Kisah dari Sengeng Palie, Kolaborasi Mencegah Perkawinan Anak dan Membantu Anak Kembali ke Sekolah

Cerita Penggerak

Staf Save the Children dan kader PATBM memberikan sesi sosialisasi tentang perlindungan anak kepada para petani kakao di desa.

Sejumlah 328 desa diberikan surat oleh Bupati Bone. Isinya ajakan kembali ke sekolah bagi anak-anak yang tidak lagi mengenyam pendidikan. Angka putus sekolah di Kabupaten Bone memang cukup tinggi. Desa Sengeng Palie salah satunya. Wasri, sekretaris desa yang juga merangkap sebagai Ketua PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), membenarkannya. Menurut Wasri, alasan anak putus sekolah biasanya berkaitan aktivitas ekonomi.

“Ya artinya, orang tua ada kecenderungan pikiran kuno barangkali, seperti misalnya, kenapa sih mau sekolah? Mau jadi presiden? Hanya satu (orang bisa jadi presiden). Mau jadi polisi? Hilang banyak uang. Yang sekarang dibutuhkan adalah time is money atau waktu adalah uang,” kata Wasri, mengulang salah satu pendapat yang dia temui.

Hari mulai siang saat kami berkunjung ke rumahnya. Wasri ditemani oleh Syukur, kepala dusun yang juga merangkap sebagai kader PATBM, dan Ariswandi, kader PATBM yang lebih muda. Mereka menjelaskan bahwa masih banyak warga menafikan pendidikan, seolah-olah kondisi ekonomi dan peran pendidikan tidak berkorelasi. Menurut mereka, fenomena ini yang coba diatasi oleh Pemerintah Kabupaten Bone melalui gerakan Lisu Massikola.

“Lisu itu artinya kembali, massikola itu bersekolah,” katanya lagi.

Lisu Massikola sebenarnya adalah gerakan yang sudah ada sejak tahun 2017 dan berhasil mengembalikan 5.000 anak ke sekolah saat itu. Angka keberhasilannya juga semakin naik. Ada 8.688 anak kembali bersekolah di tahun 2021.

Desa Sengeng Palie mendukung gerakan tersebut melalui kelompok PATBM. Mereka lantas mengupayakan ada alokasi dana desa untuk kegiatan perlindungan anak, serta memberi bantuan pada anak-anak yang sedang terdampak langsung. Ini termasuk membantu anak putus sekolah untuk kembali ke sekolah dengan dana desa. Jika sekolahnya formal, bantuannya non tunai atau dalam bentuk barang. Jika sekolahnya non formal, bantuannya tunai dan langsung diberikan ke sang anak.

Pada tahun 2022, pemerintah desa ini telah membantu sembilan anak untuk kembali ke sekolah dengan dana desa senilai Rp14 juta. Tiga anak mengambil Program Kejar Paket C atau setara SMA. Enam anak lain mengambil Paket B atau setara SMP. Semebilan anak putus sekolah ini didapat dari asesmen PATBM yang didukung oleh Save the Children dan LPP Bone, serta dari Posyandu Remaja.

AN* sempat putus sekolah, tetapi kini bisa kembali melanjutkan sekolah lewat Program Kejar Paket C dengan bantuan PATBM.

Salah satu anak tersebut adalah AN* (16). Dia terkendala akses dan transportasi untuk ke sekolah. Jaraknya terlalu jauh untuk berjalan kaki. Di desanya, anak-anak SMA biasanya sudah punya tandem satu sama lain untuk pergi ke sekolah karena lokasinya memang lumayan jauh.

Keluarga AN hanya memiliki satu sepeda motor. Ayahnya adalah seorang petani. Lokasi kebunnya ada di Luwu, jauh dari tempat tinggalnya saat ini. Karena itu, sepeda motor tersebut dipakai oleh sang ayah untuk bolak-balik bekerja.

“Gara-gara jarak dan jalan, masalah kendaraan. Tidak ada yang menemani ke sekolah,” kata AN.

Sampai suatu ketika, kelompok PATBM mengajaknya kembali bersekolah, tetapi di program pendidikan kesetaraan. Kini dia telah terdaftar di Kejar Paket C. Pada Oktober 2022, dia sudah mengikuti dua kali kelas belajar dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan telah menerima buku paket untuk belajar.


Pemerintah desa dan PATBM Sengeng Palie tidak hanya berhenti di isu pendidikan anak. Sebagaimana kelompok PATBM di beberapa desa lain, mereka juga memperhatikan dan menangani sejumlah isu perlindungan anak lain, seperti identitas anak, perkawinan anak, dan kekerasan anak.

Save the Children dan LPP Bone, melalui program perlindungan anak di sektor kakao yang didukung oleh Cargill, mendorong dan mendampingi pembentukan PATBM di Desa Sengeng Palie. Kehadiran kelompok ini melengkapi kegiatan dan lembaga desa yang juga telah bekerja untuk hak-hak anak. Misalnya Posyandu dan TK/TPA (Taman Kanak-kanak/Taman Pendidikan Alquran). PATBM berfokus pada upaya pencegahan dan penanganan kekerasan anak serta menjadi tempat rujukan warga yang melaporkan masalah hak anak, seperti putus sekolah.

Ariswandi, salah satu kader PATBM Desa Sengeng Palie.
Wasri, Sekretaris Desa Sengeng Palie dan sekaligus Ketua PATBM.

“Kami dari PATBM melakukan kegiatan seperti sosialisasi (perlindungan anak) ke sekolah, kadang juga blusukan ke rumah warga. Kita memanfaatkan kalau ada kegiatan pemerintah desa untuk menyalurkan bantuan, itu kita sisipkan juga (sosialisasi). Pada saat Jumatan, meskipun sebentar, kita usahakan untuk menjelaskan masalah pekereja anak, perlindungan anak, dan sebagainya,” tutur Ariswandi.

Kolaborasi PATBM tidak hanya dengan kelompok lain di desanya, tetapi juga lintas desa. Ini terjadi juga di Desa Sengeng Palie. Mereka pernah diminta untuk memperkenalkan proses penanganan kasus, misalnya anak putus sekolah atau anak yang mengalami kekerasan. Wasri mengakui bahwa kader PATBM perlu memahami prosedur, undang-undang, atau aturan hukum lain yang relevan dalam setiap kasus terkait anak.

Sesi sosialisasi isu perlindungan anak mencakup beberapa topik, antara lain siapakah anak, hak-hak anak, jenis kekerasan anak, pekerja anak, dan jenis pekerjaan berbahaya bagi anak.

“Sebagai PATBM, kader juga perlu tahu soal alur itu. Misalnya ada kasus satu, itu harus pergi ke mana. Misalnya kekerasan, bisa ke PPA Polres (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak). Karena PATBM bukan menyelesaikan persoalan, hanya menghubungkan, kami (lakukan) sosialisasi. Untuk itu, semua harus koordinasi dengan pemerintah desa,” ungkap Wasri.


PATBM Desa Sengeng Palie juga pernah berkolaborasi dengan kelompok PATBM desa lain dalam penanganan kasus. Kasus pertama adalah perebutan hak asuh anak sebuah keluarga di desa tetangga. Persoalan ini muncul setelah sang anak lahir dan berusia 9 bulan.

“Kami selaku PATBM di Sengeng Palie bekerja sama dengan pemerintah desa dan PATBM di sana. Kami, juga bersama dengan Pak Babinsa, dengan kepala desa di sana, pergi untuk mediasi di rumah orang tua si anak ini. Tetap dia ngotot tidak mau ngasih (hak asuh) ke istrinya. Jadi, tidak bisa juga kami putuskan karena kami hanya pencegah,” tutur Syukur.

Wasri menambahkan, kondisi demikian berada di wewenang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). PATBM pada dasarnya tidak bisa menangani masalah ini sepenuhnya dan harus merujuk kasus tersebut ke lembaga lain. Hal ini disadari oleh Wasri, Syukur, Ariswandi, dan rekan-rekan mereka. Karena itu, mereka hanya melakukan mediasi supaya persoalan ini lebih mudah diselesaikan, sebelum merujuk ke lembaga lain.

Kasus kedua adalah rencana perkawinan usia anak. Wasri mendengar kabar bahwa seorang warga usia anak akan menikah. Orang tua sang anak yang menyampaikan kabar ini. Setelah ditelusuri, yang bersangkutan memiliki hubungan kerabat dengan salah satu kader PATBM dari desa tetangga.

Wasri menghubungi kader tersebut. Mereka berdua bertemu untuk membicarakan dan menangani persoalan ini. Hasilnya, keinginan orang tua yang bersangkutan untuk menikahkan anak mereka berhasil dikendalikan. Sang anak laki-laki dan perempuan juga sepakat menunda pernikahan hingga mereka berusia dewasa.


Di hari lain, kasus rencana perkawinan anak terjadi lagi. Seseorang datang ke kantor desa dan bertanya tentang syarat pernikahan. Kader PATBM saat itu tidak ada di lokasi. Syukur mendengar kabar ini dan lantas berniat untuk mendiskusikannya dengan orang yang bersangkutan.

Malam harinya, Syukur mendatangi LPP Bone, meminta petunjuk tentang perlindungan anak dan hal-hal terkait hak anak. Dia bermaksud mendatangi rumah orang yang tadi sempat datang ke kantor desa. Sesampainya di sana, dia menjelaskan aturan-aturan tentang perkawinan anak.

“Di bawah umur, belum bisa (menikah), saya katakan. Alhamdulillah, karena dia mengerti. Akhirnya, dia jelaskan k anak-anaknya. Nah, tetapi pernikahan ini bukan tidak jadi, tapi ditunda saja. Kurang lebih 10 bulan (ditunda) kayaknya,” kata Syukur.

Syukur juga mendengar bahwa orang-orang yang bersangkutan itu sempat nekat dan bertemu dengan beberapa pihak untuk mendapatkan izin menikah. Kabarnya, uang panai sudah diberikan. Jadi, pernikahan tetap diupayakan walaupun pemerintah desa mengatakan tidak bisa.

Uang panai biasa disebut juga dengan uang naik atau oleh sebagian besar masyarakat setempat disebut dui’menre. Biaya ini menjadi bagian penentuan kelancaran pernikahan. Diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sesuai kesepakatan. Selain itu, uang panai juga bukan mahar. Jumlahnya bahkan bisa lebih tinggi dari mahar.

“Begini. Apabila dia ngotot, nekat, mau nikah, ya sudah itu di luar tanggung jawab kami. Apabila ada (petugas) turun, monitoring, bilang ada warga Desa Sengeng Palie yang menikah di bawah umur, nanti saya kasih surat ini. Sudah ada ini, untuk antisipasi,” tutur Wasri.

Surat yang dimaksud adalah pernyataan tertulis resmi dari pemerintah desa dan PATBM bahwa mereka menolak perkawinan tersebut. Pemerintah desa merilis surat pernyataan penolakan kepada warga yang ingin menikah, tetapi tidak dapat memenuhi semua syarat, termasuk batas usia. Mereka juga tidak membantu proses pengurusan pencatatan perkawinan. Tanpa surat keterangan dari desa, praktis “perkawinan” tersebut tidak dapat didaftarkan.

“Namanya pemerintah itu, apabila ada kejadian begini tanpa ada administrasi (pencatatan, dalam hal ini surat penolakan), namanya pembiaran,” sambungnya.

Salah satu warga peserta sosialisasi menjawab pertanyaan dari fasilitator mengenai mana saja pekerjaan berbahaya bagi anak di kebun kakao.

Wasri bercerita, dia dan para kader PATBM menjalankan tugas sesuai aturan-aturan negara. Selebihnya, hanya mengingatkan saja. Misalnya, mengenai Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu poin penting UU ini adalah perubahan batas usia perkawinan. Perkawinan hanya dapat diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

“Ini anak yang ‘kecelakaan sosial’, misalnya hamil, itu baru bisa dispensasi,” tutur Wasri memberikan contoh kasus. “Ada surat rekomendasi dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), tetapi itu dokternya tidak sembarangan. Kalau di Bone, hanya satu (dokter) saja.Tidak boleh sembarang dokter. Hanya satu dokter yang bisa memberikan hasil visum,” tegas Wasri.

Anggota kelompok PATBM di Desa Sengeng Palie berjumlah sembilan orang. Perjuangan mereka untuk mewujudkan pemenuhan hak anak masih terus berlanjut. Syukur menyatakan bahwa anak adalah harapan masyarakat yang sebisa mungkin dihindarkan dari persoalan seperti kekerasan, pekerja anak, bahkan kekerasan seksual.

“Anak masih butuh perlindungan. Anak itu pikirannya belum matang. Kita perlu mengarahkan. (Anak-anak) masih mudah berpindah-pindah haluan,” tutup Syukur di akhir perbincangan.

*) Nama disamarkan

Teks: Nicolaus Sulistyo
Wawancara: Nicolaus Sulistyo, Ihwana Mustafa
Editor: Purba Wirastama
Foto: Yusuf Ahmad / Save the Children
scroll to top button