
JAKARTA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) regulasi baru tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) lewat Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023. Peraturan ini diresmikan pada Selasa, 8 Agustus 2023, dalam sesi Merdeka Belajar Episode 25.
Save the Children Indonesia mendapat kepercayaan dari Kemendikbudristek menjadi salah satu mitra strategis dalam mengawal dan memastikan efektivitas Permendikbudristek PPKSP ini sebagai payung hukum untuk melindungi seluruh warga satuan pendidikan.
Sebelum regulasi ini diresmikan, Save the Children Indonesia berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan. Yanti Kusumawardhani, Child Protection Advisor Save the Children Indonesia, ikut serta dalam tahap uji publik dokumen draf Permendikbudristek PPKSP pada Mei 2023. Mewakili Save the Children Indonesia, ia juga memberikan masukan terhadap 70 lebih pasal yang ada dalam dokumennya.

Nadiem Makariem, Mendikbudristek, dalam sambutannya mengatakan, Permendikbudristek baru ini dibentuk demi menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, menjunjung kebinekaan, dan aman bagi semua pihak di lingkungan satuan pendidikan. Karena itu, salah satu perubahan signifikan dalam Permendikbudristek baru ini ialah menambah definisi kekerasan dari tiga menjadi enam bentuk. Ini mencakup kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung unsur kekerasan.
“Saat identifikasi, kita survei semua sekolah untuk analisa risiko kekerasan, baik itu intoleransi, seksual, maupun perundungan. Setelah data tersebut kita dapatkan, kita validasi dengan organisasi atau lembaga kemanusiaan,” jelas Nadiem.
“Hampir 34% peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26% potensi kekerasan fisik, 36% mengalami perundungan. Ini berarti 1 dari 10 anak mengalami kekerasan. Tidak ada artinya transformasi pendidikan hingga kurikulum, kalau anak-anak kita tidak merasa aman. Jadi kalau tidak selesaikan isu ini, tidak akan ada penyelesaian isu literasi ataupun numerasi,” tegasnya.
Save the Children juga berfokus dalam menangani isu kekerasan dan perlindungan anak. Pada 2021, Save the Children Indonesia melakukan riset formatif terkait gender-based violance (GBV) atau kekerasan berbasis gender di Sumba. Responden riset ini meliputi 602 orang tua, 601 anak, 120 guru, dan para peserta dalam empat sesi diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (FGD).
Temuan riset formatif tersebut mengungkap bahwa 8% anak, 26% guru, dan 20% orang tua menyatakan persepsinya tentang pengaruh budaya lokal terhadap terjadinya kekerasan berbasis gender. Di sisi lain, 28% orang tua, 9% guru, dan 17% anak menyatakan ada praktik budaya lokal yang mendorong kesetaraan gender, yang memberikan harapan bahwa ada potensi praktik budaya yang bisa digali lebih dalam untuk mengurangi kekerasan berbasis gender dan mendorong kesetaraan gender.
Baca lebih lengkap: Pelatihan Manajemen Kasus dalam Sistem Perlindungan Anak sebagai Upaya Kurangi Angka Kekerasan di Sumba
Selain itu, sepanjang tahun 2018-2022, Save the Children Indonesia menjalankan Program School for Change di Nusa Tenggara Timur. Program ini melakukan pendekatan Disiplin Positif dalam meningkatkan kemampuan literasi anak sekolah dasar, sehingga anak tidak lagi mendapatkan hukuman kekerasan, baik secara fisik maupun psikis, jika belum bisa membaca.
Baca lebih lengkap: Dokumen Aksara Tanpa Kekerasan – 8 Cerita Praktik Baik Program School for Change
Save the Children Indonesia berharap Permendikbudristek PPKSP ini, dengan perluasan lingkup sasaran, dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang isu perlindungan anak di antara peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, warga satuan pendidikan, serta masyarakat. Anak-anak dan para peserta didik sudah sepatutnya dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
“Selain itu, kami berharap kepastian hukum yang diberikan melalui Permendikbudristek PPKSP ini akan memberikan pemahaman, tidak hanya bagi tim pencegahan dan penanganan kekerasan dan satuan tugas, tetapi juga untuk mengambil tindakan tegas bagi siapapun yang melakukan kekerasan, terutama pada peserta didik,” jelas Imelda Tirra Usnadibrata, Director Program Development & Impact Save the Children Indonesia.