Bersuara dengan Isyarat, Gerak, dan Musik: Kisah Anak-Anak dan Orang Muda Bandung Berpartisipasi dalam Proses Pembangunan melalui Seni

Cerita Penggerak

Hambatan. Disabilitas sering dianggap berkaitan dengan kata ini. Ziyan, orang muda dari Bandung berusia 17 tahun, mematahkan anggapan tersebut. Lahir dengan disabilitas tuli, Ziyan kini aktif menjadi guru mengaji isyarat. Di sana, Ziyan mengajarkan huruf hijaiyah isyarat pada anak-anak yang berusia lebih muda darinya.

Ziyan.

Mengesampingkan hambatan, Ziyan memilih berteman dengan kondisinya dan memaksimalkan potensi-potensi yang bisa ia gali. Pada awal Maret 2024 lalu, ia menyampaikan aspirasinya dan teman-teman terkait isu hak anak kepada para pemangku kebijakan. Ada Pj Walikota Bandung, hingga perwakilan kementerian dan dinas terkait.

Uniknya, Ziyan menyuarakan keresahan yang dialami anak-anak dan orang muda di Bandung tanpa bersuara sama sekali, yakni melalui tari tradisional topeng dalam pagelaran Panca Sora. Kegiatan ini merupakan bentuk partisipasi Ziyan bersama anak-anak dan orang muda lain dalam proses pembangunan, bagian dari Program GENPEACE hasil kerja sama Save the Children, Mobile Arts for Peace – Lincoln University, dan King College London.

Jauh sebelumnya, Ziyan bersama teman-teman melakukan persiapan acara ini selama tujuh bulan. Sebelum fokus berlatih tarian, mereka telah melakukan pertemuan selama beberapa kali untuk memetakan isu-isu berdasarkan keresahan yang dialami oleh anak-anak dan orang muda di Bandung.

“Tari topeng menunjukkan ekspresi saja, tak ada dialog. Dari situ, Ziyan bisa ceritakan keresahan Ziyan terkait akses terhadap disabilitas melalui gerakan. Jangkauan visualnya luas, jadi saya bisa belajar tempo dan ketukan melalui gerakan,” terang Ziyan dalam bahasa isyarat.

Ziyan, Regina, dan teman-temannya menampilkan tari topeng untuk menyampaikan isu inklusivitas dan kesetaraan gender.

Tangan-tangan Ziyan yang bergerak selama menari bertindak sebagai “suara” yang menyampaikan keresahannya. Dalam setiap kegiatannya selain bersama teman tuli, Ziyan baru bisa berkomunikasi dengan teman dengar hanya jika ada perwakilan Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang hadir atau menggunakan tulisan.

Gerakan-gerakan tarian Ziyan juga menyampaikan salah satu impian teman tuli. Mereka membayangkan, di masa mendatang, kehadiran JBI tidak lagi menjadi kebutuhan. Teman dengar sudah dapat berkomunikasi langsung dengan teman tuli. Bahasa isyarat pun menjadi bahasa komunikasi sehari-hari.

Berpartisipasi dan bersuara mewakili teman-teman disabilitas, Ziyan pun menjadi panutan bagi adik-adik kelasnya yang kerap bertanya dan ikut kegiatan Ziyan. Respons teman-temannya menjadi penyemangat Ziyan karena baginya, perwujudan inklusivitas sudah di depan mata.


Regina, pelajar 17 tahun yang juga dari Bandung mengamini hal tersebut. Sebagai teman dengar, ia turut berpartisipasi menyuarakan isu inklusivitas dan kesetaraan bersama Ziyan dalam grup tari yang sama. Ia dan kawan-kawannya menambahkan gerakan-gerakan tarian lain untuk mewakili isu kesetaraan gender.

Gerakan dan topengnya tegas, sementara penarinya perempuan. Topeng dipakai untuk menyamarkan identitas ini dan sekaligus menggambarkan karisma para perempuan.

“Kami pakai topeng. Dalam tari topeng, ada sisi cantik dari gerakan yang ditampilkan dan ada sisi gagah dari topengnya. Di situ kesetaraannya. Setiap perempuan dan laki-laki sebenarnya punya sisi ‘maskulin’ dan ‘feminin’ masing-masing,” jelas Regina.

Regina, Ziyan, dan teman-teman usai menampilkan tari topeng untuk menyampaikan isu inklusivitas dan kesetaraan gender.

Sudah cukup lama Regina resah terhadap isu ini. Dulu saat masih di bangku SMP, ia pernah mengalami diskriminasi dari salah satu gurunya. Saat itu, ia diberi tugas untuk menggambar hewan. Regina memilih menggambar harimau karena kagum akan kekuatan hewan tersebut. Namun seusai menggambar, pendapat dari guru membuat Regina mempertanyakan identitas dirinya.

“Kamu itu perempuan, gambarnya harusnya kelinci,” ucap Regina, mengulang perkataan gurunya.

Padahal, lanjut Regina, pemilihan hewan yang digambar tersebut seharusnya tidak berhubungan dengan jenis kelamin orang yang menggambar.

Regina.

Menari membuat perasaan Regina lebih lega. Dahulu, ia kerap menyuarakan keresahan-keresahannya melalui tulisan ilmiah, tetapi tidak pernah ada tindak lanjutnya. Sekarang, ia justru dapat menyampaikan dengan cara yang lebih menyenangkan sesuai kegemarannya. Bahkan, langsung kepada para pemangku kebijakan.

Regina tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bersama teman-teman grup tarinya berpartisipasi dengan menyampaikan isu perundungan, yang sayangnya masih terjadi hingga saat ini.


Di Jawa Barat, termasuk di Bandung, ada permasalahan lain terkait anak yang juga krusial, yaitu pernikahan anak. Salma, orang muda dari Bandung, mengungkapkan keresahan tersebut dengan menuliskannya menjadi lirik lagu.

Judulnya adalah “Yang Berkurang Harus Sampai Hilang“. Salma gelisah melihat kasus pernikahan anak di Bandung yang tak kunjung hilang. Memang berkurang, tapi bagi Salma itu tidak cukup. Isu ini sangat personal baginya karena kecamatan tempatnya tinggal adalah salah satu kecamatan dengan angka pernikahan anak tinggi.

Ini bukan kali pertama Salma aktif menyuarakan isu-isu anak. Sejak masih SMA, ia sudah berpartisipasi dalam kegiatan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dan juga mengikuti audiensi dengan pemerintah.

“Setiap Musrenbang itu kami dilibatkan, tapi secara enggak langsung. Jadi, di sana itu hanya menyuarakan, lalu ditampung, tapi tanpa dipertimbangkan atau dikawal isunya. Jadi bertanya, sebenarnya dipertimbangkan enggak sih, atau kami cuma dihadirkan saja di situ?” ungkap Salma.

Kini, Salma merasa lebih bermanfaat karena melihat respons langsung dari para pemangku kebijakan usai ia menampilkan lagu ciptaannya. Lagu dan musik adalah bahasa universal yang dapat dipahami hampir semua orang. Dengan lirik, ia mengurai permasalahan anak-anak di Kota Bandung.

Salma bersama teman-temannya usai pertunjukan.

Ia pernah mengalami kejadian kurang menyenangkan saat melakukan audiensi dengan pemerintah dan menyuarakan keresahan. Sampai hari ini, Salma masih ingat raut wajah dan ekspresi salah seorang pejabat tersebut. Efeknya, dulu saat hendak audiensi lagi, Salma berangkat dengan perasaan was-was.

“Dengan (penampilan lagu) ini, Salma rasa itu lebih bisa diterima oleh para pemangku kebijakan. Tadi (penonton) heboh, semoga ditangkap ya karena di dalamnya tadi tersirat melalui liriknya,” tutur Salma. •

Tonton siaran ulang pagelaran Panca Sora di sini: Panca Sora.

Teks: Susmita Eka Putri
Foto: Save the Children

Bagikan Artikel Ini

Skip to content scroll to top button