Sebuah tenda sederhana berdiri di sudut lapangan yang terletak di Kampung Adat Ratenggaro, Desa Maliti Bondo Ate, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kampung ini terletak tepat di tepi Pantai Ratenggaro yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.
Minggu siang itu, 12 Maret 2023, puluhan orang, baik tua maupun muda, tampak berkumpul di dalam tenda menunggu giliran mendapat vaksin COVID-19. Mereka tidak hanya berasal dari Kampung Adat Ratenggaro, namun juga dari berbagai kampung adat lain di sekitarnya.

Dalam vaksinasi tersebut, lansia diprioritaskan terlebih dahulu supaya tidak terlalu lama menunggu di dalam tenda. Selama ini lansia menghadapi berbagai kendala untuk mengakses vaksin, mulai dari jarak yang jauh menuju lokasi vaksinasi hingga ketiadaan stok maupun jenis vaksin tertentu di Puskesmas.
Salah satu lansia yang siang itu berhasil divaksin adalah Paulina Pati Palla (62). Dalam kesempatan tersebut, ia akhirnya bisa menerima vaksin ketiga setelah menunggu lebih dari setahun. “Saya senang sekali akhirnya bisa mendapat vaksin ketiga,” ungkap Paulina.
Paulina hanyalah satu dari sekian banyak lansia yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hingga kini, capaian vaksinasi untuk lansia di NTT masih rendah. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, 1 dari 2 lansia di NTT belum mendapatkan vaksin lengkap. Padahal, lansia merupakan salah satu kelompok rentan penyumbang kematian terbanyak akibat COVID-19.
Vaksinasi siang itu merupakan bagian dari program percepatan vaksinasi COVID-19 untuk kelompok rentan yang diinisiasi oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) melalui Save the Children dan Circle of Imagined Society (CIS) Timor.
Bekerja sama dengan Puskesmas Walla Ndimu, lembaga adat, dan juga gereja, hari itu sebanyak 140 warga akhirnya berhasil tervaksinasi. Dari jumlah tersebut, sembilan warga tercatat baru pertama kali mendapat vaksin meski pandemi sudah berjalan lebih dari tiga tahun.
Selama ini petugas kesehatan dari Puskesmas Walla Ndimu sebenarnya sudah berusaha memobilisasi masyarakat untuk mengikuti vaksinasi. Namun, luasnya area jangkauan dan keterbatasan jumlah vaksinator membuat usaha ini masih belum maksimal.
“Tidak semua warga bisa menjangkau tempat vaksinasi dengan mudah. Kadang mereka harus keluar uang hingga Rp 50.000 untuk ongkos ojek agar bisa ke tempat vaksinasi,” ungkap Katharina Surach Bato, Project Officer CIS Timor untuk program percepatan vaksinasi.
Kendala tersebut makin diperumit dengan ketersediaan stok vaksin yang terbatas. Kalaupun ada, waktu kadaluarsanya sudah mepet. Padahal, tidak mudah memobilisasi warga dalam waktu singkat.
“Dari sekitar 8.000 sasaran vaksin Puskesmas Walla Ndimu, lebih dari setengahnya belum pernah mendapat vaksin sama sekali. Kegiatan vaksinasi bahkan sempat terhenti sekitar tiga bulan karena ketiadaan stok vaksin,” ungkap Debora Kaka, Kepala Puskesmas Walla Ndimu.

Bagi Debora, kehadiran program percepatan vaksinasi ini sangat membantu Puskesmas dalam menjangkau kelompok-kelompok rentan seperti lansia, baik yang tinggal di komunitas adat maupun yang tinggal di daerah terpencil.
“Kami sangat terbantu dengan kerja kolaboratif ini karena sangat membantu capaian vaksinasi. Akses yang sulit dan staf yang terbatas membuat kami kerap kesulitan menjangkau seluruh masyarakat, termasuk komunitas-komunitas adat. Kami sangat terbantu oleh program ini karena bisa membantu kami dalam memobilisasi dan mengajak masyarakat untuk bisa divaksin,” ucap Debora.