Catatan Akhir Tahun, Situasi Anak dan Pemenuhan Hak Anak Sepanjang Tahun 2023

Spesial

Menutup akhir tahun, Save the Children Indonesia mengadakan sesi daring “Catatan Akhir Tahun: Situasi Anak dan Pemenuhan Hak Anak Sepanjang Tahun 2023” pada Kamis, 21 Desember 2023. Dalam sesi ini, Save the Children Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masing-masing menyajikan data dan informasi terkait situasi anak dan pemenuhan hak anak di Indonesia sepanjang tahun 2023.

Catatan dari KPAI disampaikan oleh Ketua KPAI Ai Maryati Solihah. Catatan dari Save the Children Indonesia disampaikan oleh Tata Sudrajat, Interim Chief of ACCM (Advocacy, Campaign, Communication, and Media).

Berikut adalah rangkuman catatan dari Save the Children Indonesia sebagaimana disampaikan dalam sesi tersebut.


Catatan akhir tahun ini sebenarnya lebih spesifik berdasarkan penelitian dan pembelajaran program Save the Children. Karena sangat spesifik, catatan ini tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir situasi anak. Namun kami ingin menunjukkan bahwa masih ada kelompok-kelompok anak yang memiliki risiko dalam hidup mereka.

Diharapkan catatan akhir tahun ini menggugah semangat dalam penggunaan hak anak, bahwa masih ada anak yang belum terpenuhi haknya dan tantangan untuk pemenuhan hak anak masih terus muncul.

Kami ingin menyoroti soal perubahan iklim dan bagaimana dampaknya bagi anak-anak. Kami berharap, meskipun catatan ini sangat spesifik, ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah, lembaga donor, dan masyarakat untuk perencanaan  program pemenuhan hak anak pada tahun berikutnya.

Krisis Iklim adalah Krisis Hak-Hak Anak

Apa yang kita selalu bicarakan mengenai perubahan iklim sebenarnya berujung pada krisis yang dihadapi anak dalam pemenuhan hak anak.

Tahun ini kami adakan kajian cepat tentang dampak dan kesiapsiagaan menghadapi bencana

kekeringan di Lombok Barat, Sumba Timur, dan Kabupaten Kupang. Di Lombok Barat misalnya, debit air turun dari 100 liter per detik menjadi 30 liter per detik, yang ternyata terjadi lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa perubahan iklim ini sama halnya dengan beberapa situasi lain yang lebih cepat datangnya, atau lebih lama kejadiannya, dan seterusnya.

Situasi ini juga akan mempengaruhi ketersediaan sumber daya pangan dan air. Kita ketahui kalau sumber daya pangannya terganggu, memungkinkan kurangnya keragaman diet, yang pada akhirnya mempengaruhi asupan gizi kelompok rentan, terutama anak-anak di bawah lima tahun.

Apa dampak pada anak yang kita ketahui dari studi ini?

  • Banyak anak yang mengalami ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) selama kekeringan dan mengakibatkan tidak dapat masuk sekolah.
  • Suhu tinggi mengganggu konsentrasi belajar anak, membuat sulit fokus. Anak-anak di beberapa tempat , kita tahu di daerah Lombok dan NTT, mereka harus berjalan ke sekolah cukup jauh dalam cuaca yang panas terik.
  • Prevalansi stunting di Lombok Barat tetap tinggi hingga tahun 2023, mencapai 13,63%, namun lebih rendah dibandingkan dua tahun sebelumnya, 28,9%. Ada kemajuan, tetapi juga ada tantangan, bahwa perubahan iklim dapat menjadi tantangan untuk pencapaian penurunan stunting.

Perlindungan Anak

Soal perlindungan anak, data Simfoni-PPA mencatat hampir sebanyak delapan ribu laporan kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Di Nusa Tenggara Timur, dari studi yang kami lakukan, UPTD PPA telah menerima dan mengelola lebih dari 200 kasus sejak Januari hingga Juli 2023, di antaranya kasus kekerasan seksual dan fisik.

Apakah ada hubungannya dengan perubahan iklim?

  • Kami melihat bahwa bencana kekeringan dan segala dampaknya menyebabkan peningkatan stres dan tekanan emosional dalam keluarga karena intensifikasi persaingan untuk sumber daya yang langka seperti air. Tentu saja situasi kekeringan bisa menyebabkan konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
  • Soal perjalanan panjang untuk mengambil air, ini meningkatkan beban kerja mereka dan mempengaruhi kesehatan fisik di tengah cuaca yang sangat terik.
  • Kesehatan mental orang tua dan anak juga harus menjadi perhatian.

Berdasarkan laporan lain dari Save the Children – studi kualitatif tentang perkawinan anak, perkawinan dini, dan kawin paksa di daerah Lombok, kami melihat dua dari tiga perkawinan anak terjadi di wilayah yang paling terkena dampak perubahan iklim. Tentu ini perlu studi lebih lanjut apakah memang punya pengaruh langsung, apakah itu dalam konteks yang memang mengalami kekeringan atau perubahan iklim.

Namun, beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa krisis sering kali membuat anak berisiko menjadi pekerja anak atau dikawinkan. Dalam studi terbatas misalnya, saat pandemi COVID-19, ada indikasi ke situ. Dalam kasus Ebola di Afrika, memang sudah ada bukti ke arah sana. Lagi-lagi, memang ada risikonya terhadap anak.

Tentu bahwa kita tahu bahwa perkawinan anak sangat berdampak pada tumbuh kembang anak, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan tentunya akan berujung pada munculnya kemiskinan baru atau kemiskinan struktural.

Kekerasan rumah tangga juga marak pada pasangan muda atau pasangan yang menikah di usia anak dan tidak sedikit yang berdampak pada berbagai kasus yang mengakibatkan meninggal dunia.

Hal lain yang juga sering luput dalam pemberitaan dan diskusi adalah bahwa risiko yang mengiringi perkawinan anak adalah “perceraian anak” – maksudnya perceraian yang dialami oleh anak yang mengalami perkawinan. Bayangkan bahwa siklus kemiskinan atau kekerasan itu akan terus terjadi. Artinya, tidak berhenti pada persoalan perkawinan anak, tetapi pada soal masa depan bagi si anak-anak ini.

Kemiskinan yang Dihadapi Anak

Menyoroti beberapa laporan UNICEF dan pemerintah, bahwa sekitar 11% anak-anak Indonesia dikategorikan miskin. Kami juga lakukan satu studi yang sangat lokal sekali, pengolahan limbah elektronik di Makasar. Di situ, kami menemui ada 200 pemulung anak-anak berusia antara 6-17 tahun berada pada level paling bawah di sistem limbah elektronik, yaitu mengumpulkan limbah.

Mereka mengalami proses yang tidak aman, seperti membakar plastik secara terbuka, membongkar papan sirkuit dengan cara yang tidak aman, dan diperparah dengan tidak dilengkapi peralatan keselamatan yang tepat sehingga dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan.

Secara umum, ada anak-anak yang bekerja sebagai pemulung, apalagi di tempat sampah. Apalagi kita tahu, di beberapa spot besar tempat pembuangan sampah itu,  menurut banyak laporan lama, ditengarai juga ada keterlibatan anak di situ. Ini sudah termasuk pekerja anak karena banyak anak-anak yang tidak sekolah dan terlibat secara penuh dalam proses pengolahan sampah dan seterusnya. Ini termasuk kategori anak-anak yang bekerja di tempat berbahaya. 

Kesehatan Anak

Tadi sudah disebutkan bahwa kekeringan berdampak pada ketahanan pangan dan akses terhadap nutrisi anak.

Kemudian di Kupang, meski ada penurunan prevalensi masalah gizi, angkanya masih masih relatif tinggi. Pada tahun 2022, prevalensi stunting 20% dan underweight 24%. Itu menunjukkan tantangan yang persisten terkait kurang gizi di wilayah-wilayah ini. Itu juga mencerminkan dampak merugikan dari kekeringan berkepanjangan terhadap ketahanan pangan dan akses terhadap nutrisi esensial yang diperlukan untuk tumbuh kembang yang optimal dan sehat pada anak-anak.

Ini mengindikasikan ketidakcukupan gizi dan dampak akumulatif dari asupan makanan yang tidak memadai dari waktu ke waktu, yang berkontribusi memperpanjang siklus malnutrisi.

Kita memahami mengapa pemerintah menekankan program pengentasan stunting sebagai prioritas nasional karena kita melihat bahwa kalau anak-anak ini tidak diselamatkan, mereka akan kehilangan kesempatan untuk tumbuh kembang dengan wajar dan lebih baik lagi. Di beberapa daerah seperti NTT dan NTB, ini tetap menjadi isu.


Apa yang Dilakukan Save the Children pada Tahun 2023?

353.311 anak dan 4.210 keluarga dijangkau dan mendapatkan pendampingan program pemenuhan hak anak di 14 provinsi di Indonesia.

Hak Partisipasi Anak dalam Pembangunan

Dalam konteks hak partisipasi anak dalam pembangunan, kami punya kelompok anak-anak yang kita sebut CYAN (Child and Youth Advisory Network) dan Child Campaigner. Kelompok anak-anak dan orang muda ini kami latih untuk mendiskusikan isu-isu di sekitar mereka dan kemudian menyampaikan kepada publik apa yang menjadi pikiran dan perhatian mereka.

Salah satunya di Bandung, pekan lalu, mereka mengagas dan mengadakan Bumi Suaka, menyuarakan tentang bagaimana anak-anak remaja bisa terlibat aktif dalam penyelamatan bumi atau alam lingkungan, misalnya dengan bagaimana menjaga hutan dan pantai.

Penanganan Kemiskinan pada Anak

  • 6.839 anak dan keluarga mereka, khususnya yang terdampak perubahan iklim, didukung untuk meningkatkan dan melindungi mata pencaharian serta investasi.
  • Program pencegahan dan remediasi pekerja anak dengan pendampingan ke 20.000 petani kakao di Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
  • Program Circular Geniuses atau manajemen limbah elektronik dan pemenuhan hak bagi pemulung anak di Makassar.
  • Kami juga membantu keluarga bisa bertahan dalam perekonomian mereka dengan program kelompok simpan pinjam desa yang disebut VSLA (Village Savings & Loan Association). Namun VSLA ini sifatnya bukanlah “revolving”, tetapi mendorong anggota untuk menabung dulu, lalu ketika tabungan kelompok sudah cukup, baru digunakan untuk membantu keluarga-keluarga lain. Sekitar Rp 6,8 miliar telah digunakan oleh keluarga yang masuk dalam 560 kelompok VSLA dan dapat membantu pemenuhan hak anak-anak mereka.

Pendidikan

  • Sekitar 1.800 anak, yang mengalami ketidaksetaraan dan diskriminasi, menerima program pendidikan dasar dan PAUD dengan aman dan tanpa dibeda-bedakan.
  • Program pendidikan yang berkualitas dan setara di dua provinsi.
  • Memperkuat peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan dengan menyediakan Sumba Learning Hub.

Kesehatan Anak

  • Program  penurunan prevalensi angka stunting di Jawa Barat & NTT.
  • Program STOP Penumonia di NTB.
  • Pelatihan peningkatan kapasitas petugas kesehatan untuk mendorong peningkatan layanan kesehatan dan gizi.
  • 327.273 anak dan dewasa mendapat pendampingan program kesehatan dan gizi.
  • Memperkuat sistem kesehatan di Puskesmas, sistem rujukan antar faskes, dan memperkuat pencatatan dan pelaporan.
  • Mengadakan akses air bersih.
  • Program kesehatan mental untuk anak dan orangtua, termasuk di lingkungan sekolah.
  • Distribusi obat-obatan dan perlengkapan hadapi cuaca ekstrem di Kabupaten Puncak, Papua.

Perlindungan Anak

  • 17.584 orangtua/pengasuh mendapat pendampingan program pengasuhan positif
  • Penguatan sistem perlindungan anak dengan pembentukan 143 PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) di tingkat desa.
  • 70 perubahan yang dilakukan oleh pemerintah/aktor internasional terhadap kebijakan, investasi publik, sistem, atau layanan untuk memenuhi hak perlindungan dan kesejahteraan anak.
  • Peningkatan kesadaran kepada anak, keluarga, masyarakat terkait upaya pencegahan kekerasan di rumah, sekolah, lingkungan.

Apa Pembelajarannya?

Urgensi kita untuk tahun 2024 terutama bahwa Indonesia memasuki perencanaan pembangunan berikutnya, baik untuk lima tahun ke depan, maupun 20 tahun kemudian untuk mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045.

Save the Children secara global merilis laporan Generation Hope pada tahun 2022 dan memperkirakan bahwa sekitar 774 juta anak-anak di seluruh dunia – atau sepertiga dari populasi anak di dunia – hidup dengan dampak ganda, yaitu kemiskinan yang parah dan darurat iklim. Memang bukan hanya tipikal Indonesia, ini juga terjadi di seluruh dunia.

Hal yang mengkhawatirkan, Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami ancaman ganda tersebut. Ini karena jumlah anak di Indonesia saja sekarang sekitar 80-90 juta, sepertiga dari penduduk Indonesia. Jadi memang secara jumlah, ancamannya juga jadi tinggi.

Lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun.

Anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional sebab tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak-anak memiliki faktor-faktor yang membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi.

Pesan Kami untuk Indonesia Emas 2045

Pertama, mulai mendiskusikan isu dan risiko anak dalam perubahan iklim, baik dalam wacana maupun kebijakan, tidak hanya mengenai perubahan iklim. Kita tahu bahwa pembicaraan perubahan iklim masih didominasi dengan perubahan-perubahan lingkungan fisik. Masih jarang ada pembicaraan tentang risikonya bagi anak-anak, masa depan anak. Padahal anak-anak yang sekarang ini yang akan terus hidup, berkembang, dan menghadapi iklim yang terus berubah. Jadi kalau anak-anak sekarang disiapkan lebih baik lagi secara pengetahuan dan ketrampilan, mereka akan lebih siap untuk menghadapinya.

Menurut salah satu baseline study Save the Children di Kabupaten Bandung, yang ukurannya memakai metode KAP (knowledge, atttitude, practice), attitude dan knowledge sudah cukup bagus, 80%, tetapi practice-nya masih 40%.

Contohnya begini, bahwa responden anak-anak mengerti tentang sampah dalam pengetahuan mereka, bahwa sampah harus dibuang  di tempatnya. Sikap mereka juga menunjukkan kecenderungan itu. Namun dalam praktiknya, masih ada beberapa perilaku yang belum. Jadi fokus kepada praktik ini yang penting. Karena itu, kita perlu melibatkan anak-anak dalam diskusi tentang perubahan iklim, ujungnya supaya praktiknya bisa lebih menyelamatkan lingkungan.

Kedua, menyinergikan program pemenuhan hak anak, baik dari kementerian/lembaga, maupun organisasi masyarakat, terutama yang menjangkau anak dan keluarga yang paling terdampak dari perubahan iklim. Meskipun asesmen kami lebih banyak ke timur, berbagai persoalan sebenarnya juga hampir merata. Misalnya soal isu sungai dan sampah itu juga punya kaitan dengan krisis iklim.

Ketiga, melibatkan anak-anak dan orang muda sebagai pemangku kepentingan yang setara dan penggagas perubahan untuk mengatasi krisis iklim, dengan membangun platform yang ramah dan aman. Saya kira ada banyak kreativitas dan inovasi yang justru dilakukan anak-anak dan orang muda, bagaimana mereka menyikapi dan merespons perubahan iklim.

Keempat, kami ingin mengingatkan kembali untuk menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Rencana Pembangaunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, program penghapusan kemiskinan, maupun dalam pendekatan adaptasi ikilm yang berpusat pada anak. •

Skip to content scroll to top button