Cerita Perubahan

Pembibitan dan Pertanian Ramah Lingkungan untuk Keberlanjutan 

Perkenalkan Akbar Ali (32 tahun). Dia adalah petani muda yang mengelola kebun kakao bersama orang tuanya di sebuah desa di Kabupaten Wajo. Dia selalu kagum dan bangga menyebut dirinya sebagai petani. “Saya petani dan saya bangga sebagai petani,” katanya.  

Akbar lahir dan besar di lingkungan petani. Dan itu yang selalu membuatnya kagum, ketika melihat petani bekerja. Melihat keuletannya, menyaksikan kesabaran menanam dan merawat tanaman. Baginya, bertani adalah profesi yang hanya bisa digeluti oleh orang-orang yang memiliki kecintaan pada alam. “Ada banyak orang yang menjadi petani karena tidak ada pilihan. Lalu mereka bekerja di kebun dengan beban dan ingin hasil cepat. Ini yang biasa membuat lahan diolah tak terkendali dan selalu berbicara dengan hasil untung dan rugi.”  

Suatu ketika, Akbar bersama orang tuanya akan meremajakan lahan kakao milik mereka. Luasnya sekitar satu hektar. Mereka kemudian menghitung dan menaksir jumlah bibit yang dibutuhkan. Ketika bibit datang, dia memperhatikan tanaman dalam wadah plastik itu.  

Dia tanya ke orang tuanya, kenapa mereka tak membuat bibit sendiri. Tapi orang tua dan petani di kampungnya bilang, bibit dibuat oleh orang-orang yang punya keterampilan khusus. Akbar terdiam. Lama nian dia memendam keinginan itu tapi tak tahu akan belajar ke mana.   

Akbar Ali bersama tanaman kakao miliknya. (Foto: Eko Rusdianto / Save the Children)

Lalu tahun 2024, Save the Children bersama Yayasan Wajo sebagai mitra lokal, menginisiasi program Good Agriculture Practice (GAP). Salah satu aktivitas program ini adalah pelatihan pembibitan kakao melalui metode praktik sambung pucuk di salah satu desa di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.  

Seorang fasilitator petani dari Yayasan Wajo menghubunginya dan memintanya mengikuti pelatihan. Akbar tanpa berpikir panjang dan langsung menyetujuinya. Dia senang sekali. Pelatihan itu dilakukan selama dua hari. Ada puluhan peserta dari berbagai usia antusias mengikutinya. Pada hari pertama, peserta mendapatkan pembekalan cara pengolahan biji kakao yang sehat untuk dijadikan bibit hingga persiapan lahan pembibitan. Dan pada hari kedua, peserta melakukan praktik sambung pucuk.  

Ketika pelatihan itu berlangsung, Akbar memperhatikan penjelasan dari setiap mentor dengan telaten. Di rumah pelatihan itu, rupanya juga adalah rumah pembibitan yang sudah dilakukan warga. Dia menjadi lebih semangat. “Dulu kami beli bibitnya dari Kabupaten Soppeng. Harganya bisa mencapai Rp13.000 per bibit,” katanya.  

Bagi Akbar, membeli bibit dari tempat jauh itu seperti berjudi. Jika pemilihan bibitnya bagus, maka tanaman bisa tumbuh dengan baik. Namun kalau buruk, pertumbuhan tanaman akan jelek, bahkan bisa mati.  

Usai pelatihan, Akbar mencoba melakukan pembibitan secara mandiri. Dia memilih bibit yang baik dan menyiapkan rumah bibit.

Bibit-bibit itu kemudian dirawatnya selama empat bulan dan ia jual. “Saya senang sekali. Tapi tujuan utama saya buat bibit sebenarnya bukan untuk dijual, tapi untuk ditanam sendiri, jadi orang tua tak perlu beli bibit lagi,” lanjutnya.  

Selain melakukan pembibitan secara mandiri, Akbar juga melakukan pembibitan bersama kelompok tani Mappasitujue yang beranggotakan delapan orang petani muda termasuk dirinya. Kelompok tani ini mendapatkan stimulus dari program GAP untuk melakukan pembibitan dan membangun rumah bibit.  

Penanaman bibit tanaman kakao dengan menggunakan metode sambung pucuk. (Foto: Eko Rusdianto / Save the Children)

Pada Februari 2024, kelompok tani Mappasitujue telah berhasil merawat sekitar 3.000 bibit kakao. “Harapan kami, petani tak perlu lagi membeli bibit dari luar daerah, karena kelompok kami bisa menyediakannya,” jelas Akbar.  

Di Kabupaten Wajo, panen raya kakao terjadi antara bulan Mei hingga Juli. Pemilihan bibit dengan kualitas terbaik harus dilakukan pada saat panen raya, karena setelah itu buah kakao tidak akan melimpah lagi.   

Tantangan yang dihadapi Akbar dalam mengembangkan pertanian kakao yang baik dan sehat tidak hanya dalam hal pembibitan, tapi juga memberikan pemahanan pada petani kakao untuk menghindari penggunaan pupuk kimia dan pestisida. 

Tak mudah bagi petani muda seperti Akbar untuk bicara tentang konsep petanian yang ramah lingkungan pada petani yang sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia dan pestisida. “Berdebat dengan mereka itu bisa bikin sakit. Tapi kami sedang memulainya secara perlahan,” ungkap Akbar.  

Menurut Akbar, penggunaan pupuk kimia dan pestisida merupakan praktik yang umum dilakukan oleh petani kakao di daerahnya. Padahal, kedua hal ini tidak baik bagi kesehatan tanah dan tanaman. Selain membuat lahan pertanian menjadi kering, hama juga menjadi semakin kebal.  

“Para mentor di pelatihan merekomendasikan pupuk kompos dibanding pupuk kimia. Rasanya ini lebih masuk akal karena semua bahannya ada di sekitar kita,” jelas Akbar. 

 Akbar sendiri sudah mempraktikkan konsep pertanian ramah lingkungan di rumah bibit pribadinya maupun di kelompok tani Mappasitujue dengan menghindari penggunaan pestisida dan racun. Ia berharap, cara ini akan membantu keberlanjutan pertanian kakao di daerahnya.    

Scroll to Top