Sulawesi Selatan merupakan salah satu lumbung kakao di Indonesia. dan secara umum pulau Sulawesi merupakan tempat tanaman ini dibudidaya paling luas, mencapai 65% luasan kakao yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kakao juga tumbuh di sekitar halaman rumah. Anak-anak terbiasa bermain di bawah pohon kakao.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Tidak sulit menemukan hamparan kakao di pulau ini. Di Sulawesi Selatan misalnya, di kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, jika menelusuri jalan-jalan desanya yang kecil berangkal batu, aspal yang sudah mulai rusak dan rabat beton, akan terlihat hamparan kebun kakao yang membentang.

Tanaman-taman kakao itu tumbuh berdampingan tanaman lainnya. Batangnya besar dengan metode teknik sambung samping. Kakao di Pitumpanua sebagian besar adalah tanaman tua yang berusia sekitar 30 tahun.

Di Sulawesi Selatan, penanaman kakao dilakukan serempak pada tahun 1980 awal. Periode ini pula dikenal dengan istilah demam kakao. Para petani mendapatkan keuntungan yang melimpah dan menciptakan kemakmuran. Sebagian petani dengan mudah menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi – lalu dikenal sebagai “sarjana kakao”.

Namun, sebagian besar petani lain tak memedulikan jenjang pendidikan. Anak-anak mereka yang sudah mampu baca dan tulis akhirnya putus sekolah sebab memilih menjadi petani kakao. Dalam cerita-cerita tutur petani di beberapa tempat, sekolah hanya akan membuang waktu. Ungkapannya: lebih baik merawat sikola (kakao dalam Bahasa Bugis) daripada harus sekolah.

Tak heran jika petani, yang saat ini mengelola lahan antara usia 35-45 tahun, adalah generasi yang sebagian besar tak menamatkan sekolah menengah pertama. Mereka adalah generasi emas kakao.

Sisa kejayaan produksi kakao pun tampak pada bangunan rumah yang menggunakan kayu kualitas terbaik, seperti jati, ulin, hingga kayu hitam. Rimbunnya kakao pada masa itu rupanya tak bertahan begitu lama. Pada akhir tahun 1990-an, hama menghantamnya.

Buah kakao menjadi keras. Batangnya kering dan berlubang. Hingga daun menjadi kuning. Ribuan petani bagai terhempas jatuh. Mereka melakukan penyelamatan dengan berbagai cara, tapi tak berhasil. Akhirnya, kakao ditebang diganti tanaman lain.

“Waktu itu petani susah. Harga coklat juga rendah sekali. Makanya ditebang,” kata Muhammad Tahir (54 tahun), petani di Desa Tangkoro.

Muhammad Tahir, salah satu petani kakao di Desa Tongkoro, Kabupaten Wajo.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Muhammad Tahir mengenang kejatuhan komoditi kakao seperti sebuah bencana. Banyak petani yang kalang kabut, anak-anak yang tadinya berhenti sekolah akhirnya tak melakukan apa-apa. Penghasilan hilang dan pengangguran meningkat.

“Banyak orang keluar desa, merantau dan bekerja seadanya,” katanya.

Bagi Muhammad Tahir, kakao masa itu seperti demam yang mewabah, seolah akan terus bertahan.

“Ini pelajaran untuk kembali mengenang. Ada banyak orang yang putus sekolah. Mau melakukan sesuatu juga tak bisa karena tak ada ijazah sekolah. Saya kira, adanya PATBM ini upaya kita menjaga generasi petani kita,” katanya.

Skip to content scroll to top button