Fiersa Temukan Hobi Baru lewat Program Dukungan Kesehatan Mental

Cerita Perubahan

Fiersa (10) adalah murid kelas 5 SD di Bandung, Jawa Barat. Ia dan teman-temannya di kelas beberapa bulan ini telah mengikuti sesi dukungan psikososial lewat kegiatan seni yang dipandu oleh gurunya. Kegiatan ini menggunakan metode Healing and Education through the Arts atau HEART yang dikembangkan oleh Save the Children.  

Dalam HEART, anak-anak termasuk Fiersa diajak melakukan kegiatan untuk relaksasi dan mengekspresikan diri. Sebelumnya, para guru telah dilatih oleh tim program, termasuk psikolog, untuk dapat memandu kegiatan ini untuk murid-murid mereka di kelas.

Fiersa menjelaskan cerita di balik lukisannya kepada guru dan teman sekelasnya

Fiersa bercerita, ia telah mengikuti sesi HEART sejak kelas 4 semester 2. Awalnya, ia merasa senang, tetapi sekaligus ragu karena ini hal baru baginya. Ia masih ingat saat Bu Diana, guru olahraga dan salah satu fasilitator HEART, meminta Fiersa dan teman-temannya untuk berimajinasi dan membayangkan diri mereka sedang memetik buah di sebuah pohon. Ia kemudian menggambar buah apel karena apel adalah buah kesukaannya. 

“Seneng karena bisa mendapatkan ilmu yang nggak pernah dicoba. Jadi, yang sebelumnya enggak bisa, sekarang bisa menggambar, melukis, dan membuat (patung dari) plastisin. Senang karena bisa dapat hal baru,” jelas Fiersa 

“Pilih kelas HEART, seru. Aku suka melukis, biasanya melukis pemandangan. Sebelumnya belum (pernah melukis), baru karena program ini, baru suka,” lanjutnya. 

Fiersa juga antusias mengikuti sesi. Ia merasa HEART telah membantu ia mengembangkan keterampilan yang belum pernah ia coba. Sebelumnya, ia tidak terlalu bisa menggambar. Namun saat ini, Fiersa jadi sangat senang menggambar. Sepulang sekolah, tak jarang ia membuka buku gambarnya dan menggambar hewan-hewan kesukaannya. Sekarang Fiersa jadi memiliki hobi baru. 

“Awal mulanya, dulu dari kelas 4 kalau enggak salah. Awalnya, senang, ragu, mencoba hal baru, masih bingung. Awalnya, guru datang, terus mengenalkan program HEART, disuruh berimajinasi dulu. Matanya disuruh tutup, terus membayangkan, terus kalau sudah, baru digambar. Kalau sudah, nanti diceritakan, gitu. Ibu Diana yang awalnya dateng, (dia) guru PJOK (Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan),” kisah Fiersa. 

“Jadi lebih jago menggambar, jadi senang menggambar. Jadi, kalau sudah pulang di rumah, suka buka buku gambar, terus menggambar. Sebelumnya, aku enggak suka menggambar, jadi suka menggambar karena ini. Biasanya kalau di rumah suka menggambar hewan, kadang ikan, dan hewan-hewan lain karena hewan lucu dan aku suka hewan,” lanjutnya. 

Fiersa dan teman sekelasnya saat melukis di kelas Program HEART

Menurut Fiersa, anak-anak lain yang belum mencoba kegiatan seni rupa, seperti melukis dan menggambar, harus mencoba belajar seni rupa. Seni rupa telah membuatnya mendapatkan hobi baru dan sekaligus mengatasi stres. Fiersa mengaku menjadi lebih senang dan bersemangat. 

“Teman-teman harus mencoba seni rupa, karena kalian juga bisa mendapatkan ilmu yang belum pernah kalian coba. Pasti senang, terus menghilangkan stres. Lebih senang aja gitu,” jelas Fiersa. 

Linda (42), salah satu guru dan fasilitator lain bercerita, pada saat awal penerapan HEART, banyak anak yang masih belum terbiasa. Beberapa murid masih tampak bermalas-malasan mengikuti program. Namun, ada juga murid-murid yang antusias. Setelah empat bulan berjalan, anak-anak mulai terbiasa dengan sesi HEART dan semakin banyak murid yang antusias mengikuti sesi.  

“Awal-awal, karena anak-anak belum terbiasa, jadi biasa saja (mengikuti HEART). Ketika sudah kali kedua, berikutnya, terutama ketika kita pelaksanaan relaksasi (mereka antusias. Namanya anak-anak, maklum ya, ada yang antusias, ada yang ribut, ada yang bermalas-malasan. Tapi makin ke sini sudah mulai terbiasa. Terus anak-anak melihat properti seni dari Save the Children, mereka antusias. ‘Ini, Bu, ini untuk apa?’ ‘Nanti kita ngapain?’ Jadi, mereka sudah enggak sabar nunggu sebetulnya,” jelas Linda.

Diana, Linda, dan dua guru lain dari sekolah yang sama telah mengikuti pelatihan sesi HEART yang diadakan oleh Save the Children dan Yayasan PULIH pada akhir tahun 2022. Pelatihan ini dibuat untuk meningkatkan kesadaran banyak pihak, termasuk guru, dalam memenuhi kesejahteraan mental psikologis anak-anak melalui penerapan sesi HEART. Pandemi COVID-19 telah menimbulkan berbagai dampak negatif, salah satunya gangguan kondisi kesehatan mental anak-anak dan orang dewasa.  

Linda bercerita, pengalaman pertamanya mengikuti pelatihan HEART sangat menyenangkan karena pelatihan ini merupakan hal baru dan memperkenalkan seni untuk pemulihan kondisi psikis anak pasca pandemi. Saat ini, ia dan tiga rekan gurunya sudah menjadi fasilitator hampir selama 4 bulan untuk anak kelas 4 dan 5. 

“Banyak, ya, manfaatnya. Manfaatnya anak-anak jadi punya fasilitas untuk seni dan jadi lebih banyak mengeksplor, karena, kan, barang-barang atau properti yang dikirim dari Save the Children menunjang untuk kegiatan seni. Sebelumnya kan kalau dari sekolah gak ada, kan, yang gini-gini. Sekarang anak-anak jadi mengenal oh ini teh ada kuas, ada cat. Sebelumnya, kan, tidak difasilitasi oleh sekolah, paling anak-anak hanya bawa crayon dan pensil warna,” urai Linda. 

Grup foto dari (kiri ke kanan) Radhwa, Raisa, dan Fiersa

Sesi HEART merupakan bagian dari Program Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial yang dijalankan oleh Save the Children bersama Yayasan Pulih di Jakarta dan Bandung, dengan dukungan Johnson & Johnson. Program ini secara khusus mendampingi anak-anak SD dan SMP, serta guru-guru mereka, untuk meningkatkan kesehatan mental mereka, terutama pasca pandemi COVID-19. Seperti kita tahu, saat pandemi, pertemuan tatap muka di sekolah sempat dihentikan selama beberapa bulan dan berdampak terhadap kualitas pendidikan dan kondisi kesehatan jiwa anak-anak. 

Pada sesi HEART, para guru dilatih teknik relaksasi agar dapat digunakan sebagai bentuk dukungan kesehatan mental dan psikososial kepada para murid. Harapannya, program ini dapat meningkatkan kesehatan mental anak dan kesadaran banyak aktor mulai dari keluarga (orang tua), guru (sekolah), tenaga kesehatan mental (di tingkat lingkungan), komunitas atau lembaga masyarakat, bahkan negara sebagai lembaga, agar dapat bekerjasama untuk memenuhi kesejahteraan mental psikologis anak secara optimal. 

Teks: Raisya Shifra Putritama, Susmita Eka Putri, Purba Wirastama
Foto: Raisya Shifra Putritama / Save the Children
Skip to content scroll to top button