Saat itu, semua siswa di sebuah SD di Kabupaten Pasaman Barat sedang belajar di dalam kelas saat tanah di bawah kaki mereka diguncang gempa. Para siswa yang panik segera berlarian keluar kelas. Di antara mereka banyak yang berlari ketakutan sembari berteriak meminta tolong.
Satu di antara para siswa yang berlarian tersebut adalah Faris (9). Masih terpaku jelas dalam ingatan Faris, sebelum gempa terjadi, ia hendak membuka buku pelajaran. Peristiwa tersebut merupakan pengalaman pertama Faris berhadapan dengan gempa. “Waktu gempa saya sedang di dalam kelas. Saat saya hendak mengeluarkan buku pelajaran tiba-tiba ada gempa, saya pun lari keluar kelas,” ujar Faris. Hingga saat ini, Faris masih kerap merasa ketakutan jika mengenang peristiwa tersebut.

Setelah gempa, banyak rumah siswa yang hancur dan tidak bisa ditinggali lagi, termasuk rumah Faris. Bersama orangtua dan adiknya yang masih berusia empat tahun, Faris pun mengungsi ke sebuah desa di Kabupaten Pasaman selama dua minggu. Di tempat tersebut, ia tinggal di sebuah rumah kosong milik warga setempat. Ia dan keluarganya dipersilahkan untuk tinggal sementara waktu di sana.
“Rumah saya hancur dan sudah tidak bisa ditinggali. Setelah gempa, saya tinggal di posko pengungsian yang terletak di kabupaten lain. Saya tinggal di sana selama dua minggu. Di posko pengungsian saya tinggal bersama orang tua, adik, dan banyak keluarga lainnya. Selama tinggal di pengusian, saya masih merasa takut.”
Selain Faris, terdapat pula 12 keluarga lain yang mengungsi dan turut tinggal di rumah tersebut. Total ada 30 orang yang tinggal berdempet-dempetan di rumah seluas 36m2 tersebut. Karena penuh, Faris dan keluarganya pun terpaksa tidur dan menghabiskan malam di teras rumah itu.
Dari rumah tinggal sementara itu, Faris pindah ke desa lain dan tinggal sementara waktu di rumah kerabat yang ada di sana selama dua minggu. Setelah empat minggu mengungsi, Faris dan keluarganya akhirnya bisa pulang setelah mendapat bantuan hunian sementara dari Palang Merah Indonesia (PMI).
Selain Faris, ada 223 siswa di SD tersebut. Sebagian besar siswa di sana masih mengungsi karena rumahnya rusak dan tidak bisa ditinggali. Meski banyak rumah siswa yang roboh, bangunan sekolah masih berdiri dengan kokoh. Tidak ada siswa yang terluka akibat gempa tersebut. Kegiatan belajar mengajar di SD ini pun kini sudah berjalan seperti biasa.
Mifariani (38) adalah ibu dari Faris dan juga guru di SD tersebut. Meski kini kegiatan belajar mengajar di sekolah telah berjalan seperti biasa, menurutnya masih banyak siswa yang belum kembali ke sekolah karena takut. Selain itu, ada pula siswa yang belum diijinkan kembali ke sekolah oleh orangtuanya. Para orangtua ini merasa takut dan kuatir atas keselamatan anak-anaknya jika harus berada jauh dari mereka.

Pascagempa, Save the Children bekerja sama dengan Jemari Sakato sebagai mitra lokal, memberikan dukungan psikosial pada siswa-siswa di delapan sekolah dasar yang berada di desa tersebut di Kabupaten Pasaman Barat, termasuk di SD tempat Faris sekolah. Hingga Maret 2022, aktivitas ini telah berhasil menjangkau 166 anak. Dukungan psikososial tersebut dilakukan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan psikososial anak di tengah situasi bencana alam, serta untuk mengidentifikasi dan merujuk anak pada layanan kesehatan lebih lanjut jika dibutuhkan.
Faris adalah salah satu anak yang terlibat dalam aktivitas dukungan psikososial. Aktivitas ini membantu Faris untuk sejenak melupakan pengalaman menakutkan yang ia alami sewaktu gempa. Faris merasa sangat senang bisa mengikuti aktivitas dukungan psikososial yang dilakukan dengan menyenangkan dan penuh canda tawa. Ia mengaku mendapat banyak pengetahuan baru dari aktivitas tersebut.
Mifariani, yang merupakan guru sekaligus ibu dari Faris, sangat mengapresisasi dukungan psikososial yang dilakukan Save the Children bersama Jemari Sakato. Selama 16 tahun menjadi guru, baru kali ini Mifariani mengalami rasanya menjadi guru di situasi pasca-bencana. Menurutnya, tantangan utama sebagai guru di situasi ini adalah membuat anak-anak tidak lagi merasa takut untuk kembali bermain dan belajar di sekolah seperti biasa. Dukungan psikososial yang dilakukan Save the Children bersama Jemari Sakato ini ia harap mampu membantu mengatasi ketakutan anak-anak pada situasi pasca-bencana.

Save the Children Indonesia dan Jemari Sakato (mitra lokal) telah melakukan berbagai aktivitas terkait perlindungan anak, salah satunya adalah dukungan psikososial pada anak-anak penyitas gempa. Kami juga membantu para guru untuk meningkatkan kapasitas mereka melakukan dukungan psikososial pada anak-anak, serta meningkatkan pengetahuan mereka terkait pendidikan dalam situasi darurat.
Hingga 30 Maret lalu, kegiatan ini telah berhasil menjangkau 166 anak (71 perempuan dan 95 laki-laki) dan 13 orang dewasa (8 perempuan dan 5 laki-laki). Save the Children Indonesia juga telah menerjunkan tim dukungan teknis untuk membantu memperkuat tim di lapangan agar mampu menyampaikan kegiatan terkait bantuan psikologis awal (PFA) serta kesehatan mental dan dukungan p sikososial (MHPSS).