Perubahan iklim merupakan ancaman nyata yang dampaknya semakin dirasakan, terutama oleh kelompok rentan seperti anak-anak. Laporan global “Generation Hope” oleh Save the Children pada 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun.Anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional, akibat kerentanan fisik, sosial, dan ekonomi mereka, yang diperburuk oleh meningkatnya frekuensi bencana.

Di Kabupaten Bandung, data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menunjukkan lonjakan jumlah kejadian bencana yang sangat signifikan dalam tiga tahun terakhir, dari 273 kejadian pada tahun 2021, menjadi 309 kejadian pada tahun 2022, dan 875 kejadian pada tahun 2023. Menurut Kajian Risiko Bencana Bandung, lebih dari 66% kejadian bencana di wilayah ini merupakan bencana yang dipengaruhi oleh perubahan curah hujan dan peningkatan suhu. Fakta ini menegaskan pentingnya mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim ke dalam pembangunan untuk melindungi komunitas dan menciptakan ketahanan bagi generasi mendatang.
Save the Children Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim – Nahdlatul Ulama (LPBI-NU) dan Yayasan SHEEP, meluncurkan Community-Based Climate Change Adaptation Program (CBCCA) di tiga desa di Kabupaten Bandung sejak April 2023. Program ini bertujuan membangun kapasitas komunitas, termasuk anak-anak, untuk memahami risiko iklim, merespons secara efektif, dan mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan lokal.
Melalui berbagai pelatihan dan kegiatan, program ini melibatkan komunitas dalam pemetaan risiko bencana dan inisiatif berbasis lingkungan. Salah satu cerita inspiratif datang dari Nisa, seorang guru sekaligus anggota karang taruna yang kini aktif menginisiasi aksi nyata melalui program ini.
Isu perubahan iklim bukan hal yang baru bagi Nisa (22). Saat masih menempuh studi pendidikan Fisika di bangku kuliah, ia sering mendapatkan pembahasan tentang perubahan iklim. Nisa pun menaruh perhatian dan tertarik terhadap persolaan perubahan iklim. Bahkan kini, setelah dua tahun bekerja sebagai guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) SMP, keresahaan Nisa terhadap isu perubahan iklim masih sama. Apalagi isu perubahan iklim begitu dekat dengan materi yang ia sampaikan kepada murid-muridnya.
Namun di sisi lain, Nisa merasa perhatian dan pengetahuannya terkait perubahan iklim jauh dari tindakan nyatanya di kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, tidak ada wadah di lingkungan tempat tinggalnya untuk menyalurkan ide atau gagasan terkait isu ini.
Suatu ketika, kesempatan itu datang saat ia diajak bergabung dengan “Tim 20” sebagai salah satu perwakilan karang taruna desa. Tim 20 adalah kelompok hasil inisiasi Save the Children dan LPBI-NU Jawa Barat dalam Program Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat (CBCCA). Ini adalah sebutan bagi kelompok kerja di tingkat desa untuk upaya-upaya pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Nisa. Bersama dua anggota lainnya, Nisa menjadi bagian dari Tim 20, mewakili karang taruna. Mereka aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh tim Program CBCCA. Salah satunya adalah rangkaian pelatihan peningkatan kapasitas bagi Tim 20 terkait dengan adaptasi perubahan iklim. Menurut Nisa, rangkaian pelatihan ini sangat bermanfaat.
“Bagi saya rangkaian pelatihan mengenai perubahan iklim ini selain sangat bermanfaat dan juga dikemas dengan sangat menyenangkan. Pelatihan ini membuat saya lebih membuka mata terhadap kondisi lingkungan di sekitar, khususnya di Desa Bojongmalaka. Hal ini juga membuat saya mulai memikirkan langkah yang akan dilakukan demi menjaga kondisi lingkungan sekitar,” tutur Nisa.
Nisa bercerita, pelatihan-pelatihan ini membuat wawasannya betambah, terutama mengenai upaya adaptasi dan mitigasi bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim karena dampaknya sangat besar di berbagai bidang kehidupan masyarkat. Ia juga merasa telah menemukan wadah yang selama ini ia mimpikan. Melalui Tim 20, Teh Nisa bisa menyalurkan perhatian, ide, dan gagasannya terhadap persoalan perubahan iklim.

Nisa bersama anggota Tim 20 lain kini juga dapat bersama-sama melakukan tindakan nyata. Salah satunya adalah menginisiasi gerakan pilih sampah dan juga membuat “Lubang Cerdas Organik” (LCO) di halaman rumah di desa mereka. Lubang cerdas organik merujuk pada lubang di tanah yang dibuat khusus untuk membuang sampah organik rumah tangga. Lubang ini juga berfungsi sebagai tempat resapan air hujan.
Awalnya, gerakan ini hanyalah sebatas wacana sejak satu tahun lalu. Saat itu, pernah ada sesi khusus di desa untuk membahas LCO, tetapi belum ada peluang untuk mewujudkan menjadi aksi nyata. Gagasan itu kini bersambut setelah ada Tim 20 serta juga dorongan dari program Pemerintah Kabupaten Bandung terkait pembangunan LCO.
“Pengetahuan saja tidak cukup. Langkah nyata harus dilakukan untuk merespons perubahan iklim. Saya ingin membuktikan bahwa setiap individu dapat berperan dalam menjaga keberlangsungan Bumi kita,” tegas Nisa.
Cerita Nisa adalah bukti bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil di tingkat komunitas. Melalui program CBCCA, lebih banyak individu dan komunitas diajak untuk bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.