
Narsih (54), yang lahir dan besar di Jawa Tengah, memutuskan merantau ke Ketapang, Kalimantan Barat beberapa tahun silam. Perbedaan budaya dan lingkungan membuat Narsih harus beradaptasi untuk dapat menghidupi keluarganya. Dia mengerjakan banyak hal, mulai dari berjualan gorengan dengan berkeliling, menjadi tukang pijat untuk tetangga, sampai berjualan soto di rumah.
“Saya dulu keliling. Jualan iya, pijat iya. Serabutan. Warga butuh bantuan apa, saya kerjakan,” kata Narsih.
Narsih dan suaminya adalah orang yang mudah bergaul. Mereka aktif dalam kegiatan masyarakat, sampai akhirnya suaminya terpilih menjadi Ketua RT. Selama menjadi Ketua RT, suami Narsih kerap mendapatkan berbagai informasi terkini di kantor desa.
Suatu hari, sang suami mendapatkan informasi mengenai program tabungan Village Savings and Loan Association (VSLA) atau kelompok simpan pinjam desa yang diinisiasi oleh Save the Children dengan dukungan Cargill. Atas ajakan seorang kader, Narsih dan suaminya bergabung dalam kelompok tabungan VSLA bersama dengan warga-warga lain. Sebuah kelompok VLSA pun terbentuk.
VSLA adalah sebuah model penyelenggaraan kelompok simpan pinjam yang dikelola dan dimodali secara mandiri oleh anggotanya. Setiap kelompok terdiri dari 10-25 orang yang menabung bersama-sama melalui pembelian lot.
Kelompok dapat meminjamkan uang ke anggota yang butuh pinjaman berdasarkan keputusan kelompok lewat proses demokratis. Setiap peminjam dikenakan biaya aplikasi, yang besarnya tergantung nominal pinjaman, dan harus mengembalikan dana dalam waktu maksimal tiga bulan. Selain itu, kelompok juga mengumpulkan dana sosial, yang mana tidak dipinjamkan atau dibagikan, melainkan hanya untuk kebutuhan darurat anggota kelompok.
Program VSLA di kelompok Narsih dipadukan dengan kegiatan pengembangan usaha. Dalam diskusi, seorang kader program menyarankan kelompok ini untuk membentuk kelompok usaha ternak lele. Rekomendasi ini dibuat berdasarkan hasil survei pasar oleh tim program dari Save the Children.
Berikutnya, Narsih dan suaminya mulai mengikuti serangkaian pelatihan mengenai cara budidaya ikan lele, pembagian pakan, dan merawat ikan-ikan yang sakit. Bersama teman-teman anggota lain, Narsih mulai berternak ikan lele di samping rumah.
Saat percobaan pertama, Narsih dan teman-temannya sempat melakukan beberapa kesalahan yang memperlambat perkembangan ikan lele. Kegagalan ini membuat teman-teman anggota kelompok Narsih menjadi kurang bersemangat dan tidak aktif. Sementara itu, Narsih memilih untuk berkonsultasi dengan mentor. Dia tetap bersemangat untuk mencoba lagi berternak ikan lele bersama sang suami.
Mereka berhasil dalam upaya kedua ini. Ikan-ikan lele hasil panen dijual ke tetangga dan di pasar. Kendati upaya kedua tidak dilakukan berkelompok, hasil dari penjualan tetap dibagikan secara rata kepada anggota kelompok.
Berikutnya, suami Narsih membuat tiga kolam besar untuk mengembangkan budidaya ikan lele. Pada awalnya, tiga kolam baru ini memotivasi anggota kelompok lain untuk kembali aktif bekerja sama beternak ikan lele . Namun, selang beberapa bulan, anggota kelompok kembali menjadi pasif dan hanya Narsih dan suaminya yang tetap mengelola. Alhasil, hasil dari panen kedua ini masuk ke kantong keluarga Narsih dan suaminya.
“Sekarang (kebutuhan) tercukupi dari jualan lele. Sekarang ada tiga kolam buat diputar pengelolaannya. Tapi ya itu, nunggu bibit lele itu lama, pakannya juga mahal,” ujar Narsih.
Penghasilan Narsih, yang sebelumnya tidak menentu dari bekerja serabutan, kini telah meningkat dan cukup stabil. Dari ternak ikan lele, dia mendapatkan omset sekitar Rp 4 juta setiap dua bulan.
Narsih bercerita, kebutuhan ikan lele di daerah tempat tinggalnya cukup tinggi. Apalagi ketersediaan ikan lele termasuk langka dan harganya tinggi. Ketika ia baru saja memanen ikan lele, tetangga di sekitar rumahnya sudah mulai berdatangan. Begitupun ketika berjualan di pasar, ikan lele miliknya akan langsung habis terjual.
“Alhamdulillah, (jualan) lele di sini cepat habis. Belum sampai ke pasar saja sudah habis dibeli duluan sama warga sini,” ungkapnya.
“Rencananya, kalau kelompok enggak melanjutkan, ya saya yang teruskan. Soalnya pasar dan warga masih butuh. Beberapa kali saya sampai ditelepon orang di pasar, cari lele,” sambungnya.
Narsih berencana mengembangkan ternak ikan lele secara mandiri dengan lebih giat lagi dan menjualnya kepada warga sekitar dan di pasar. Dia ingin memenuhi kebutuhan ikan di daerahnya dengan harga yang lebih terjangkau.
Selain itu, dia juga mengembangkan strategi bisnis, salah satunya variasi produk jualan. Kini dia menjual tiga jenis lele: ikan mentah, ikan mentah dengan bumbu, dan masakan ikan siap saji. Pengembangan ini turut meningkatkan penjualan ikan lele Narsih.
Inisiasi kegiatan VSLA dan pelatihan pengembangan usaha, sebagaimana yang Narsih ikuti, adalah bagian dari program pendampingan masyarakat dalam sektor mata pencaharian yang dijalankan oleh Save the Children dan Gapemasda dengan dukungan Cargill di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Narsih, berbekal pengetahuan dan akses modal untuk memulai usaha ternak lele, telah berhasil meningkatkan penghasilan rumah tangga. Kini keluarganya tidak hanya bergantung pada hasil berkebun kelapa sawit yang dikelola suaminya, tetapi juga punya sumber pendapatan alternatif dari sektor non pertanian atau perkebunan. Harapannya, keluarga seperti Narsih, yang telah memiliki sumber pendapatan alternatif, lebih mampu memenuhi kebutuhan keluarga mereka, termasuk kebutuhan anak dan cucu mereka terkait kesehatan, pendidikan, dan hak-hak anak lain.