Artikel ini ditulis oleh Henda Gandamanah, staf Yayasan Sayangi Tunas Cilik – Save the Children di Jakarta.
“Kita akan pergi ke tiga kota. Ketemu anak-anak di sana untuk dengar langsung dari mereka, gimana caranya supaya kekerasan yang pernah mereka alami enggak terjadi lagi.”
Kalimat itu adalah instruksi pertama yang saya dapatkan dari atasan pada awal tahun 2016. Isu kekerasan selalu terasa sangat emosional. Selalu berat untuk membayangkan bagaimana seorang anak harus bertahan untuk melindungi dirinya sendiri ketika mengalami tindak kekerasan. Kekerasan fisik maupun psikis yang dialami oleh anak tentu saja membekas dengan tingkat traumatis tinggi. Seperti kata pepatah, ingatan masa kecil bagaikan ukiran di atas batu.
Yogyakarta
Yogyakarta menjadi kota pertama yang saya kunjungi untuk bertemu dengan beberapa anak yang tinggal di panti asuhan. Hidup tanpa sentuhan kasih sayang dan pengasuhan langsung dari keluarga membuat mereka terpaksa membenamkan rasa dan cita sendirian. Mereka bilang, mereka terpaksa beberapa kali terlibat perkelahian dengan sesama anak di dalam panti atau menyaksikan temannya mendapat perlakuan kekerasan dari pengurus panti.
Mereka bilang, “Tidak akan ada yang tahu saat saya sedang menjadi korban bullying dari anak yang lebih kuat.” Siapa yang dapat menolong?

Bandung
Kota yang cantik nan gemerlap bagi banyak orang ini ternyata menyimpan sudut kelam bagi anak-anak penyandang disabilitas. Diskriminasi di dalam rumah oleh anggota keluarga sendiri ternyata berlanjut ketika mereka sedang beraktivitas di sekolah.
“Guru saya meminta saya diganti dari kepengurusan OSIS dengan teman saya yang lain karena saya punya down syndrome,” kata salah satu anak. Ia bercerita dengan gemetar, masih tidak percaya perkataan tersebut keluar dari mulut gurunya sendiri.
Bagaimana perlakuan yang didapatkan anak disabilitas lain dari teman-temannya di sekolah? Saya melihat semua fasilitator di sesi konsultasi anak saat itu tertegun menahan napas.
Kupang
Pesawat mendarat hampir larut malam di ibukota Nusa Tenggara Timur. Udara pantai mulai terasa ketika mobil yang menjemput memasuki pusat kota. Keramahan dan gaya bercerita penuh semangat khas driver dari kantor Kupang selalu menjadi salam pembuka setiap saya berkunjung ke sana.
Di ujung rotan ada emas. Peribahasa lokal itu diamini kebanyakan masyarakat dalam kurun waktu lama. Ungkapan kekerasan fisik berulangkali kami dengar dari anak-anak selama sesi konsultasi berlangsung. Bahkan dalam sesi diskusi kelompok, beberapa kali saya melihat anak-anak saling memukul kepala karena tangannya tidak sengaja terdorong oleh anak lain ketika sedang menggambar.
Perilaku kekerasan mungkin berawal dari kebiasaan pola asuh yang salah. Seorang teman pernah menceritakan pengalaman ketika sedang bertamu ke rumah warga setempat. Sang tuan rumah tidak merasa segan untuk berteriak serta melakukan pemukulan terhadap anaknya di depan teman ini.

Bagian Kecil dari Pekerjaan Besar
Hasil konsultasi anak di tiga kota ini berkontribusi dalam laporan berjudul Global Partnership to End Violence Against Children, yang merupakan kemitraan dari negara-negara anggota PBB. Kelompok kerja ini fokus menjalankan misi untuk mencapai point SDGs 16.2, yaitu “mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan, dan segala macam bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak”. Indonesia merupakan salah satu negara yang menginisiasi pembentukan kemitraan global ini dan tentu saja Save the Children harus terus hadir untuk menyuarakan suara anak-anak yang tidak terdengar terkait kekerasan yang mereka alami.
Pada akhir tahun 2016, kami mengundang perwakilan anak yang pernah terlibat dalam kegiatan konsultasi sebelumnya untuk hadir di Jakarta. Kami memfasilitasi pertemuan dengan anggota Komisi VIII DPR-RI agar mereka dapat berdialog, memberikan saran, dan bercerita tentang kisah mereka langsung kepada wakil rakyat.
Usaha untuk menghentikan kekerasan terhadap anak tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menjadi bagian kecil dari pekerjaan besar ini setidaknya mengingatkan saya bahwa dunia anak-anak adalah hal yang patut untuk diperjuangkan. Karena pada masa yang akan datang, bukan tidak mungkin jika anak cucu kita yang terperangkap di dalam situasi tersebut. Berinteraksi langsung dengan anak-anak dari berbagai daerah yang saya temui tahun lalu membuat saya merasa harus terus berjuang bersama teman-teman di Save the Children karena anak Indonesia dalam bahaya.