Minha (18) sedang berada di rumahnya. Hubungan dia dan ibunya cukup baik. Selain sebagai teman cerita, mereka berdua punya tujuan yang sama saat ini. Sama-sama ingin mengurangi jumlah perkawinan anak.
“Ayo kita jalan-jalan, ada cerita,” ajak ibunya untuk mampir ke rumah tetangga.
Mereka suka sekali begitu, sesekali duduk mampir bersinggah di satu rumah. Pembicaraan wajar, seperti percakapan sehari-hari atau diskusi ringan.
Rupanya ajakan ibu Minha hari itu bukan tanpa alasan. Ada hal serius yang hendak disampaikan oleh Minha dan ibunya. Jika seseorang yang sedang mereka datangi ini mulai bercerita akan menikahkan anaknya, padahal belum berusia 19 tahun, arah pembicaraan mulai berubah. Sang ibu dan Minha pelan-pelan menjabarkan dampak negatif perkawinan usia anak.
Perkawinan anak adalah perkawinan yang terjadi sebelum anak berusia 18 tahun. Hal ini menjadi fenomena yang marak terjadi, khususnya di daerah terpencil, jauh dari perkotaan. Fenomena ini tampaknya sudah menjadi tradisi sehingga dilakukan secara turun-temurun dengan tidak menghiraukan dampak negatifnya. Seperti yang terjadi di desa tempat tinggal Minha.
Di daerah tempat Minha tinggal, banyak warga pergi mencari nafkah sebagai pekerja migran. Hutang bisa muncul tiba-tiba setelah sebuah keluarga menikahkan anak mereka. Hal ini membuat anak laki-laki yang baru saja menikah itu pergi bekerja keluar negeri, bekerja di sana.
“Itu nanti usianya diubah biar bisa cepat berangkat. Kalau dia diam di rumah, faktor perceraiannya lebih cepat. Karena kalau dia di rumah, kan istrinya minta makan, minum, belanja,” tutur Minha.
Minha bergabung dalam kegiatan pelatihan child-led advocacy (CLA) atau advokasi yang dipimpin anak dari Save the Children pada akhir tahun 2021. Minha dan kawan-kawannya didampingi dalam mengidentifikasi persoalan di sekitar mereka dan menyampaikan usulan perubahan kepada pemangku kepentingan di daerah mereka.

Aktivitas tersebut merupakan bagian dari Program HEAL di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat, yang dijalankan oleh Save the Children bersama Yayasan TIFA dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan dukungan Uni Eropa. Kegiatan-kegiatan Program HEAL berupaya mempromosikan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mencapai keberlanjutan.
Saat mengikuti kegiatan itu, Minha makin aktif. Dia begitu vokal menyuarakan isu stop perkawinan usia anak. Baginya, perkawinan usia anak menimbulkan banyak dampak negatif dan merenggut hak-hak anak. Dia selalu ikut dalam kegiatan bersama teman-temannya di kelompok CLA, berkecimpung langsung dalam kegiatan sosialisasi terkait isu-isu tersebut.
“Kalau mereka ada acara kegiatan mingguan, kami datang, dan juga mengarahkan juga. Kalau mereka mau kegiatan sosialisasi di salah satu sekolah, kami cari informasi dulu, apakah sekolah itu siap menerima kami atau tidak, atau memang benar-benar kasusnya tinggi atau tidak, apakah kondisi dari teman-teman dan lingkungan juga memungkinkan atau tidak,” ungkap Minha.
Bersama dengan kawan-kawan CLA, Minha menemukan 14 kasus perkawinan usia anak dalam kurun waktu satu tahun, sejak awal 2021 hingga awal 2022. Menurut pandangannya, baik anak laki-laki atau anak perempuan sama-sama dirugikan.
“Sudah, sudah, kamu enggak usah sekolah karena ujung-ujungnya kamu di dapur, kamu juga ngurus anak, nanti yang cari uang itu suamimu. Nanti kalau kamu berpendidikan, ujung-ujungnya kamu berani membantah suamimu,” kata Minha menirukan perkataan orang-orang di sekitarnya.
Lain cerita dengan anak laki-laki. Suatu hari, Minha bermain bersama teman-temannya. Sore hari ketika pulang, mereka bersama-sama mampir duduk di teras rumah salah satu teman laki-laki. Dia mendengar ucapan yang agak keras dari dalam rumah.
“Sampai rumah, makan, tidur. Daripada kamu diam di rumah, kamu enggak ada kerjaan, kamu disuruh enggak mau, kamu disuruh bantu orang tua ke sawah enggak mau, ya sudah kamu nikah saja,” ucap Minha menirukan.
Minha merasa terenyuh. Usia anak mestinya memiliki hak bermain dan hak mendapat pendidikan. Bukan menikah dan melepas waktu bermain, atau pun memutus sekolah. Dia pernah mendengar, bagaimana temannya yang berusia 16 tahun sudah menikah dan tak lama berselang, mereka bercerai.
“Yang laki-laki itu sudah selesai MTs (Madrasah Tsanawiyah, setara SMP) dan tidak melanjutkan sekolah, sedangkan yang perempuan itu baru masuk SMA,” terangnya.
Minha dan kawan-kawannya kemudian juga berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh anak. Sebagai tim peneliti, mereka memilih mengangkat isu perkawinan usia anak. Mereka melakukan wawancara terhadap korban perkawinan usia anak serta orang tua, guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah terkait, bidan desa, dan pemerintah desa diwakili oleh Kepala Seksi Pelayanan serta Kepala Bidang Perlindungan Anak dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Menurut Minha, berdasarkan hasil penelitian ini, setidaknya ada tiga faktor penyebab perkawinan usia anak di desanya. Faktor persepsi masyarakat sekitar adalah yang utama.
“Eh, itu enak ya, mereka nikah,” ujar Minha menirukan celotehan orang-orang. Artinya, kelompok masyarakat ini memandang pernikahan sebagai hal menyenangkan saja tanpa melihat kesiapan mental dan usia.
“Apa sih yang kita kerjakan, sekolah kan juga gini-gini saja,” sambungnya menirukan ungkapan seseorang pada lawan jenisnya ketika ada keinginan untuk menikah.
Pernyataan demikian mulai sering muncul saat pandemi COVID-19, ketika kegiatan sekolah dilakukan secara daring. Faktor terkait penggunaan gawai pintar (smartphone) menjadi alasan kedua. Beberapa anak-anak memutuskan untuk menikah setelah kenal beberapa bulan melalui gawai pribadi masing-masing.
Ketiga adalah faktor pengasuhan orang tua. Di antara beberapa anak-anak, muncul perasaan kurang dekat dengan orang tua sebab sebagian besar punya pengalaman ditinggal orang tua yang pergi sebagai pekerja migran. Menurut Minha, biasanya laki-laki yang cenderung merasa demikian dan memutuskan untuk menikah supaya kelak mendapat perhatian dari istrinya.
Minha bersama kawan-kawannya juga menemukan bahwa perasaan ini muncul saat anak yang bersangkutan merasa jauh dari orang tuanya, yang sejak usia 5-6 tahun sudah ditinggal orang tuanya bekerja di negara lain. Mereka mengalami perundungan verbal, seperti, “Ih, kasihan, enggak punya bapak kayak kita.” Mereka juga pernah mendapatkan stigma negatif dan difitnah sebagai pencuri karena dianggap tidak punya uang. Mereka merasa kurang percaya diri dan kekurangan dukungan emosional dari orang tua.
Kondisi ini berlangsung turun-temurun, terulang lagi pada anak-anak generasi saat ini. Seperti tidak ada jalan lain. Seolah-olah hanya punya dua pilihan, bekerja atau menikah. Tidak ada waktu dan biaya untuk sekolah, apalagi hak bermain. Jadi, pergi ke luar negeri terlihat sebagai solusi terbaik. Namun, bagaimana dengan kasih sayang kepada istri dan anak mereka di kampung halaman?
Minha terdiam sebentar sebelum melanjutkan cerita. Cerita dia berikutnya adalah tentang teman-temannya yang hamil di luar pernikahan. Beberapa di antaranya berusia 15-16 tahun. Ini masih tergolong usia anak. Namun Minha tidak akan langsung membicarakannya. Jika keluarga bersangkutan tidak membuka cerita, dia tidak akan mencari tahu lebih dalam. Menghargai hak orang lain adalah salah satu hal penting baginya.
Begitu pula ketika dia mengingatkan teman-temannya. Dalam kegiatan sosialisasi bersama forum anak di sekolah-sekolah, Minha menyampaikan banyak hal. Akses untuk berkegiatan di sekolah harus didapatkan secara utuh. Tidak ada pihak berwenang yang terlewatkan soal perizinan.
Save the Children, melalui salah satu program terkait promosi hak asasi manusia, berupaya mendorong dan mendampingi anak-anak di desa tempat Minha tinggal agar mereka bisa lebih berdaya, mampu bersuara, dan mendapatkan hak partisipasi. Hasilnya, terbentuk Forum Anak Desa dan kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di desanya. Pemerintah desa melibatkan kedua kelompok ini dalam Musrenbang Desa. Keduanya juga menjadi motor penggerak perubahan untuk memberantas perkawinan usia anak dan kekerasan terhadap anak.
Forum Anak Desa ini aktif melakukan sosialisasi isu perkawinan usia anak di sekolah, mulai dari SMP/MTs hingga SMP/MA. Hal ini diupayakan sebagai permulaan sebelum nantinya mereka melakukan pendekatan untuk bisa memberikan edukasi yang lebih dalam. Tidak hanya itu, Minha dan teman-temannya menggali data sampai ke teman-teman para siswa. Kegiatan aktif ini tentu tidak mudah. Biasanya mereka mengingatkan bahwa perkawinan usia anak memiliki banyak dampak negatif. Kalau diperlukan, mereka mengajak karib dari anak yang akan menikah supaya edukasi tertanam dengan baik.
“Nanti mereka saling tolong menolong, ada di antara kami cari teman akrab dari korban, nanti supaya bisa mendekati dan nasehatin bahwa pernikahan itu nggak baik, punya dampak. Kalian itu harus berpendidikan, begitu misalnya,” ungkap Minha.
Kegiatan edukasi ini menampakkan hasil. Forum anak sedikit demi sedikit mulai merasakannya. Salah satu orang di desanya mulai menjadikan sosok Minha sebagai contoh.
“Ih kamu tuh nggak usah nikah-nikah, masih kecil, kamu nggak tahu nikah itu kayak gimana sakitnya. Coba itu lihat kakaknya, kuliah. Coba kamu belajar kayak dia,” kata Minha menirukan pernyataan salah satu orang tua.
Setelah mulai melihat hasil yang semakin baik, Minha mengajak teman-teman sebayanya untuk bergabung di forum anak. Baginya, cara demikian menjadi salah satu solusi. Dia tidak mau hanya semata-mata memberikan edukasi, dan sudah selesai begitu saja.
“Eh kenapa? Siapa yang mau menikah?” Pertanyaan demikian muncul saat dia mendengar ada temannya yang akan dinikahkan. Minha lantas bertandang ke rumah teman itu dan bercakap dengan orang tuanya.
“Eh, nggak boleh kita kayak gitu, nanti gimana ngurusnya, terus kan nanti kasihan anaknya. Masa Bibi mau cepat-cepat punya cucu? Udah tua dong?”
“Tapi daripada dia di rumah, kan kayak gini-gini aja.”
“Ih, lebih baik dia di rumah, nggak ada jadi omongan orang. Kalau nikah sekarang, kan Bibi juga yang malu. Suruh dia ikut di forum anak, kita main-main di forum anak.”
“Apa itu namanya kayak gitu?”
“Ada, Bi. Forum Anak namanya. Di sana mereka diajarin, mereka belajar.”
“Oh ya deh, besok coba ikut.”
Anak-anak kecil satu per satu bergabung di forum anak. Ada pula yang masih duduk di tingkat sekolah dasar.
“Karena memang orang tua di sini, (menganggap) kalau sudah anaknya SMA, ya sudah waktunya cari uang,” tutur Minha.
Minha tetap terus berjuang dengan lebih sabar dan hati-hati. Jangan-jangan ini bukan hambatan, hanya persoalan waktu, pikirnya. Motivasi ini tumbuh seiring fakta-fakta baru yang ditemukan di lingkungan terdekatnya.
Pembentukan forum anak bukan berjalan tanpa halangan. Suatu waktu Minha hampir saja menelepon tim dari Save the Children, tepatnya pada April 2022. Dia sempat merasa kalau pembentukan forum anak mesti ditunda atau tidak ada sama sekali. Jauh dari titik terang saat itu. Respons tetangganya tidak baik-baik saja. Minha dihimbau untuk hanya diam di rumah, bantu orang tua di sawah, cari pakan sapi, atau melakukan pekerjaan di rumah. “Daripada kegiatan kayak gitu apa sih, nggak ada yang didapat, juga nggak dapat uang,” terang Minha menirukan ucapan beberapa orang di desanya.
“Saya ingin benar-benar lingkungan saya mengerti apa dampak dari pernikahan anak itu,” lanjut Minha berharap.
Minha kecil sering jalan bersama teman-temannya sepulang sekolah. Dia melihat beberapa di antaranya kemudian pergi ke hutan untuk mengerjakan sesuatu. Ada yang mencari kayu bakar, pakan untuk sapi, atau pakis dan rebung untuk dijual. Besoknya, mereka akan saling bertukar cerita saat bertemu di sekolah. Kisah ini masih jelas tergambar di pikirannya hingga sekarang.
Minha berharap apa yang dia lihat saat kecil mulai berubah lebih positif seiring bertambah usianya.
“Saya punya cita-cita. Saya ingin mengubah pola pikir orang-orang di sini bahwa pendidikan itu penting dan pernikahan untuk anak tidak diperbolehkan.”