Save the Children bersama Yayasan Arika Mahina menyelenggarakan Peluncuran Program dan Pelatihan Untuk Pelatih Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat di Maluku pada 22-24 Februari 2024. Pelatihan ini merupakan bagian dari Program Membangun Ketahanan Masyarakat Lokal Berkelanjutan yang diikuti oleh 17 peserta dari perwakilan Pemerintah Desa, Lembaga adat, dan tokoh keagamaan dari Kepulauan Kei dan Kepulauan Banda.
Kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan program dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta dalam ketrampilan Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Selain itu, kegiatan ini juga turut mendorong partisipasi aktif pemerintah desa serta lembaga adat dan agama dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung ketahanan masyarakat terhadap bencana.
“Kami, Save the Children dan Yayasan Arika Mahina berencana untuk membangun ketangguhan di daerah kepulauan berbasis komunitas yang berkelanjutan. Untuk kesempatan kali ini, kami menyasar daerah timur, yaitu di Kepulauan Maluku. Hal ini menjadi tantangan karena berada di daerah kepulauan. Mulai dari seberan penduduk di kepulauan, topografi dan iklimnya. Terutama terkait dengan perubahan iklim di daerah pesisir. Program ini sesuai dengan komitmen Save the Children berkontribusi untuk pemenuhan hak-hak anak di berbagai wilayah,” Kata Roby Yanto Agustus Lay, Humanitarian Specialist dari Save the Children.
Selama tiga hari, kegiatan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah peluncuran program Membangun Ketahanan Masyarakat Lokal Berkelanjutan yang dipaparkan oleh Feby Sihasale, Koordinator Program dari Yayasan Arika Mahina, kepada seluruh peserta serta tamu undangan dari BPBD Kabupaten Maluku Tenggara. Pemaparan ini bertujuan agar para peserta memahami tujuan dan alur program serta manfaat yang diperoleh masyarakat desa sasaran.
Kemudian, sesi kedua adalah Pelatihan Pelatih Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Masyarakat atau Training of Trainer (ToT). Sesi ini dimulai dengan pre-test untuk mengukur pengetahuan atau pemahaman awal peserta tentang materi Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan materi dan metode pembelajaran sesuai dengan tingkat pengetahuan awal peserta.
“ToT yang kami lakukan saat ini menjadi kegiatan pertama yang kami implementasikan sehingga ini juga menjadi awal untuk peluncuran program kerjasama ini yang bertujuan supaya kami dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta yang berasal dari pemerintah desa, lembaga adat maupun lembaga agama dalam keterlampiran memfasilitasi khususnya untuk masalah pengurangan bencana dan juga pengetahuan tentang membuat rencana pengurangan bencana berbasis masyarakat,” Jelas Feby Sihasale, Koordinator Program dari Yayasan Arika Mahina.

Terdapat tujuh materi pelatihan yang dipelajari selama tiga hari. Dimulai dari materi Kajian Risiko Bencana, Perangkingan Ancaman, Diagram Venn, Kalender Musim, Pemetaan, Tehnik Fasilitasi, sampai pembahasan Rencana Penanggulangan Bencana. Di akhir kegiatan, para peserta kemudian melakukan post-test untuk mengukur kembali perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman peserta.
“Beta (saya) belajar soal bencana. Tentang apa itu bencana, apa saja yang mengakibatkan bencana itu terjadi. Tidak hanya itu, beta (saya) juga belajar untuk sama-sama, melalui materi yang disampaikan oleh fasilitator, merancang solusi-solusi untuk bagaimana dapat menanggulangi bencana itu sendiri. Baik dari bencana yang diakibatkan oleh alam, maupun bencana yang merupakan bencana non-alam dan bencana sosial,” ujar Febrin Diana Tellusa, salah satu peserta pelatihan dari perwakilan tokoh agama.
Menurut Febrin, pelatihan yang diberikan membantu mereka dalam memberikan pemahaman tentang bencana alam dan sosial kepada masyarakat, khususnya para jemaat di gereja. Materi yang diberikan membuat Febrin sadar bahwa informasi mengenai kesiapsiagaan bencana sangat penting untuk keselamatan masyarakat dan perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Bagi beta (saya), setelah mengekuti pelatihan ini beta (saya) punya rencana ke depan. Bukan saja beta (saya) pribadi, bahkan juga beta (saya) dan teman-teman punya rencana. Selepas dari kegiatan ini, ketong (kita orang) kembali ke punya ohoi atau desa masing-masing. Ketong kembali mensosialisasikan materi ToT ini kepada unsur-unsur terkait. Mulai dari unsur terkecil, yaitu pemerintah ohoi (desa) bersama dengan seluruh stakeholder, bahkan juga bersama pimpinan gereja. Lalu dilanjutkan ke lingkup besar yaitu ke masyarakat dan para jemaat,” tambah Febrin.