Kisah Dilla dan Via, Melatih Kesiapan Kerja Lewat Program Magang Inklusif

Cerita Program

Dilla (18), salah satu murid Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jawa Barat, mengalami disabilitas tuli. Ia bisa mendengar, tetapi baru mendengarnya dengan jelas jika sumber suaranya berjarak dekat dengan volume keras. Meski demikian, kenyataan tersebut tidak membatasi perkembangan ketrampilan Dilla. Perlahan hobi dan kreatifitasnya justru semakin tampak dan terasah.

Dunia fotografi dan pemasaran digital menjadi dua bidang saling berkaitan dalam dunia kerja saat ini. Dilla melihat peluang tersebut. Ia kemudian terus-terusan berlatih demi menguasai dua ketrampilan tersebut dan secara perlahan, menerapkannya di tempat magangnya di salah satu rumah makan.

“Dilla magang di bidang yang dia suka, di bidang digital marketing. Dia suka main-main laptop memang,” ungkap ibunya.

Aktivitas Dilla mulai mengalami perubahan setelah magang. Usai dari bekerja di tempatnya magang, dia akan langsung tidur setelah mengatur jadwal untuk esok hari. Kebiasaan ini membuat jam tidurnya jadi lebih teratur.

“Selama pelatihan (program magang) lebih merasa semakin percaya diri dan mendapatkan ilmu,” kata Dilla.

Ibunya sempat heran sebab anaknya tidak pernah mengeluh selama magang. Aktivitas tersebut justru membuat Dilla menemukan dunianya, menemukan relasi baik di sekitarnya. Padahal dari tempat tinggalnya ke lokasi magang, ia harus menempuh perjalanan yang cukup jauh.

“Di sana (rumah makan), banyak orang yang datang. Dari pelanggan, sampai enam teman-temannya yang magang di sana, bikin Dilla bisa bersosialisasi dan lebih percaya diri. Lebih berani ungkapin yang dia rasakan, yang dia pikirkan,” tutur ibu Dilla.

Kegiatan magang yang diikuti Dilla dan teman-temannya merupakan bagian dari program kesiapan kerja Save the Children bernama Skills to Succeed. Program ini secara khusus mendampingi anak remaja dan orang muda yang mengalami ketidaksetaraan dan kurang memiliki keterampilan dan pengalaman kerja, terutama anak-anak disabilitas. Melalui program ini, mereka didukung dengan kesempatan untuk mengasah keahlian dan memperluas jaringan yang dibutuhkan supaya sukses dalam menggapai peluang ekonomi baru.

Saat ini, Program Skills to Succeed bekerja di dua lokasi, yakni Bandung dan sekitarnya serta Surabaya dan sekitarnya.

Yana, manajer Rumah Makan Alas Daun, yang menjadi tempat magang Dilla, bercerita bahwa program magang ini berjalan cukup baik. Ini ditunjukkan melalui tidak adanya komplain yang masuk dari pelanggan selama kegiatan magang berlangsung. Apalagi, di luar program magang Save the Children, rumah makan tempatnya bekerja telah memiliki 2% karyawan dengan disabilitas.

“Teman-teman disabilitas memiliki kesempatan dan hak sama dengan orang pada umumnya. Mereka juga memiliki perasaan optimis di samping keterbatasan mereka. Mereka pun berhasil melakukan itu. Karyawan kami yang disabilitas, ada yang sudah 10 tahun bekerja. Jadi itu bukti berhasil bahwa karyawan disabilitas bisa,” terangnya.


Via (21), disabilitas rungu wicara, juga pernah mengikuti program magang yang didampingi oleh Save the Children. Aktivitas sehari-hari Via cukup padat, mulai dari membuat parcel, menulis, hingga memasak. Berbicara dengannya perlu menguasai bahasa isyarat. Karena itu, ia sangat suka mengajarkan bahasa isyarat kepada banyak orang.

Di rumah makan tempatnya magang, Via melihat pesanan menu, mengingatnya, dan berjalan ke dapur lagi. Di dapur, ia kembali melihat masakan untuk konsumen. Jika ada yang kurang, ia akan menuliskan tambahannya. Masakan daging ayam, sayur-sayuran, dan masakan lain mulai dipisahkan. Masih ada sate dan sambal. Dia mengingat lagi nomor duduk pemesan. Terakhir, dia lihat lagi. Lalu kembali menyesuaikan dengan catatan pesanan.

Rutinitas harian yang ia dapat selama magang itu melatihnya. Di rumah, Via kembali belajar meracik agar kualitas pelayanan di tempatnya magang bisa terus mengalami peningkatan. Ini supaya tidak ada yang salah antara cangkir kopi atau gelas jus, ukuran kecil atau yang besar. Takaran gula juga demikian, tidak bisa terlalu banyak atau terlalu sedikit. Semua harus sesuai. Terlihat biasa, tetapi akan jadi memusingkan kalau pesanan sedang banyak. Semua perlu serba cepat bergerak secara tepat, tidak ada waktu untuk sekadar mengingat-ingat pesanan.

Segala rutinitas ini telah Via alami sejak mendapat kesempatan magang di Warung Makan Tangek, Jawa Barat. Awalnya dia merasa takut dan malu. Dia juga merasa tidak bisa melakukan itu. Di luar dugaan, rekan-rekan kerjanya mendukung dan memberi semangat.

“Saya juga mengajari bahasa isyarat ke teman-teman dari Save the Children. Saya jadi fasilitatornya. Saya ajari selamat siang, assalamualaikum, mengenalkan huruf isyarat, mengajarkan mengeja nama sendiri,” ungkapnya.

Tidak ada lagi rasa takut dan cemas dari ekspresinya. Dia paham bahwa pekerjaan seperti itu membutuhkan proses untuk membiasakan diri. Via tidak takut pulang sore atau malam hari. Dia tidak ingin merepotkan orang lain. Awalnya, itu menjadi tantangan dalam dirinya, namun akhirnya menjadi kekuatan.

“Saya tulis (penghasilan) di buku tabungan saya. Mengurangi minta uang ke bapak atau mamak, saya kerja magang sekaligus mengumpulkan uang. Harus semangat. Jangan takut. Kalau ada yang tumpah, bereskan dan minta maaf, sabar saja. Langsung minta maaf, dibereskan, dan sabar. Terus semangat,” jelas Via.

Pemilik rumah makan tidak takut dengan situasi demikian. Dikdik, manajer Rumah Makan Tangek bahkan meminta kerja sama dari karyawan lain untuk turut menemani kerja teman-teman disabilitas.

“Ada teman-teman dari himpunan restoran, nanya juga, itu gimana, itu gimana (bekerja bersama disabilitas). Ya, enggak gimana-gimana, kami terbuka. Mereka tanya, bisa kerjanya? Saya jawab, masalah kerja, semua juga enggak akan langsung bisa. Kita harus mengajari dulu. Tinggal kita sebagai pihak restoran, siap tidak mengajari mereka,” pungkas Dikdik.

scroll to top button