Arjun, 23 tahun, adalah ketua salah satu kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Dia masih muda, tetapi aktif memimpin rekan-rekannya yang lebih tua di kelompok. Mereka bergerak untuk mendukung pemenuhan hak anak di desa, termasuk dalam isu perlindungan anak.
Setelah kelompok PATBM terbentuk pada tahun 2021, hal pertama yang dilakukan Arjun bersama Bunga (45), Lustin (32), Riswan (27), dan anggota lain adalah melakukan pemetaan dan analisa persoalan terkait anak di desa mereka. Ini mereka lakukan setelah mendapatkan pelatihan dari Save the Children dan Yayasan Wallacea lewat program perlindungan anak yang didukung oleh MARS.
“Ternyata desa kami memiliki potensi terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan terkait dengan anak,” kata Arjun.
Pemetaan diawali dengan mendata jumlah anak dan masalahnya. Berikutnya, mereka menganalisa penyebab dari masing-masing permasalahan tersebut. Sebagai contoh, jika terdapat anak yang tidak bersekolah, apa penyebab dan dampak yang akan terjadi? Dari situ, mereka mendapat kesimpulan bahwa hanya ada dua hal yang menyebabkan anak di desa mereka tidak bisa bersekolah, yaitu anak yang bekerja dan faktor ekonomi.
Terkait masalah anak bekerja, mereka melakukan remediasi. Terkait faktor ekonomi, mereka kerucutkan lagi akarnya hingga menemukan persoalan kelengkapan identitas.
Salah satu kasus yang mereka temukan, ada dua anak disabilitas yang tidak pernah terdata dalam program bantuan pemerintah setempat karena dokumen kependudukan tidak lengkap. Setelah membantu kelengkapan administrasi penduduk mereka, kelompok PATBM segera membuat surat permohonan kepada Dinas Sosial. Upaya ini berhasil. Kepala Dinas Sosial mendatangi kedua anak disabilitas ini dan membantu melanjutkan proses pengaktifan layanan jaminan kesehatan nasional (JKN) gratis dari BPJS.
Tak berhenti di situ, rujukan dari PATBM ini juga berlanjut dengan Dinas Sosial memberikan bantuan perbaikan rumah dan kursi roda bagi anak dengan disabilitas fisik, serta membantu anak dengan disabilitas intelektual untuk mengikuti pelatihan ketrampilan tata boga di Kota Makassar.
Kasus lain yang ditemukan Arjun bersama kelompok PATBM adalah pemenuhan akses jaminan kesehatan nasional bagi anak-anak baru lahir yang belum terdata. Suatu hari, salah seorang bayi yang baru berumur 40 hari perlu mendapatkan penanganan khsusus terkait penyakit yang diderita. Karena bayi ini belum terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) desa, layanan JKN BPJS bagi sang bayi belum aktif.
Namun karena advokasi yang terus dilakukan oleh PATBM kepada pemerintah setempat, layanan JKN tersebut bisa diaktifkan dalam waktu yang tepat. Awalnya, proses pengaktifan JKN untuk bayi ini butuh waktu satu bulan. Namun setelah dirujuk ke dinas lain, ada kuota jaminan untuk anak yang sifatnya darurat. Vita*, ibu sang bayi, merasa sangat bersyukur.
“Alhamdulillah, sudah ada JKN BPJS, sehabis diurus KIA-nya (Kartu Identitas Anak). Sebelum ada BPJS, kami sempat pusing bayar rumah sakit. Untuk ruangannya saja Rp150.000 per malam, belum dengan obat-obatnya,” tutur Vita*, orangtua sang anak.
Setelah kasus tersebut dan dua tahun PATBM berjalan, lebih banyak warga desa yang mulai rutin mendiskusikan masalah yang mereka alami ke PATBM.
“Mereka senang ada anggota PATBM, yang jadi penyambung ke pemerintah desa. Masyarakat merasa masih kaku kalau pergi ke pemerintahan. Karena kami dianggap orang muda, mereka tidak kaku kalau bertemu kami. Setelahnya, kami yang jadi penyambungnya ke pemerintah desa, apabila ada yang dibutuhkan. Terkadang mereka juga agak tidak percaya diri,” ungkap Arjun.
Selain penanganan kasus, PATBM juga melakukan edukasi terkait pengasuhan positif dan pencegahan perkawinan anak. Bunga adalah salah seorang anggota PATBM yang juga guru PAUD di desanya. Setelah mengikuti pelatihan dari Save the Children, langkah pertama yang ia lakukan adalah berkeliling dari dusun ke dusun, mengumpulkan para ibu dengan jumlah minimal 15 orang, lalu mengadakan rangkaian sesi sosialisasi terkait pengasuhan anak usia 0 sampai 18 tahun.
“Alhamdulillah, ibu-ibu di sini tertarik dan ada perubahan mengenai pola pengasuhan anak. Pernah ada ibu, yang juga pekerja, mendidik anak dengan kekerasan. Namun selama kami terjun, Alhamdulillah, sudah ada perubahan di antara para ibu. Ada anak umur 3 tahun sudah disekolahkan, anaknya masuk di PAUD saya. Saya kasih semangat orang tua, masuk di PAUD umur 3 sampai 4 tahun tidak perlu membayar, gratis,” jelas Bunga.
Terkait kasus perkawinan anak, angkanya mengalami penurunan. Pada tahun 2017, terdapat empat kasus perkawinan anak. Namun pada 2022, jumlah kasus menurun menjadi satu perkawinan anak. Cara yang ditempuh PATBM untuk menghentikan pernikahan anak dimulai sejak mendengar rencana perjodohan.
“Kami sampaikan efek negatifnya. Kalau usia pengantin perempuan masih muda, nanti saat punya anak, risiko penyakitnya tinggi. Lalu kalau dikawin siri, nanti bisa ditinggal suami dan anak tidak dapat haknya,” jelas Lustin, anggota PATBM.
Bergabung dengan PATBM juga membuat Lustin menyadari bahwa dia cukup keras dalam mengasuh anak. Setelah belajar tentang pengasuhan dari modul Save the Children, dia mulai berbicara dengan lebih lembut. Selain itu, dia juga merasakan langsung apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender. Melalui PATBM, ia bisa memberikan pendapat sebagaimana para laki-laki dalam setiap kegiatan.
Awalnya, ia sempat mendapat penolakan dari laki-laki yang bukan anggota PATBM. Saat melakukan kegiatan, ia sering dicerca bahwa apa yang Lustin kerjakan adalah urusan laki-laki dan bukan perempuan. Ia juga disebut tidak pantas karena tidak bersekolah hingga tingkat pendidikan tinggi.
“Itu jawaban dari mereka, yang saya dapat. Sekarang akhirnya mereka mau, pelan-pelan ada satu-dua orang. Masih banyak yang ragu, tapi masih ada juga yang bilang, ‘Oh iya seperti itu.’ Mungkin laki-laki merasa kaget. Dulu diam, sekarang jadi bersuara,” ungkap Lustin. •
*) Nama disamarkan untuk melindungi narasumber.