Menjaga Anak Melalui Praktik Pertanian Kakao yang Baik

Siang yang terik di desa Tangkoro, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo. Supriadi (32 tahun) sudah beristirahat dan sedang bersantai di rumahnya. Dia menemani dua orang anak bermain. Anak pertamanya berusia lima tahun dan anak kedua berusia satu tahun.

Sesekali si anak minta digendong dan bertanya mengenai tamu yang menemui bapaknya. “Itu apa Om?” tanya si anak menunjuk kamera. “Besarnya,” dia melanjutkan.

Supriadi (32) bersama anaknya dan teman-teman sebaya anaknya.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Di ruang tamu Supriadi, anaknya bersama teman sebayanya bermain dan berlari kecil, lalu mengambil beberapa mainan. Memamerkannya satu persatu. Lalu tertawa bersama. “Dulu waktu kecil, usia begini saya sudah ke kebun bantu bapak,” kata Supriadi menunjuk anak lima tahunnya.

Bagi dia, membantu orang tua di usia dini menjadi kebanggaan yang sering dituturkan ke beberapa keluarga lainnya. Bahkan pada anak sulungnya, dia sempat mengulangi. Membawanya ke kebun dan memperlihatkannya langsung praktik pertanian yang dijalankannya selama ini.

Jika dia melakukan aktivitas penyemprotan, perlengkapan keamanan tak digunakan. Jika kebetulan ada masker akan digunakan, jika tidak ada juga tak masalah. Berkali-kali aroma pestisida menyengat hidung dan membuatnya linglung.

Supriadi adalah anggota Kelompok Tani Sipurio. Akhir tahun 2020, dia mengenal beberapa pengurus desa yang sedang menginisiasi pembentukan kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Awalnya, seorang kawan yang mengajaknya untuk mendengarkan sosialisasi itu.

Pertemuan pertama, bagi Supriadi, tak ada yang istimewa. Dia menduga kegiatan itu hanya akan berlangsung beberapa kali pertemuan kemudian hilang. Tapi berjalan waktu, pertemuan semakin intens. Dia pun selalu menyempatkan diri untuk menjadi bagian. “Saya dengar mereka bicara soal perlindungan anak. Mereka bicara soal hak anak,” katanya.

Supriadi mulai tertarik dan semakin semangat. Dia hanya ingin memenuhi rasa penasarannya. Sebab baginya, anak adalah tanggung jawab orang tua sendiri, bukan orang lain. “Saya pernah dengar ada perlindungan anak. Pemahaman awal saya adalah memukul dan buat anak luka memang pelanggaran. Itu tidak boleh,” katanya.

“Tapi membentak dan menggertak itu ternyata juga adalah pelanggaran. Itulah pertama saya mulai tertarik dan akhirnya setiap pertemuan saya selalu sempatkan hadir.”

Pemerintah Daerah melalui perangkat Desa, bersama Save the Children bersama LSM ARUS di Wajo dan LSM Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) di Bone sebagai mitra lokal, menginisiasi pembentukan PATBM. Tim inilah yang menjadi motor utama desa dalam melakukan sosialisasi Hak Anak dan Perlindungan Anak. Anggotanya adalah perangkat desa, pemuka agama, tokoh masyarakat, dan paling penting adalah petani.

Ketika tim PATBM mulai bergerak dan menjangkau ribuan petani, mereka menemukan beragam alasan untuk melibatkan anak dalam pekerjaan berisiko. Apa yang diungkapkan Supriadi ini lah yang menjadi salah satu kampanye penyadaran bagi para petani.

Rosmawati (40) memberikan penjelasan tentang pekerjaan berbahaya bagi anak-anak sektor kakao.
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Salah seorang dari tim itu adalah Rosmawati (40 tahun). Dia adalah Ketua PATBM di desa Lompo Loang, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, yang melakukan pendataan dan menemukan hal yang sama. Dia terkejut menemukan fakta lapangan yang menempatkan anak dalam kondisi yang sangat rentan. “Pada intinya semua orang tua dan khususnya petani tahu kalau menjaga anak dari bahaya itu keharusan. Tapi bagaimana hal-hal kecil yang mereka anggap tak berisiko tapi membawa dampak buruk, belum mereka pahami,” katanya.

Rosmawati memberi contoh, beberapa petani masih membolehkan anaknya membantu saat melakukan pemupukan dan melakukan penyemprotan pestisida. “Itu untuk pekerjaan. Hal lain, misalkan jika anak bolos sekolah untuk membantu di kebun, itu adalah perilaku yang sebenarnya dapat merusak anak,” katanya.

“Padahal jika ingin melihat dengan teliti, melibatkan anak dalam pekerjaan berisiko itu, hasilnya pun tak maksimal,” lanjutnya.

“Buka coklat (buah kakao) dengan parang, anak-anak hanya bisa berapa sih. Sementara jika orang dewasa yang melakukannya akan jauh lebih cepat. Saya kira itu perbandingan kecilnya.”

Rosmawati (40), Ketua PATBM di Desa Lompoloang, Wajo
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Namun siklus kemudian berubah. Beberapa petani, yang kemudian menyadari pentingnya pendidikan pada anak, mulai melarang anaknya bekerja di kebun. Dan bila petani memiliki pekerjaan lain, maka mereka akan memperkerjakan orang untuk pemangkasan dan pemupukan.

Di Wajo, sistem pengupahan ini dibayar seperti buruh harian. Per hari setiap orang akan mendapatkan upah Rp70 hingga Rp80 ribu. Pekerjaan seperti ini akan dilakukan beberapa orang, yang kadang kala masih melibatkan anak.

Akhirnya, kebutuhan sistem pengupahan ini tak dikontrol oleh si pemilik kebun. Apakah yang bekerja adalah orang dewasa atau anak. “Nah, di sini beberapa anak yang masih SMP (usia 12-15 tahun) ikut terlibat. Salah satu alasannya karena ingin uang tambahan,” kata Rosmawati.

Lalu bagaimana PATBM mendekati praktik berisiko seperti ini? Di desa Tangkoro, Muhammad Tahir yang juga ketua PATBM menginisiasi kembali sistem gotong royong di antara anggota kelompok. Mereka saling membantu dalam pemupukan hingga pemangkasan. Setiap anggota kelompok akan mendapatkan giliran. “Jika kebunnya tidak begitu luas dan bisa dikerjakan sehari, maka hari berikutnya akan pindah di kebun lain, begitu seterusnya. Jadi selain hemat, praktik pertanian kita akan terkontrol,” katanya. “Minimal tidak melibatkan pekerja anak yang berisiko dalam naungan dahan kakao.”

“Kalau saya jalan ke kebun atau jalan-jalan di sekitar desa, terus melihat ada anak melakukan pekerjaan yang berbahaya, saya singgah cerita sama orang tuanya. Apa saja, lalu pelan-pelan kasih tahu tentang praktik yang dilakukan anaknya berbahaya,” lanjutnya. “Biasanya orang tua itu peringatkan anaknya untuk hati-hati. Itu saja dulu.”

Apa yang dilakukan beberapa kelompok tani di beberapa desa, di dua kabupaten Wajo dan Bone ini seperti gerakan kesadaran bersama untuk menciptakan lingkungan ramah anak.

Gerakan penumbuhan kesadaran itu juga yang dirasakan di desa Kompong, Wajo. Anwar, seorang petani dan guru Sekolah Dasar, sekaligus menjadi ketua PATBM desa Kompong, memahami benar keinginan program ini. “Anak-anak pada dasarnya ingin belajar. Jadi mereka bukan pekerja. Sering kali saya menemukan anak-anak di sekolah kecapaian karena sebelumnya mereka membantu orang tua di kebun. Malamnya harus kembali belajar. Itu menyiksa fisik dan mental mereka,” katanya.

“Di sekolah, saya kasi tahu ke anak-anak, jika mereka melakukan pekerjaan, risiko apa yang kelak mereka dapatkan,” lanjutnya.

Anwar, Ketua PATBM Kompong, Wajo
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

Bagi Anwar, anak sebenarnya telah mengetahui risiko itu. Tapi mereka terkadang tak bisa mengelak perintah orang tua. “Inilah kenapa PATBM menjadi begitu penting. Pelan-pelan, kami mendekati orang tua petani ini. Jika orang tua memahami risiko-risiko pada anak dan keluarganya, maka saya yakin pelan-pelan praktik pertanian kita akan baik dengan tidak melibatkan anak.”

Sementara itu, Nurhidayah (37 tahun), Sekretaris pengurus PATBM desa Kompong, yang sejak awal menemani Anwar berkisah, tersenyum mendengarnya. “Anak-anak harus sehat. Kalau dulu, kita yang sudah tua ini dilibatkan bekerja dengan tingkat risiko tinggi di kebun sama orang tua, harusnya tidak terulang. Untung kita selamat dan tidak terjadi apa-apa kan,” katanya.

Di Desa Kompong Nurhidayah dan Anwar seperti duet yang serasi. Mereka adalah pengurus masjid dan acapkali menjadi pembawa acara dalam sebuah kegiatan. “Kalau saya biasa ceramah saya sisipkan tentang pentingnya melindungi anak,” kata Anwar.

“Nah, kalau saya jadi protokoler (MC) biasa juga saya singgung soal anak ini. Jadi di mana saja ada kesempatan, acara apa pun cerita soal perlindungan anak ini akan selalu saya ulangi. Minimal orang-orang akan menjadikannya bahan perbincangan dan diketahui masyarakat,” kata Nurhidayah.

Nurhidayah bersama anak-anak Desa Kompong
(Foto: Iqbal Lubis / Save the Children)

 

 

Bagikan Artikel Ini

Skip to content scroll to top button