Putri dan Aruna CYAN Suarakan Isu Hak Anak Perempuan di Konferensi CSW ke-67

Cerita Penggerak

Putri (20) dan Aruna (17) menjadi perwakilan orang muda dan anak dari Indonesia dalam konferensi Commission on the Status of Women (CSW) ke-67 di New York dan Washington DC, Amerika Serikat. Mereka hadir bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia I Gusti Ayu Bintang Darmawati, serta ditemani staf dari Save the Children dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. 

Putri, meskipun telah aktif mengikuti beragam kegiatan bersama Save the Children Indonesia sejak 2013 lalu, mengaku masih merasa deg-degan saat harus berangkat. Baginya, isu yang dia bahas dalam konferensi ini termasuk baru, yakni mengenai Digital Protection

Karena itu sebelum berangkat, Putri pun melaksanakan persiapan dengan sangat matang. Mulai dari membuka data-data dan cerita dari pengalaman teman-teman perempuannya, hingga menganalisis sejauh mana kebijakan di Indonesia dalam melindungi anak perempuan. 

“Ya, tentu masih (deg-degan). Karena isunya isu digital, isu baru dan belum pernah aku bahas khususnya dalam konteks hak anak perempuan. Hal sangat baru yang bikin nervous juga,” jelasnya. 

Meski demikian, pengalamannya aktif bersama Save the Children terbukti mampu menjadi bekal Putri di forum CSW ke-67, khususnya mengenai sensitivitas dalam melihat isu pemenuhan hak perempuan. Selama hampir satu dekade mengikuti kegiatan bersama Save the Children, ia merupakan anggota Child Youth Advisory Network (CYAN). Ia juga terlibat dalam membangun program Sekolah Aman Cerdas Iklim (SEKOCI) yang berfokus pada literasi isu perubahan iklim. 

Dari situ, Putri belajar untuk melihat bagaimana mengambil kebijakan secara tepat, menjalankan advokasi dengan pemerintahan, dan melihat isu anak dari sudut pandang berbeda, khususnya untuk anak perempuan.  

“Aku jadi tahu, bagaimana cara menyuarakan. Melakukan advokasi sangat digunakan (saat mengikuti CSW 67). Tentang cara mengomunikasikan isu yang penting buat kita, termasuk mempengaruhi orang-orang yang punya power. Terus cara biar advokasi kita bisa diterima. Itu pengalaman yang didapat dari CYAN,” urainya. 

Di CYAN, sensitivitasnya akan isu anak datang dari konsultasi rutin yang dilakukan bersama beberapa anak dari berbagai daerah. Dari situ, ia mendengarkan langsung pengalaman dan pendapat dari teman-temannya dengan beragam latar belakang, geografi, dan juga tantangan. Ini membantunya untuk melihat sebuah isu secara jauh lebih luwes. 

Aruna datang dengan isu berbeda, yaitu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). Selain menjadi anggota CYAN, Aruna juga membuat kegiatan Sudut Aman bersama teman-temannya. Komunitas mereka secara rutin menyuarakan pesan tentang hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi; sebuah isu yang relatif dianggap tabu di masyarakat Indonesia. 

Di forum CSW-67, Aruna bertemu dengan Mikiko Ōtani, seorang pengacara yang juga Ketua Komite PBB Bidang Pemenuhan Hak Anak. Dia mendapatkan saran dar Mikiko untuk mengambil sudut pandang baru dalam menyebarluaskan pesan mengenai pentingnya hak kesehatan seksual dan reproduksi. 

“Secara materi, yang membekas bagiku, saat bersama Mikiko Ōtani. Dia memberi saran agar menyebarluaskan HKSR dari sisi isu kesehatannya. Isu kesehatan lebih universal buat semua orang,” jelas Aruna.  

Perubahan iklim juga turut dibahas dalam konferensi ini. Apalagi, hal tersebut berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi. 

“Buat perempuan, kesehatan reproduksi saat menstruasi akan berpengaruh. Higiene akan berpengaruh saat tidak ada air karena kekeringan. Lalu bagi perempuan imigran atau asylum seeker, mereka berisiko terkena gender-based violence, kekerasan berbasis gender. Ini kami bahas saat di Washington DC,” ungkap Aruna. 

Usai mengikuti konferensi CSW ke-67, Putri dan Aruna telah berencana untuk melanjutkan kerja mereka. Mereka akan menginisiasi kerja sama dengan KPPPA dalam momen Hari Anak Nasional (HAN) 2023 dengan membahas ulang isu-isu dalam CSW ke-67. 

“Kita sudah berencana menjalin kolaborasi saat HAN. Sebagai kelompok anak, bersama KPPPA untuk membahas ulang isu tersebut melalui FGD (focus group discussion), lalu menuliskan rekomendasi bersama, dan juga merumuskan suara anak bersama yang harapannya bisa jadi prioritas,” tutur Putri.

Bagikan Artikel Ini

Skip to content scroll to top button