
(Foto: Yusuf Ahmad / Save the Children)
Media sosial berperan penting dalam akses informasi yang semakin cepat. Sebagian masyarakat memanfaatkannya dengan bijak. Mereka mampu memilah informasi. Pengalaman kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di Desa Congko tidak jauh dari fenomena ini. Segala informasi mereka dapatkan, sampai akhirnya tertarik pada satu hal: persoalan anak-anak.
“Kami ini Gen Z (generasi kelahiran 1997 hingga awal 2010-an). Jadi, awalnya kami lihat dari sosial media. Ada kekerasan anak, ada anak putus sekolah, begitu. Kalau yang terjadi di desa ini, kami melihatnya baru tahun ini,” terang Deby (22), salah satu kader PATBM Desa Congko.
PATBM Desa Congko dibentuk pada bulan April 2021 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa Congko. Anggotanya tercatat berjumlah 30 orang dengan berbagai latar belakang profesi. Di antaranya adalah guru, tokoh masyarakat, pekerja sektor kesehatan, dan pemadam kebakaran.
Siang itu, Desa Congko agak panas, lewat jam makan siang, angin sepoi. Deby bersama tiga kader PATBM lain berkumpul di aula kantor desa. Lapangan sepak bola tampak luas dari situ. Beberapa anggota lain tidak bisa datang, tetapi tidak menjadi soal. Mereka terbiasa saling mengisi kekosongan satu sama lain.
Deby bercerita bagaimana pembentukan PATBM telah membantu mereka memahami isu perlindungan anak lebih luas.
“Dari tidak tahu, menjadi tahu, apa itu CLMRS, pekerja anak. Jadi dari sosialisasi dari Save the Children, kami baru tahu, oh pekerja anak itu seperti ini, klasifikasinya begini,” kenang Deby.
Save the Children dengan dukungan Cargill, melalui Program Perlindungan Anak untuk Kakao Berkelanjutan, mendorong dan membantu pembentukan PATBM di Desa Congko dan desa-desa dampingan lain di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Tim fasilitator dari Save the Children membekali para kader pengetahuan dan wawasan tentang isu-isu perlindungan anak, misalnya kekerasan anak, pekerja anak, serta salah satu pendekatan untuk menangani kasus pekerja anak. Pendekatan ini dinamai Sistem Pemantauan dan Remediasi Pekerja Anak atau Child Labor Monitoring and Remediation System (CLMRS).
Setelah PATBM terbentuk dan mulai menjalankan kegiatan, para kader di Desa Congko meninjau apakah ada kasus pekerja anak di desa. Proses ini dimulai dengan kegiatan sosialisasi tentang PATBM dan isu perlindungan anak ke beberapa sekolah dan komunitas, termasuk kelompok tani. Kemudian, anggota kelompok tani dikumpulkan, khususnya yang memiliki anak berusia 8-18 tahun. Dari sini, tim PATBM melakukan identifikasi kasus.
“Awalnya kami identifikasi dulu, kemudian kami melakukan asesmen, terus kami diskusi bersama kader-kader PATBM di sini, juga dengan pemerintah desa juga. Kemudian kami membuat rencana remediasi: apa yang dibutuhkan untuk remediasi anak dan orang tua ini? Setelah itu, masuk ke tahap monitoring dan evaluasi karena kasusnya sudah selesai,” terang Deby.
Para kader PATBM perlahan juga menyukai kunjungan ke rumah-rumah. Mereka lebih leluasa bercerita soal risiko anak-anak mencampur pupuk berbahan kimia, membawa kakao dengan motor, atau memakai benda tajam. Penyampainnya personal sehingga pesan lebih mengena. Dengan cara ini, kader PATBM dan orang tua bisa berdiskusi, tidak hanya menyampaikan informasi satu arah.

(Foto: Hamsal Hamid / Save the Children)
Sebenarnya, penerimaan warga pada kelompok PATBM seperti demikian adalah di luar dugaan kader PATBM. Istilah “pekerja anak” hampir tidak pernah didengar oleh warga sebelum ada PATBM. Anak-anak menggunakan benda tajam pun dianggap hal biasa. Untungnya kunjungan ke rumah-rumah disambut dengan hangat. Para kader juga menekankan perbedaan antara “pekerja anak” dan “anak bekerja”.
“Jadi kami jelaskan juga, ini dikategorikan sebagai anak bekerja, misalnya kalau menjemur kakao, umur 13-15 itu juga bisa. Bisa membantu orang tua, tapi tidak terlalu berbahaya dan tidak meninggalkan sekolah. Jadi anak bekerja dan pekerja anak itu beda,” kata Nur (21), salah satu kader PATBM Desa Congko.
Pada tahun 2022, PATBM Desa Congko melakukan asesmen terhadap 50 anak terkait kemungkinan kasus pekerja anak. Dari asesmen itu, ditemukan tiga kasus pekerja anak – dalam kategori penggunaan alat tajam/berbahaya – dan satu kasus anak putus sekolah. Bagi kasus pekerja anak dengan alat berbahaya, solusinya adalah subtitusi atau penggantian alat parang dengan alat penjepit kakao berbahan kayu. Tidak ada lagi penggunaan benda tajam untuk anak-anak.

Sementara itu, satu anak putus sekolah sudah bisa kembali ke sekolah pada pertengahan 2022 dengan bantuan PATBM. Anak itu bernama Rifki (16). Perlu usaha berkali-kali untuk meyakinkan dirinya kembali bersekolah. Setelah tamat SMP, dia ingin mendaftar sekolah pelayaran. Setelah mencoba dalam dua kesempatan, dia tidak lolos seleksi masuk. Rifki menjadi lebih sering di rumah.
Teman-temannya tidak diam. Mereka mencoba menyambangi Rifki. Sesekali disambut, tapi dia sering enggan keluar kamar, memilih bermain gim saja. Di kamarnya itu pula dia mengoleksi banyak mainan kapal. Rifki kadung malu. Teman-temannya lanjut sekolah, tapi dia tidak.
“Selesai dulu ambil ijazah SMA, baru lanjut ke pelayaran,” tegas Deby pada Rifki.
Bujukan ini tidak sia-sia. Selain orang tuanya sendiri, Deby dari PATBM menjadi orang terakhir yang membuat keputusan Rifki jadi benar-benar bulat.
“Ya sudah, aku mau sekolah.”
Sore itu, waktu menunjukkan 17.36. Dari kursi taman di sekolah Rifki, halaman gedungnya terlihat rindang. Dia sudah tidak dengan seragam sekolah ketika ditemui oleh tim Save the Children. Sepulang sekolah, dia lanjut ekstrakurikuler pencak silat. Ini salah satu hobinya sejak kecil.
“Karena pencak silat membantu dalam sehari-hari. Kalau ada yang mem-bully (rundung), bisa membela diri,” alasan Rifki menekuni hobinya.
Tatapannya ketika itu tidak seperti penyesalan untuk kembali ke sekolah. Semangatnya berbeda dari yang dibayangkan sebelumnya.
“Happy (senang) sekarang karena banyak teman-teman. Enggak kayak dulu,” katanya.

(Foto: Yusuf Ahmad / Save the Children)

(Foto: Yusuf Ahmad / Save the Children)
Kisah fiksi bajak laut dan angkatan laut dalam serial One Piece membuat cita-citanya tetap konsisten untuk tetap ingin berlayar. Rifky tidak pernah membayangkan berapa uang yang dia dapat kalau berlayar. Dia hanya ingin mengenal banyak tempat di dunia. Portugal adalah negara yang paling ingin dikunjungi. Sebuah tempat di kampung halaman idolanya, Christiano Ronaldo.
Temuan anak putus sekolah juga ada di desa sebelah. Kelompok PATBM di Desa Goarie melakukan asesmen serupa pada 83 anak. Dari situ, kelompok PATBM menemukan dua kasus pekerja anak yang juga putus sekolah serta lima kasus putus sekolah saja. Selama proses remediasi, salah satu anak sudah masuk usia dewasa, melewati usia 18 tahun, sehingga penanganan kasusnya tidak dilanjutkan.
Desa Goarie berada di sebelah selatan Desa Congko. Jarak tempuhnya sekitar 14 kilometer. Hari itu, saat tim dari Save the Children datang, waktu sudah mulai malam. Hanya satu lampu yang dihidupkan, tetapi cukup terang. Di bawah rumah panggung khas Bugis itu, dua orang anggota kelompok PATBM bercerita. Mereka adalah Sinar (54) dan Jusnang (43).
Sinar pada dasarnya cukup familiar dengan berbagai organisasi. Dia bekerja sehari-hari bekerja sebagai guru PAUD, kader Posyandu, fasilitator KB dalam Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD), dan bahkan di Village Savings and Loan Association (VSLA) atau kelompok simpan pinjam desa sejak tahun 2015. Karena pengalaman ini, dia dipanggil oleh kepala desa untuk membahas pembentukan PATBM.
“Saya percaya pada Bu Sinar,” permintaan kepala desa kepada Sinar saat itu.
Pada September 2021, Sinar ditunjuk sebagai ketua PATBM. Jusnang mengemban tugas di bidang advokasi. Mereka tidak hanya berdua saja. Totalnya, anggota PATBM Desa Goarie berjumlah 13 orang dan bergerak secara dinamis. Mereka mendatangi berbagai kelompok, khususnya kelompok tani, untuk membicarakan isu pekerja anak.
“Lewat canda-canda, berbicara, ngobrol dengan tetangga dan beberapa kelompok. Biasanya lewat itu. Kepala desa membantu juga, terutama saat kumpul-kumpul,” ungkap Jusnang.
Temuan-temuan yang didapatkan Sinar dan rekan-rekannya datang dari cerita-cerita warga setempat. Bisa saja hal itu datang dalam perjalanan pulang atau saat sedang berkunjung ke rumah tetangga. Sesekali, mereka juga menyempatkan diri untuk sosialisasi dan diskusi soal isu pekerja anak bersama dengan guru dan komite di sekolah.

Walaupun sempat mendapat penolakan kecil pada awal mula, sosialisasi yang dilakukan oleh PATBM Desa Goarie telah menemukan cara dan siasatnya. Mereka menggunakan poster sebagai medium informasi bagi warga. Harapannya, orang tua lebih mudah memahami isi pesan sehingga praktik pekerja anak dapat ditekan atau dicegah.
Cara ini cukup berhasil. Sinar menandai poster itu dengan stempel PATBM Desa Goarie yang dilengkapi dengan nomor telepon pribadinya. Warga desa telah mengenal siapa Ibu Sinar. Jumlah cetaknya pun diperbanyak.
“Kalau masyarakat di sini kalau ada gambar langsung mengerti, kalau tulisan tidak begitu,” ungkap Sinar.
Pengaruh gambar begitu kuat daripada tulisan. Hal ini yang membuat kelompok PATBM tidak perlu waktu lama, saat meyakinkan bapak dari seorang pekerja anak, untuk mengganti benda tajam yang sebelumnya dipakai oleh anaknya di kebun.
Anak itu bernama Reski (17). Sesekali dia membantu orang tuanya di kebun walaupun tidak lagi menggunakan benda tajam. Sayangnya, setelah lulus SMP dia tidak melanjutkan sekolah.
Reski bisa saja sekolah seperti anak-anak lain. Namun akses jalan dan transportasi menjadi kendala utama. Dia tidak memilih untuk menganggur. Hanya saja bagaimana mungkin bisa ke sekolah tanpa kendaraan, pikirnya. Jarak dari rumah ke sekolah terdekat memang jauh. Belum lagi jalannya yang terjal.
Sampai suatu ketika, Sinar menghimbau Reski kembali mengenyam bangku pendidikan di salah satu SMK di Soppeng. Di sekolah itu, dia mendapati ada salah satu anak yang tinggal dekat dengan rumah Reski. Anak ini punya kendaraan pribadi untuk ke sekolah. Mereka pun dipertemukan.
Reski mulai berteman dengan anak itu. Sehari-harinya mereka berangkat bersama dan makin akrab. Tidak seperti saat menganggur, semangatnya kali ini berbeda. Ekspresinya begitu ceria dan sedikit malu-malu saat tim Save the Children menemui dia di sekolah.
“Rasanya senang. Bisa bersosialiasi dengan teman-teman juga. Percaya diri lagi,” ungkap Reski.

(Foto: Yusuf Ahmad / Save the Children)

(Foto: Yusuf Ahmad / Save the Children)
Reski adalah satu dari tiga anak yang didampingi oleh PATBM dalam proses remediasi. Salah satu anak lain adalah seorang anak perempuan. Dia berusia 15 tahun saat putus sekolah karena memilih menikah setelah hamil. Saat ini, dia sudah berusia 17 tahun dan berhasil kembali ke sekolah dengan mengambil Program Kelompok Belajar (Kejar) Paket C melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Satu anak lainnya adalah anak laki-laki yang sempat putus sekolah di kelas 2 SMP pada saat pandemi. Penghentian kegiatan tatap muka mengharuskan para siswa belajar dengan cara daring. Anak ini tidak memiliki gawai pintar seperti teman-temannya sehingga tidak bisa mengikuti sekolah daring. Setelah sempat berhenti, PATBM mendorong dan mendampingi dia untuk kembali ke sekolah. Akhirnya dia mau dengan mengikuti Program Kejar Paket B.
PATBM di dua desa ini seperti saling memberi warna. Di Desa Congko, mayoritas anggotanya orang muda usia 20-an tahun. Di Goarie, anggotanya lebih senior, lebih lama aktif dalam berorganisasi. Namun bukan berarti itu menjadi perbedaan yang sarat perbandingan.
Keduanya justru punya harapan sama untuk memperkenalkan praktik dan budaya baik di masyarakat kepada anak-anak. Salah satunya Barzanji – dibaca Barasanji oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan.
Barzanji merupakan doa-doa, pujian-pujian, dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW, dilafalkan dengan suatu irama atau nada, yang biasa dilantunkan untuk merayakan kelahiran, khitanan, pernikahan, dan maulid Nabi Muhammad. Upacara pembacaan ini sudah ada dalam tradisi masyarakat Bugis, tetapi sempat luntur sebelum belakangan ini menguat lagi di antara generasi muda, termasuk di Desa Congko dan Desa Goarie.
“Supaya bisa mengganti yang tua, ya regenerasi. Kalau tidak ada penerus-penerus, kan yang bisa sudah pada tua-tua begini. Sudah kakek, sudah nenek. Yang bisa Barasanji tinggal tua-tua,” kata Jusnang dari Desa Goarie.
Demikian juga yang terjadi di Desa Congko. Tradisi ini dihadirkan dalam kegiatan yang melibatkan anak-anak. Para kader PATBM menilai anak-anak lebih mampu menerima hal baru, dibandingkan saat sudah dewasa nanti. Menurut Nur, budaya dan tradisi keagamaan memang perlu dibiasakan kepada anak-anak.
“Ada kegiatan Maghrib Mengaji, yang waktunya kurang lebih satu jam antara waktu Maghrib sampai Isya. Kami mengumpulkan beberapa anak untuk satu jam bebas gadget. Selain itu, Barasanji (dilakukan) juga supaya anak-anak punya kegiatan keagamaan,” tutur Nur.
Hingga kini, para kader PATBM masih terus menjaga dan memperjuangkan perlindungan anak di desa masing-masing. Kehadiran kelompok ini telah membuka kesempatan lebih luas bagi anak-anak dalam mencapai cita-cita mereka.
Nur mengutip cerita salah satu orang tua di Desa Congko, yang merefleksikan pengalamannya masa kecil, ketika dia lebih banyak bekerja di kebun dibandingkan belajar.
“Andaikan kami muda, mungkin kami juga waktu itu akan menolak. Lebih baik waktu yang digunakan saat masih muda ini, kita gunakan untuk belajar,” ungkapnya. •