Belajar dari VSLA, Perempuan Luwu Berdaya Kelola Keuangan Keluarga

Cerita Perubahan

Ada satu kotak berwarna kelabu. Punya tiga “telinga” yang masing-masing dilengkapi gembok besar. Kunci-kunci gembok dipegang oleh tiga orang berbeda. Kotak itu disimpan di rumah orang yang berbeda lagi. Meski lebih mirip celengan kotak, mereka menyebutnya brankas. 

Inilah penerapan tabungan mandiri kelompok melalui Village Saving Loan Assication (VSLA). Secara sederhana, VSLA adalah sistem tabungan dan pinjaman mandiri berbasis kelompok yang memungkinkan anggotanya menabung, meminjam tanpa bunga, serta meningkatkan pemahaman mereka tentang literasi keuangan.

Pembentukan dan pendampingan kelompok VSLA ini merupakan bagian dari program GrowHer: Kakao yang bertujuan untuk meningkatkan hak, representasi, dan akses terhadap sumber daya bagi 4.000 bisnis kakao yang dikelola oleh perempuan di Sulawesi Selatan. Program tersebut dikelola oleh GrowAsia, didanai bersama oleh MARS dan GIZ, serta dilaksanakan melalui kemitraan dengan Save the Children Indonesia dan PISAgro. Di Luwu Utara dan Luwu Timur, Save the Children Indonesia bekerja sama dengan Sulawesi Cipta Forum dan Perkumpulan Wallacea sebagai mitra implementasi.

Berbagi Tanggung Jawab, Menuai Manfaat

VSLA memberikan harapan baru bagi perempuan dan orang muda. “Menabung sendiri di rumah itu susah sekali. Tidak mungkin bisa. Ada bakso lewat, tabungan ditarik. Ada daster. Pokoknya banyak godaan,” kata seorang anggota kelompok VSLA di Luwu Utara.

“Kalau nabung di bank, tidak mungkin mau bawa Rp 50.000 atau Rp 25.000. Ini di VSLA bisa,” yang lain melanjutkan.

Para anggota VSLA ini sepakat, mereka bisa menabung mulai dari Rp 25.000 dan maksimal Rp 250.000. Mereka bertemu setiap bulan untuk menyetorkan tabungan. Brankas dibuka bersama di hadapan anggota kelompok. Penarikan tabungan dilaksanakan dalam siklus sembilan bulan atau 12 bulan.

Pada awal program VSLA diperkenalkan di desa ini, banyak warga meragukannya. Keraguan mereka bukan tidak berdasar. Sistem menabung mandiri pernah meninggalkan pengalaman buruk bagi banyak orang tua siswa di sebuah Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak.

Kala itu, kedua sekolah menginisiasi program tabungan siswa. Uang tabungan disetorkan kepada seorang guru. Jumlahnya bervariasi, mulai dari Rp5.000  hingga Rp200.000. Namun, ketika waktu penarikan tiba, uang tabungan lenyap. Sang guru mengaku uangnya hilang, membuat para orang tua siswa geram.

Setelah diselidiki, terbukti bahwa uang tabungan siswa telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi sang guru. Total tabungan yang digelapkan mencapai Rp 87 juta. Beberapa keluarga masih ingat kejadian penggelapan dana tersebut.

“Suami saya bilang, ‘Aii, kau enggak trauma kah? Tabungan SD dulu hilang.’ Jadi saya memilih ikut dengan nominal paling kecil, Rp25.000. Tapi setelah penarikan, saya menerima uang saya utuh. Artinya, sistem ini benar-benar bagus,” kata Rahmawati, anggota VSLA.

Keraguan mulai meluntur setelah berjalan selama satu tahun. Hasil tabungan yang mereka kumpulkan kembali sepenuhnya, membuktikan bahwa sistem VSLA dapat berjalan dengan baik.

Setiap anggota VSLA memiliki tujuan menabung berbeda-beda. Ada yang menabung untuk membeli kulkas, membiayai sekolah anak, atau memenuhi kebutuhan hari raya. Selain itu, mereka sebagai anggota VSLA juga mendapatkan pelatihan tentang literasi keuangan.

“Tabungan itu bagian kecilnya, tapi ilmunya yang tidak bisa didapatkan (dari tempat lain),” kata Hamriana dari salah satu kelompok VSLA lain.

Sebelum ada sistem VSLA, pengaturan keuangan keluarga hanya bergantung pada hasil panen. Jika panen baik, pengeluaran pun meningkat tanpa ada perencanaan atau prioritas kebutuhan. Akibatnya, ketika kebutuhan untuk kebun mendesak, sementara uang sudah habis, mereka harus berhutang kepada toko atau orang lain.

Kini dengan  VSLA, mereka punya dana cadangan yang dijaga bersama, bahkan peluang pinjaman bebas bunga.

Berdaya Mengelola Kebun Bersama

Sementara itu, di Luwu Timur, anggota kelompok perempuan menganggap keberadaan VSLA membuka wawasan mereka mengenai keuangan dan kebutuhan pertanian.

“Jadi sekarang kami tahu, kebutuhan pupuk, pemangkasan, atau penyemprotan itu seperti apa. Karena kami ke kebun melihat dan belajar bersama,” kata Kasmi, anggota VSLA.

Selama ini, bagi perempuan petani, urusan kebun dianggap ranah laki-laki sehingga para istri tidak ikut terlibat. Akibatnya, mereka memiliki jarak yang besar dengan sumber penghidupan utama keluarga.

“Sekarang kami jadi paham bagaimana pekerjaan di kebun sebenarnya. Selama ini, banyak perempuan, termasuk saya, tidak pernah terlalu memikirkan hal itu,” ujar Kasmi.

Tradisi patriarki telah sejak lama membagi dengan ketat peran kerja perempuan dan laki-laki. Dalam masyarakat petani tempat Kasmi tinggal, urusan kebun menjadi kewenangan laki-laki atau suami. Pembagian peran yang kaku ini sering kali menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga.

“Dulu saya sering bertanya kepada suami, kenapa pupuk yang digunakan sebanyak itu, apakah bisa dikurangi, atau mengapa harus ada penyemprotan dan pemangkasan,” kata Kasmi.

Namun, setelah memahami prosesnya, mereka tak lagi hanya bertanya, tetapi juga ikut terlibat. “Sekarang kami mengerti, dan suami pun lebih senang karena ada saling pengertian,” ujar Irda.

Irda tampak penuh semangat saat menapaki bedengan sayur di belakang bangunan sekolah TK di salah satu desa di Luwu Timur. Di petak itu, ada tanaman terong, kangkung, tomat, dan beberapa tanaman sayur lain.

Kebun sayur itu diinisiasi oleh empat kelompok perempuan. “Sebelumnya, saya tak pernah ke kebun. Saya tidak pernah niat untuk bertani,” kata Irda.

Namun melalui program GrowHer: Kakao, dia memperoleh pengetahuan baru mengenai pertanian yang ramah lingkungan dan anak. “Sekarang, saya jadi semangat ke kebun. Sekarang kalau suami memangkas kakao, saya jadi cerewet, ini yang perlu dipangkas. Kan saya sudah dapat pengetahuannya,” lanjut Irda.

Kini, Irda semakin menyukai dunia pertanian. Di kebun, bersama kelompok perempuan lain, ia dengan terampil mencampurkan pupuk kompos cair. Sementara itu, anggota lain mengangkat tangki dan menyemprotkannya ke tanah. “Ini untuk menetralkan pH tanah, pengganti kapur,” ujarnya dengan bangga.

Kelompok ini mengelola pertanian sayuran secara alami tanpa menggunakan pestisida. “Jadi kemarin kami sudah panen kangkung, itu harganya sekitar Rp100.000. Karena memang sedikit. Tapi kami senang sekali, ” kata Rahmida.

Bagi Rahmida, sayuran yang sehat dan dikelola secara alami adalah asupan penting bagi keluarga petani. Selama ini, meskipun seseorang memiliki uang dan mampu membeli bahan makanan, belum tentu mereka bisa memastikan bahwa bahan tersebut sehat. “Di sini kami memulainya dan berharap akan terus berkembang. Karena memang kami punya mimpi bersama yang sama,” lanjutnya.

“Tapi kebun ini juga buat kami punya kegiatan. Jadinya bukan hanya tinggal di rumah. Kami juga petani sekarang,” ungkap Rahmida.

Bertumbuh dalam Peluang

Lahan pertanian sayuran yang dikelola oleh kelompok perempuan adalah milik pemerintah desa. Pemerintah desa menyumbangkan lahan tersebut untuk menjadi bagian dari pemberdayaan dan unit bisnis VSLA.

Tak hanya itu, pemerintah desa juga memberikan dukungan anggaran untuk inisiasi tersebut. Pada tahun 2024, anggaran sebesar Rp15 juta digunakan untuk membeli perlengkapan pertanian, seperti cangkul, parang, pupuk organik, dan tangki semprot, serta untuk membangun rumah pembibitan.  

Di Luwu Utara, Hamriani merasakan hal yang juga sama. Dia dan para anggota grup VSLA memamerkan hasil usaha bersama mereka: bibit kakao yang telah berusia tiga bulan. Ketika usia bibit sudah mencapai enam bulan, mereka siap untuk menjualnya. Satu bibit di pasar dihargai Rp10.000.

Rumah bibit ini sebetulnya mampu menampung hingga 5.000 bibit. Namun kelompok ini memulainya dengan 350 bibit. “Hasilnya akan digunakan di kelompok dengan pembagian tertentu,” kata Hamriani.

Bagi Hamriani, Rahmida, dan para perempuan lain di Luwu Timur dan Luwu Utara, VSLA bukan hanya tempat menabung dan belajar. Ia telah membuka pintu bagi peluang-peluang baru yang mendukung kehidupan keluarga serta menguatkan peran perempuan, baik dalam rumah tangga maupun komunitas.

Wawancara dan teks oleh: Eko Rusdianto
Diedit oleh: Purba Wirastama
Foto: Iqbal Lubis / Save the Children
scroll to top button