Sahabat pernah mengalami pompa air di rumah rusak atau air tanah tidak bisa digunakan? Sungguh mengesalkan rasanya bila tidak ada air bersih di rumah. Air bersih berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun karena krisis iklim yang sedang terjadi, air bersih menjadi barang yang langka bagi beberapa wilayah di dunia, termasuk di Indonesia.
Krisis iklim dampaknya nggak main-main. Masalah ini berdampak langsung pada anak-anak di seluruh dunia dan menjadi ancaman besar terkait kebertahanan hidup, akses untuk mendapatkan pendidikan dan perlindungan. Bukan nggak mungkin bisa saja terjadi pada anak-anak kita. Kalau kita sebagai orangtua nggak melakukan sesuatu untuk merespons krisis iklim ini, kita akan memberikan beban yang berat bagi anak-anak di masa yang akan datang.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa ada keterkaitan antara krisis iklim dan krisis air bersih. Di Indonesia sendiri sayangnya sudah ada wilayah yang mengalami krisis air bersih. Mendapatkan air di wilayah ini sangat sulit, harganya pun mahal sekali. Salah satunya di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Mungkin Sahabat enggak percaya kalau Sumba yang dikenal dengan keindahan alamnya, hanya ada 51,74% warganya yang punya air bersih! Selain itu hanya ada 25% sekolah di Sumba Barat yang memiliki air bersih.
Krisis air bersih yang dialami anak-anak Sumba membuat mereka rentan terkena penyakit diare, cacingan, dan penyakit lain akibat kuman.
Jumlah anak Sumba Barat yang menderita cacingan juga tinggi, yaitu sebanyak 85,6% untuk usia SD. Penyakit cacingan juga erat kaitannya dengan kualitas air bersih (Loka Litbangkes: 2019). Permasalahan tersebut hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang muncul akibat kesulitan air bersih yang kini sedang dihadapi oleh anak dan keluarga di Sumba.
Selain itu, 1 dari 10 anak di Sumba Barat mengalami diare, yang mana merupakan penyakit nomor dua terbanyak yang dialami oleh anak-anak Sumba.
Berikut ini adalah sedikit penjelasan bagaimana dampak krisis air bersih bagi anak dan keluarga. Yang pertama, buruknya sanitasi dan higiene keluarga. Ketika sanitasi buruk, banyak penyakit yang mengancam manusia, salah satunya diare. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, tidak kurang dari 827 orang meninggal dunia setiap tahun akibat buruknya akses sanitasi di lingkungan mereka. Sekitar 60% kematian ini disebabkan oleh diare.
Sanitasi yang buruk dan tidak higienis juga berpengaruh terhadap kehamilan ibu. Ketika seorang ibu hamil menggunakan jamban yang kurang bersih atau minum air mentah, hal ini dapat berisiko pada kehamilannya dan janin tidak dapat tumbuh secara optimal. Saat sang anak lahir, si anak tidak memiliki hak belajar dan bermain karena infrastruktur air yang memadai tidak tersedia. Hal ini membuat anak rentan mengalami eksploitasi dan kecelakaan fisik karena selama prosesnya anak melalui jalanan yang licin dan berbukit. Keadaan tersebut dapat mengancam keselamatan anak. Ujung dari masalah ini adalah bertambahnya jumlah anak yang mengalami malnutrisi dan gizi buruk.
Lalu bagaimana kondisi air bersih di Sumba? Saat ini kebanyakan masyarakat Sumba, terutama anak-anak dan Ibu, harus menempuh 2 hingga 10 kilometer untuk mengambil air setiap harinya. Jumlah air yang terbatas juga menyebabkan kurangnya sanitasi di WC rumah, sekolah, bahkan Puskesmas. Telah disebutkan di atas bahwa air adalah barang mahal di Sumba sehingga 20-30% pendapatan keluarga di NTT dihabiskan untuk membeli air tangki setiap bulannya.
Seperti Tika (bukan nama sebenarnya), salah satu anak yang setiap harinya menuruni bukit dan kembali menanjak bukit saat ingin kembali ke rumah. Bukit yang terjal, licin menanjak, panas terik matahari terus dihadapi Tika dan teman-temannya untuk memenuhi kebutuhan air di rumah mereka. Perjalanan mereka mencari air memang jauh dari kata mudah dan tak jarang berbahaya. Seperti Tika (bukan nama sebenarnya) salah satu anak yang setiap harinya melewati medan yang menantang kala mengambil air. Tika harus menuruni bukit dan kembali menanjak bukit saat ingin kembali ke rumah. Perjalanan anak mencari air memang jauh dari kata mudah. Belum lagi 1 orang anak bisa ambil air dua hingga enam kali dalam sehari. Belum lagi anak bisa ambil air dua hingga enam kali dalam sehari.
“Saya tinggal bersama nenek di atas bukit, terpisah dari Ibu dan Bapak karena nenek sudah tua tidak bisa ambil air sendiri, jadi saya harus menemani nenek. Setiap hari saya bangun jam 6 pagi dan jalan turun ke mata air, jaraknya sekitar 4 kilometer dari rumah.
“Setelah isi air untuk rumah nenek, saya jalan lagi ambil air buat rumah Ibu. Setiap hari saya bolak-balik 10 sampai 15 kali, karena sekali ambil cuma bisa bawa 10 liter di tangan kiri dan atas kepala harus isi bak dua rumah. Tangan kanan untuk bantu jaga badan naik turun bukit.
“Kalau sudah sore, kaki dan badan saya sakit serta capek. Saya sering mengantuk jadi tidak bisa belajar,” kata Tika, yang kini berusia 16 tahun.
Sahabat, dari kisah Tika kita memahami bahwa kesulitan air bersih mempengaruhi keadaan sanitasi di rumah yang dapat menimbulkan penyakit dan membahayakan kesehatan anak. Anak-anak seperti Tika bahkan harus bertaruh nyawa demi mendapatkan air bersih.
Masalah air bersih harus segera kita atasi. Bagaimana caranya? Langkah termudah dan bisa dilakukan dari mana saja. Salah satunya, Sahabat bisa ikut berkontribusi dengan berdonasi air bersih untuk anak-anak Sumba bersama Save the Children Indonesia.
Save the Children Indonesia berencana membangun pipa air yang akan mengalirkan air bersih dari mata air ke rumah warga, Puskesmas, dan sekolah. Jadi suatu saat Tika dan teman-temannya tak perlu jauh-jauh ambil air. Tika dan teman-temannya bisa menggunakan waktu mereka untuk belajar, bermain, atau melakukan hobi mereka.Yuk, kita wujudkan pembangunan pipa air bersih di Sumba, NTT bersama Save the Children Indonesia dengan berdonasi sekarang! Bantuan Sahabat dapat mengurangi langkah-langkah kaki anak-anak dan Ibu untuk mengambil air. Mari ikut berdonasi dengan klik di sini.