Yanti Kusumawardhani memulai kariernya di Save the Children melalui perjalanan panjang. Yanti kerap bersinggungan dengan Save the Children melalui program-program konsorsium. Setelah itu pada tahun 2013, dia bergabung dengan Save the Children sebagai staf untuk program School Inclusiveness and Performance (SIAP).
“Bidangnya sedikit berbeda dengan latar belakang saya di perlindungan anak, tapi buat saya, selama fokusnya masih isu anak, saya senang,” ungkap Yanti.
Yanti telah fokus bekerja di isu-isu anak, seperti perburuhan anak dan kesehatan, setelah lulus dari Program Studi Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran. Dia konsisten melakukan itu sampai suatu ketika, dia mendapat kesempatan mengambil pendidikan Master of Social Work (MSW) dengan sertifikasi Direct Practice in Child, Youth, and Family Welfare di University of Pittsburgh pada tahun 2005.
Kesempatan melanjutkan studi di Pittsburgh mengubah banyak hal dalam diri Yanti, termasuk bagaimana dia menghadapi isu-isu diskriminasi.
“Karena ini pula saya merasa bisa menghadapi situasi dan dinamika yang sulit dalam pekerjaan ataupun kehidupan. Rasanya sudah pernah berada dalam situasi penuh tantangan dalam hidup sebelumnya,” jelas Yanti.
Pada tahun 2015, Yanti pernah mendapatkan penghargaan sebagai Pekerja Sosial Berprestasi dari Kementerian Sosial RI. Selain apresiasi seremonial ini, penghargaan utama yang membuatnya sangat terkesan adalah interaksi positif dengan anak-anak serta orangtua mereka.
“It’s rewarding ketika mendengarkan orangtua bercerita mengenai anak mereka dan ketika beraktivitas langsung dengan anak. Bekerja di isu-isu anak dan bisa berkontribusi untuk masa depan mereka merupakan kebahagiaaan tersendiri,” cerita Yanti.
Program untuk Anak-Anak Disabilitas
Setelah SIAP, program kedua Yanti di Save the Children adalah Family-based Care for Children with Disability. Dia memulainya dengan menjadi Koordinator Layanan bersama 15 pekerja sosial untuk 156 anak disabilitas.
Sesuai namanya, program ini berfokus pada penanganan isu anak-anak dengan disabilitas. Itu meliputi identifikasi masalah, intervensi apa yang seharusnya diterapkan, serta bagaimana merujuk anak-anak terhadap layanan yang tepat. Setiap bulan ada setidaknya 150-180 layanan rutin yang dilaksanakan di 196 desa di enam kabupaten/kota di Jawa Barat.
“Saya selalu bilang pada para pekerja sosial: layanan rutin ini hanya bisa dilaksanakan satu bulan sekali. Layanan ini merupakan privilese bagi anak-anak dengan disabilitas, maka do our best and don’t messed up or they will not get it properly. Selalu fokus pada anak-anak dan praktikan nilai dan kode etik kita,” jelas Yanti.
Salah satu penanganan kasus yang berkesan bagi Yanti ada di Pakenjeng, Garut Selatan.
“Tempatnya terpencil. Kalau kita berangkat jam 5 pagi dari Bandung, itu baru sampai sana sekitar jam makan siang,” kenang Yanti.
“Awalnya kita melihat foto di RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat) Desa, ada satu anak dengan disabilitas yang ada di foto tetapi tidak hadir saat layanan. Kami pun menyusuri pematang sawah untuk ke rumahnya dan itu cukup jauh, kita sampai ngos-ngosan. Jadi, tidak terbayang bagaimana caranya anak tersebut bisa datang ke RBM untuk layanan,” lanjutnya.
Setelah Yanti dan timnya menelusuri langsung ke rumahnya, ternyata anak ini mengalami kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi secara langsung. Sang anak tinggal berdua saja dengan neneknya yang disabilitas netra, sementara dia sendiri mengalami Celebral Palsy berat. Tempat tinggal mereka adalah rumah panggung di tengah pematang sawah.
Tiga bulan setelah kunjungan tersebut, Yanti mendapat kabar bahwa nenek dari anak tersebut meninggal. Dia dan timnya segera mengadakan pertemuan untuk menetapkan bagaimana pengasuhan terbaik terhadap sang anak yang ditinggal neneknya sendirian.
Bagi Yanti, ada satu hal yang tak bisa dia lupakan dari kasus tersebut. Ketika dia dan timnya datang ke rumah sang anak bersama fisioterapis profesional, betapa bahagia dia melihat anak ini, yang untuk pertama kali dalam 16 tahun hidupnya, akhirnya bisa dibantu duduk setelah mendapat simulasi dasar oleh fisioterapis. Hari itu adalah hari pertama sang anak melihat “dunianya” dalam posisi duduk.
Tantangan Mengelola Stres
Selain anak dari Pakenjeng, Yanti bersama timnya berhasil menjangkau 3.432 anak dengan disabilitas lain selama tiga tahun. Perjalanan itu tentu tidak tanpa masalah dan tantangan. Salah satu masalah utama yang cukup sering terjadi, menurut Yanti, banyak anak dengan disabilitas yang “disembunyikan” oleh keluarga mereka karena persoalan stigma buruk, baik yang datang dari masyarakat maupun keluarga sendiri. Selain persoalan eksternal, hal lain yang juga menantang adalah mengelola stres.
“Stres adalah makanan sehari-hari – dari memastikan wellness 22 pekerja sosial secara personal, setiap orangnya, belum lagi memikirkan intervensi setiap anak. Meski begitu, saya coba kelola bebannya bersama-sama karena saya bekerja buat anak-anak dan saya nggak mau main-main kalau soal anak. Fokus saya tetap pada anak dan menjauhkan diri dari faktor-faktor lainnya yang negatif,” ungkap ibu dua anak ini.
Kini, Yanti bekerja untuk program Families First di Save the Children. Program ini bertujuan membangun dan memperkuat sistem perlindungan di tingkat nasional hingga lokal dalam kemitraan dengan pemerintah dan lembaga lain.
Selama bekerja di Save the Children, Yanti telah beberapa kali mendapat kesempatan untuk mempresentasikan pekerjaan sosialnya di forum internasional. Dari kesempatan itu, dia bertemu para profesional lain di bidang yang sama dan melihat bahwa ilmu ini sudah lebih berkembang jauh dibandingkan saat dia sekolah.
“Kalau kita mau memberikan layanan terbaik dan mengembangkan sistem perlindungan anak di Indonesia, kita harus bisa update dengan apa yang terjadi di luar sana. Jadi kalau ada kesempatan, saya pengin banget bisa sekolah lagi untuk mengejar ketertinggalan dan berilmu lagi,” pungkas Yanti.