Di sebuah desa di Kalimantan Barat, Mulianto dan teman-teman muda anggota Village Savings and Loan Association (VSLA) menunjukkan ketekunan dan semangat dalam berkebun. Meskipun kegiatan menabung yang menjadi ciri utama VSLA telah berhenti, kelompok ini masih kompak berkumpul. Mereka tetap melanjutkan kegiatan budidaya hortikultura yang menjadi sarana mereka berlatih mengembangkan usaha kelompok.
Pembentukan dan pendampingan kelompok VSLA ini merupakan bagian dari program kepemudaan, mata pencaharian, dan sanitasi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Program ini dijalankan oleh Save the Children dan Yayasan Ulin dengan dukungan pendanaan dari Cargill. Kegiatan VSLA menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan literasi keuangan warga desa, termasuk orang-orang muda seperti Mulianto.
Di desa Mulianto dan kawan-kawan, kelompok VSLA beranggotakan 10 orang muda. Satu siklus kegiatan VSLA telah terlewati dan terkumpul tabungan sejumlah Rp 5 juta. Namun, tantangan dalam kelompok tersebut adalah ketertiban anggota dalam mengembalikan pinjaman. Setelah seluruh pinjaman berhasil lunas, kegiatan kelompok ini berhenti.
Meskipun demikian, mereka masih rutin bertemu setiap pekan. Kegiatannya mengobrol santai, tetapi Mulianto tidak lantas membiarkannya begitu saja. Atas rekomendasi tim program, ia dan kawan-kawan akhirnya menjalankan unit bisnis berupa budidaya hortikultura. Dalam pertemuan kelompok, Mulianto menyampaikan hal tersebut dan mendapatkan respons baik.

“Ketika saya kasih tahu bahwa kita mau bikin usaha, mereka (anggota kelompok) inisiatif pengen melihat, gimana kelompok ini bekerja sama. Karena sebelumnya ya sendiri-sendiri. Kadang main HP, nongkrong pun enggak ada yang dibahas. Ketika sudah ada kelompok ini, jadi ada suatu perubahan. Kita jadi terarah,” ungkap Mulianto.
Menanam Sayuran Favorit Warga Desa
Kegiatan Mulianto dan teman-temannya tidak sekedar berkebun, tetapi juga menjadi solusi atas keterbatasan akses sayuran segar di desa mereka. Warga desa kesulitan mendapatkan sayuran segar karena lokasi pasar jauh dan penjual sayur keliling tidak selalu datang. Dengan pertimbangan ini, mereka memilih untuk menanam kangkung dan timun, dua jenis sayuran yang digemari warga desa.
“Mereka lebih mudah mendapatkan sayuran, enggak perlu nunggu-nunggu yang jual (keliling). Kalau mau pergi ke warung, di sini agak jauh. Setelah kelompok ini menanam, masyarakat lewat, lihat ada timun, langsung mampir beli. Jadi mempermudah (mereka),” ujar Mulianto.

Dalam satu musim tanam, mereka berhasil memanen timun dan kangkung yang langsung dijual ke tetangga sekitar dengan harga yang lebih terjangkau. Misalnya, satu kilogram timun dijual seharga Rp15 ribu. Harga ini lebih murah Rp5 ribu jika dibandingkan harga dari penjual keliling. Meskipun labanya tidak besar, mereka tetap mendapatkan pemasukan tambahan.
“Hitung-hitung uang makan tambahan,” ujar Mulianto, menjelaskan bahwa dari hasil panen mereka bisa mendapatkan sekitar Rp 400 ribu per bulan.
Tantangan Cuaca dan Hewan Liar
Namun, jalan yang mereka tempuh tidak selalu mulus. Kelompok ini kerap menghadapi tantangan, terutama dari segi cuaca dan gangguan babi liar. Cuaca yang tidak menentu seringkali menjadi hambatan dalam proses bercocok tanam. Tahun lalu, misalnya, mereka gagal panen akibat musim panas yang berkepanjangan selama satu bulan. Musim panas ini menyebabkan mereka kesulitan mendapatkan air untuk menyiram sehingga tanaman mereka layu dan tidak dapat dipanen.
“Jadi waktu itu kan memang luar biasa kemaraunya. Kami sudah berupaya dari perusahaan bantu bikinkan kolam besar. Namun tidak lama kolam itu punya air, langsung kering. Seminggu ke depannya sudah kering,” kata Mulianto
Selama satu bulan, Mulianto dan kelompoknya mengambil air di sungai untuk menyiram. Namun, hasilnya tidak memuaskan dan tanaman tetap lalu. Tim program dan mitra kemudian melakukan peninjauan kekeringan di beberapa desa, salah satunya desa tempat Mulianto tinggal. Awalnya, pembuatan sumur bor akan di lakukan di desa lain. Namun, setelah mempertimbangkan kegiatan budidaya yang dilakukan Mulianto, sumur bor dibangun tepat di samping lahan.
Sumur bor di samping lahan tidak hanya dimanfaatkan oleh kelompok Mulianto saja, tetapi juga oleh warga desa lainnya. Dua tandon air berkapasitas 2.000 liter dan 1.000 liter ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan 19 rumah dan kebun. Masing-masing warga melakukan iuran sebesar Rp50 ribu untuk perawatan fasilitas air.

Perawatan fasilitas air dilakukan oleh komite air setiap tiga hari sekali. Anggota dari komite air terdiri dari berbagai elemen masyarakat seperti kepala desa, orang tua dan orang muda.
“Tugas utamanya menjadi mengelola sumur ini menjaganya terus. Intinya, masyarakat tidak kesusahan air lagi,” ungkap Mulianto, menjelaskan perannya sebagai Komite Air di desa.
Kini, tantangan cuaca untuk kebun dapat diatasi dengan baik. Namun, masih ada satu tantangan yang cukup serius, yaitu babi liar. Seminggu sebelumnya, babi liar hampir memakan habis seluruh tanaman kangkung mereka.
“Hampir habis semua kangkung dimakan babi,” keluh Mulianto.
Namun, meskipun semua tantangan ini menguji kesabaran, kelompok ini tidak pernah menyerah. Mereka terus berupaya menjaga kebun mereka dan berusaha untuk melindungi tanaman dari babi. Mereka berencana untuk membuat pagar yang lebih kokoh agar babi liar tidak mudah masuk ke lahan.
Berkebun Sebagai Rekreasi dan Rencana Masa Depan
Meski menghadapi berbagai kendala, Mulianto dan teman-temannya tetap rutin berkebun. Bagi mereka, kegiatan ini bukan hanya tentang menghasilkan uang, tetapi juga menjadi bentuk rekreasi yang menyenangkan setelah mereka selesai bekerja. Berkebun telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, tempat untuk bersantai, dan sekaligus memberikan rasa kepuasan ketika mereka melihat hasil kerja keras mereka tumbuh dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.
Dengan semangat yang terus terjaga, kelompok ini berencana untuk melanjutkan budidaya hortikultura. Mereka berharap bisa mengatasi tantangan cuaca dan gangguan babi liar di masa mendatang, serta memperluas lahan kebun mereka. Meskipun masih banyak hal yang harus mereka hadapi, Mulianto dan kelompoknya percaya bahwa dengan kerja sama dan solidaritas kelompok, hasil yang lebih baik pasti akan mereka raih.
