
Namanya Tasya (6 tahun). Dia belajar di kelas 1 di sebuah sekolah dasar di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Saat diminta oleh guru untuk membacakan sebuah cerita pendek berjudul “Beni dan Senam Fisik”, gadis kecil itu sedikit ragu dan malu. Mungkin karena ada orang baru di situ. Namun kemudian, dia memberanikan dirinya membaca. Dia mulai melafalkan suku kata awal dan kemudian secara cepat membacakan kata tersebut dengan tepat. Kemudian berpindah ke kata-kata lain dalam sebuah kalimat utuh yang sempurna.
“Dulu Beni pernah ikut paman ke sanggar senam,” bacanya dengan lancar.
Setelah itu, enam baris kalimat pendek selanjutnya dilahapnya dengan lancar tanpa banyak keraguan. Setelah beberapa saat mendengar Tasya membaca, kesan yang segera muncul jika melihat kemampuannya, dia termasuk kelompok anak pembaca lancar.
Dibandingkan anak-anak lain yang seusia di daerah tempatnya tinggal dan belajar, kemampuan literasi Tasya mengejutkan sekaligus membanggakan. Sementara sebagian besar teman-teman satu angkatannya masih berkutat pada upaya mengenal huruf dan suku kata, ia telah menjadi seorang pembaca lancar.
Menemukan Tasya dan kemampuannya dalam konteks seperti ini membuat guru dan orang tua bahagia. Apalagi di daerah pedesaan dengan segala keterbatasannya. Bahkan ketika diikuti dengan beberapa pertanyaan sederhana tentang isi bacaan, dia dengan percaya diri menjawabnya.

Menurut Mariana (52 tahun), wali kelas dan guru Tasya, kemampuan Tasya menganalisa bacaan juga sangat bagus. Ketika ditanya terkait bacaan, misalnya “Mengapa begitu?” atau “Setelah itu, ceritanya akan seperti apa?”, kemampuan imajinasi dan prediksinya juga sering tepat.
Untuk menjadi seorang pembaca dalam level dan usia yang sedemikian itu, tentu ada banyak aspek atau prasyarat yang perlu dipenuhi. Misalnya, anak mesti terpapar dengan literasi dan bacaan secara intens. Tentu saja paparan ini tidak cukup di sekolah saja dengan guru, tetapi diharapkan juga terjadi di rumah. Demikian juga terkait pembelajaran dan bimbingan yang perlu didapatkan anak supaya kemampuan literasinya berkembang.
Peran orang dewasa di sekeliling anak sangat penting untuk perkembangan literasi anak. Bimbingan yang intens dari orang tua dan guru sangat menentukan. Di sekolah, Mariana memberikan bimbingan ini melalui strategi-strategi literasi yang tepat untuk sertiap anak.
“Dengan Tasya, kami sedang memoles kemampuannya untuk mengunakan tanda baca dengan tepat,” kata Mariana.
Save the Children, melalui Program School for Change di Kupang, Nusa Tenggara Timur, turut mendukung pengembangan kemampuan literasi anak-anak. Sejak awal, program ini menggunakan pendekatan percepatan literasi melalui tiga elemen penting, yaitu pelatihan guru, pelibatan orang tua dan masyarakat, serta pengukuran kemampuan literasi anak.
Pertama, Mariana dan guru-guru kelas awal lain diberi pelatihan tentang strategi-strategi percepatan keaksaraan yang dapat diterapkan di kelas. Salah satunya keterpaparan pada kelas kaya aksara, sudut baca, dan beragam bahan bacaan anak. Selama penerapan, pendampingan terhadap guru dilakukan terus menerus supaya memungkinkan ada umpan balik dan peningkatan kualitas.
“Saya suka ruangan kelas. Ada banyak warna, kata-kata dan juga angka. Saya suka ke sudut baca karena banyak buku cerita bagus,” kata Tasya.
Kedua, orang tua dan masyarakat dilibatkan dalam kegiatan peningkatan literasi di luar sekolah. Melalui kelas pengasuhan dan kampanye literasi, orang tua dilatih untuk melakukan praktik-praktik literasi di rumah, seperti membaca buku dengan anak serta mengenalkan huruf dan kosa kata sederhana terkait benda atau situasi di sekitar rumah. Pos baca dibangun di desa untuk membantu anak-anak melakukan kegiatan literasi yang menyenangkan bersama fasilitator masyarakat.

David, ayah Tasya, menceritakan bahwa ada praktik literasi di rumah yang sering dilakukan bersama.
“Tasya punya kebiasaan untuk dibacakan cerita oleh Ibunya. Ibunya juga sering membimbing dia membaca maupun menulis. Buku biasanya dipinjam dari sekolah,” kata David.
Ketiga, pengukuran kemampuan literasi anak. Ada pengukuran berkala terhadap kemampuan literasi anak untuk melihat kemajuan anak. Hasilnya bisa digunakan untuk memperbaiki atau meningkatkan strategi-strategi dan pendekatan-pendekatan literasi yang diterapkan. Setelah itu, apresiasi diberikan melalui sebuah festival literasi untuk merayakan capaian literasi. Apresiasi ini diharapkan terus memotivasi anak dalam pembelajaran.
“Kali lalu, saya juara lomba baca lancar. Dari Save the Children, saya mendapatkan tas sekolah dan alat tulis. Saya sangat senang,” kata Tasya.
Tasya juga terlibat dalam kegiatan “Sahabat Baca” yang dijalankan oleh Save the Children. Aktivitas ini memasangkan anak kelas awal dan kakak kelas untuk membaca bersama di waktu senggang, baik di sekolah maupun di rumah. Kakak kelas membimbing adik kelas membaca dalam periode waktu tertentu. Setelah itu. ketika mengembalikan buku, guru akan menguji pemahaman dan kemajuan adik kelas dalam membaca.
Sudah banyak buku yang dipinjam Tasya untuk ini dan juga untuk dibawa pulang untuk dibaca dengan Ibunya. Banyak buku yang disukainya. Ada Raja Bangau, Aku Ingin Jadi Dokter, dan Angsa Emas. Judul favoritnya adalah Aku Ingin menjadi Pilot.
Ketika ditanya apakah nanti dia ingin menjadi pilot, dengan tersipu Tasya menggeleng.
“Saya ingin menjadi polisi agar bisa menjaga keluarga dan masyarakat. Seragamnya juga gagah,” katanya tegas.
“Cita-cita anak masih sering berubah, kadang-kadang pilot, kadang-kadang polisi. Mereka masih bertumbuh,” tambah Mariana.
Ayah Tasya hanya tersenyum. Mungkin karena anaknya terinspirasi oleh dirinya yang seorang tentara. Pakaiannya memang gagah.