Membangun Keluarga Setara dan Bahagia dengan GALS: Kisah Dua Pasutri Petani dari Luwu Utara dan Luwu Timur

Cerita Perubahan

“Kalau waktu bisa diulang, saya pasti tidak akan kasar.”

Perkenalkan HR* (43 tahun) dan FR* (46 tahun), pasangan suami istri dengan usia pernikahan 20 tahun. Mereka memiliki dua anak dan tinggal bersama di sebuah desa di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Pada 2023, mereka perlahan meninggalkan pengetahuan lama mengenai pengasuhan anak yang dibebankan sepenuhnya pada ibu.

FR dan HR bilang, dua tahun terakhir ini adalah masa paling bahagia berkeluarga. Saling mengenal dan saling mengerti.

Sementara itu, di desa lain di Luwu Timur, pasangan NR* (28 tahun) dan BR* (34 tahun) juga dengan sumringah bercerita tentang perubahan dalam hidup berkeluarga. Pasangan ini punya seorang anak perempuan berusia jelang 3 tahun. Mereka bilang, kualitas hidup mereka belakangan menjadi lebih baik.

Apa yang membuat mereka mengalami itu?

Merefleksikan Pembagian Peran dalam Rumah Tangga

Pada akhir 2021, Save the Children bersama Perkumpulan Wallacea dan Sulawesi Cipta Forum, dengan dukungan pendanaan dari MARS, menjalankan program penguatan sistem perlindungan anak dalam masyarakat petani dan rantai pasok kakao di Luwu Utara dan Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pada tahun 2023, Grow Asia, bersama GIZ, MARS, Save the Children, dan PISAgro sebagai sebuah konsorsium, meluncurkan program GrowHer: Kakao yang berfokus pada pemberdayaan petani perempuan. Kedua program berjalan beriringan di desa-desa yang sama.

Dalam sektor pemberdayaan petani perempuan, tim program mengenalkan pendekatan Gender Action Learning System atau GALS kepada keluarga petani kakao. Sistem ini secara sederhana mengenalkan kesetaran gender dan prinsip pembagian peran di dalam rumah tangga petani.

Pada Maret 2024, sebanyak 11 pasangan suami istri mendapatkan pelatihan selama tiga hari di Luwu Timur. Awalnya, para suami agak enggan mengikuti sesi. Namun sehari setelah mendapatkan materi, beberapa pasangan itu mulai melunak dan menerimanya hingga akhir sesi. Di sela waktu istirahat, kelompok suami duduk bersama, menyeruput kopi, dan mencoba mengurai kesalahan-kesalahan. Semua sepakat bahwa apa yang dikerjakan para perempuan sebagai seorang istri dan sekaligus ibu ini memang sangat berat.

“Itu perempuan memang kuat. Kalau mereka sakit, semua orang di rumah jadi sakit,” kata beberapa suami yang ikut pelatihan.

“Susah juga. Mau membantu, nanti orang-orang (tetangga) akan mencibir,” lanjut yang lain.

Namun, kelompok suami itu telah bersepakat untuk memulai perubahan. Mereka beranggapan, harus mulai pelan-pelan.

“Hari pertama, kepala saya benar-benar menolak materi. Ini apa, kenapa saya harus bantu di dapur, kenapa saya harus jaga anak, pasti akan sangat merepotkan,” kata HR.

Kisah FR dan HR

Pada masa awal pernikahan belasan tahun lalu, HR menganut aturan bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus dilayani. Dia tumbuh besar dengan pengetahuan bahwa sebelum laki-laki pergi ke kebun, sepiring sarapan dan segelas kopi harus siap. Pulang kebun, laki-laki yang sudah capek harus istirahat dan istri harus menyambutnya, minimal dengan suguhan kudapan.

Anak-anak yang rewel tak boleh menambah beban pekerjaan laki-laki. Itu menjadi tanggung jawab istri. “Dulu kalau marah, saya sering sekali pukul anak. Bahkan pernah masukkan anak ke got,” katanya. “Saya seperti orang dirasuki setan, kalau ingat itu kembali. Saya menyesal.”

FR menoleh ke suaminya di ruang utama rumah ketika mendengar cerita itu. Mereka berdua saling menatap. Mata mereka sembab. “Seandainya dari dulu kami mengenal GALS, mungkin kualitas hidup kami akan semakin baik,” kata FR.

Namun buru-buru dia melanjutkan, “Tidak ada kata terlambat belajar kan. Jadi kami makin saling mengerti.”

HR dan FR berbincang di ruang tamu di rumah mereka.

FR sempat merenung, dari 20 tahun pernikahan mereka, membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, sebagaimana orang-orang damba dan doakan, bagai tinggal angan-angan.

Orang-orang hanya bilang, istri harus menjadi menjadi penurut. Harus menjadi pelayan suami. “Tapi siapa yang mau mendengar suara istri? Tidak ada kan,” katanya.

GALS, baginya, telah memberi mereka cara mewujudkan cita-cita keluarga itu. Mereka mulai duduk bersama, membicarakan cita-cita dan tujuan keluarga. Uang bukan lagi menjadi urusan laki-laki semata. Rumah bukan lagi menjadi urusan istri saja.

“Sekarang suami yang menyapu dan mengepel lantai. Lebih bersih, karena saya fokus di pekerjaan lain,” kata FR.

“Iya. Dulu kalau pagi mau berkebun, saya langsung saja berangkat. (Kalau) ikut bantu bersihkan rumah, rasanya buang waktu dan bisa terlambat ke kebun. Namun setelah melakukan, tidak juga. Tidak ada yang berubah,” kata HR.

Setelah perubahan kecil terjadi, hal lain akhirnya mengikuti.

“Dulu setelah panen, saya menyisakan uang untuk beli pupuk dan kebutuhan kebun, sisanya saya kasih semua ke istri,” lanjut HR. “Sekarang, saya kasih semua. Kami duduk bersama, membaginya untuk kebutuhan. Ternyata itu jauh lebih baik dan lebih ringan.”

FR tersenyum. “Akhirnya, kami tahu mana prioritas dan mana yang tidak,” katanya.

Kisah NR dan BR

BR punya kebun yang jaraknya empat jam perjalanan dari rumah dengan kendaraan bermotor. Dalam waktu tertentu, dia mengunjungi kebunnya selama 20 hari. Sementara itu, NR bekerja sebagai tenaga sukarela di Puskesmas Pembantu (Pustu). Mereka bersama sang anak menempati sebuah rumah petak kecil yang terhubung dengan bangunan Pustu. Di dalam bilik itu, mereka punya akuarium kecil dengan beberapa ikan kecil warna-warni. Anaknya senang melihat itu.

Setelah mengikuti pelatihan GALS, BR merasakan perubahan yang sama soal pengelolaan keuangan keluarga. “Dulu, uang kan tidak semua diketahui istri. Tiba-tiba habis, jadi saya pusing sendiri. Itu bikin cepat emosi dan suka marah-marah,” katanya.

NR senang menceritakan kisahnya mengikuti program GALS. Baginya, semua materi itu adalah hal baru. Dalam ilmu kebidanan tempatnya belajar selama kuliah, tak pernah ada. Semuanya tentang hal teknis, mengenai cara melahirkan, dan bagaimana penanganan kesehatan ibu hamil.

“Jadi sekarang saya mengerti, anak dalam kandungan itu, ibunya harus sehat; dan utamanya adalah sehat secara psikis,” katanya.

Ibu hamil, yang bekerja membantu ke kebun, bahkan bertanggung jawab membersihkan rumah dan mengurus kebutuhan keuangan keluarga, adalah beban yang begitu berat. “GALS membuka ruang membicarakan itu. Akhirnya pasangan menjadi saling mengerti.”

Mencintai Keluarga

“Diskusi, mengajak istri dan anak bercerita, ini saya kira cara mencintai keluarga,” kata HR

Bagi HR, hubungannya dengan istri makin mesra. FR membenarkan. Baginya, selama 20 tahun menikah, dua tahun terakhir ini menjadi masa paling bahagia dalam hubungan pernikahan mereka.

Pasangan itu kemudian tertawa bersama. Mereka bahkan sudah kembali meluangkan waktu bersama. Sesekali, ketika anak-anak sudah ke sekolah, mereka jalan-jalan bersama ke Masamba, pusat kabupaten, sekadar untuk makan bersama.

“Kami seperti pacaran kembali,” kata FR.

“Makin mesra, makin terbuka,” timpal HR.

Akhirnya, keputusan-keputusan dalam keluarga menjadi lebih baik. Mereka saling mengetahui, saling mengingatkan, dan menjadi lebih mawas bagaimana mengasuh anak bersama-sama.   

HR ingat betul ketika dia menyisihkan uang dan membangun sebuah rumah yang tak jauh dari rumah utama. Dia memanggil tukang dan mencoba mewujudkan keinginannya. FR waktu itu protes, tetapi tidak dihiraukan. Alhasil, ketika rumah itu selesai, istri dan dua anaknya tak suka. HR menggurutu lama, tetapi kemudian tersadar.

“Itu kalau kita mewujudkannya sendiri, egois dan tidak melibatkan keluarga. Jadinya itu rumah dikontrakkan ke orang lain,” katanya.

Kini, anak pertama pasangan FR dan HR sudah mengenyam pendidikan tinggi dan bisa terlibat dalam urusan keluarga. “Saya juga baru tahu kalau anak-anak punya suara di rumah. Mereka harus didengar. Bukan kemauan orang tua saja,” kata HR.

Jelang sore, anak kedua mereka yang berusia 9 tahun baru pulang bermain. Di samping rumah, dia menyandarkan sepedanya. Dia anak yang aktif dan punya beragam imajinasi.

“Dia lebih aktif. Beda dengan kakaknya dulu,” kata FR. “Sekarang dia dekat dengan bapaknya. Dulu, kakaknya takut.”

“Itu saya sering minta maaf ke kakaknya,” ungkap HR. “Kekerasan bukan hanya fisik ternyata, membentak juga kekerasan.”

“Jadi apa yang sudah kulakukan dulu, pasti kakaknya itu ingat terus. Namun saya sering kasih tahu, saya menyesal lakukan itu.”

“Kalau waktu bisa diulang, saya pasti tidak akan kasar.”

Sementara itu bagi BR, kualitas kehidupan keluarganya kini juga menjadi prioritas. Saat BR membagi ceritanya, anaknya yang berusia jelang 3 tahun berkali-kali duduk di pangkuannya. Sesekali dia memanjat di punggung sang bapak. Di ruang utama rumahnya, masih berserakan beberapa mainan.

“Sekarang saya tahu, kalau anak-anak itu memang perlu bermain. Bukan diatur-atur sesuai mau orang tua,” katanya.

BR juga bilang, ketika mulai membantu istri mencuci pakaian, membersihkan rumah, menyapu halaman, beberapa tetangga menegurnya dengan bergurau.

“Apalagi kalau jemur pakaian dalamnya istri, auh, itu diketawai. Dianggap kalah sama istri.” Padahal, kata BR, jika istri menjemur pakaian dalam suami, orang-orang menganggap itu biasa.

Dua pasangan ini adalah cerita perubahan yang terus bertumbuh. Mereka telah memulai dalam keluarga. Namun, melakukannya dalam lingkungan yang masih terkungkung praktik patriarkis bukanlah hal mudah. Sangat sulit mendobrak tembok kokoh yang telah berdiri dalam lapisan generasi ke generasi. Keluarga itu akhirnya dianggap berbeda. Namun di sisi lain, beberapa orang telah terinspirasi dan ingin meniru mereka, meskipun berhadapan dengan lingkungan yang belum siap dengan perubahan.

*) Nama disamarkan untuk melindungi narasumber.

Wawancara dan teks oleh: Eko Rusdianto
Diedit oleh: Purba Wirastama (Save the Children)
Foto: Iqbal Lubis / Save the Children
scroll to top button