Mama Ilo – sapaan akrabnya – sadar betul bahwa pengabdian yang diberikan kepada anak-anak di wilayah desanya mesti sesuai dengan kebutuhan, situasi, juga kondisi anak-anak tersebut. Di desanya yang berada di Sulawesi Tengah, perempuan dengan nama lengkap Elmiatika ini mendirikan kelompok anak yang bertujuan untuk belajar Bahasa Inggris.
Tempat tinggal Mama Ilo yang berstatus desa wisata menjadikannya rutin dikunjungi turis mancanegara. Hal ini tentu berdampak positif bagi perekonomian desa. Meski demikian, masih ada beberapa masyarakat yang belum siap menghadapi perubahan tersebut. Termasuk anak-anak.
“Sampai sekarang selalu ada persiapan (untuk penerapan) desa wisata, bule-bule masuk datang ke sini. Tidak mengapa pelan-pelan belajar bilang yes, sir, ma’am, atau mister. Tapi yang bahaya kalau cuma ngomong ‘give me money mister’. Oh no, gak boleh begitu,” tegas Mama Ilo.
Yang awalnya tergerak karena keresahannya, ternyata dalam prosesnya keinginan Mama Ilo semakin membesar untuk mengajarkan Bahasa Inggris secara mendalam kepada anak-anak di desanya. Di salah satu tempat wisata andalan desanya, anak-anak terpantau sering ‘nongkrong’ untuk menambah pundi-pundi uang jajan. Hal itu ia lihat langsung karena dirinya juga membuka warung makan di lokasi yang sama.
Sebagai salah satu anggota Kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di desanya, Mama Ilo telah dibekali pengetahuan tentang hal-hal terkait perlindungan anak termasuk pekerja anak. Namun kembali mengingat kebutuhan, situasi, dan kondisi anak di desanya, Mama Ilo pun menerapkan penyesuaian khusus.
“Saya selalu bilang, kalau ketemu orang, jangan bilang minta uang saja, tapi tawarkan juga jasa. Anak-anak kan tidak boleh dieksploitasi, tapi anak bisa berkreasi, jadi jangan mengemis – sekaligus mengasah kemampuan bahasa,” jelasnya.
Pendekatan seperti itu juga ia terapkan agar anak-anak tidak membiasakan perilaku-perilaku tercela, termasuk anak-anak yang tidak mendapatkan kontrol ataupun bimbingan dari orang tua maupun orang di sekitarnya. Apalagi, sebelumnya pernah ada kejadian di mana salah seorang anak tertangkap basah mencuri di salah satu warung.
“Supaya kebiasaan yang terbentuk itu belajar, ibadah, dan bermain tapi yang positif,” terang Mama Ilo.
Membangun kebiasaan tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah panjang proses yang Mama Ilo lalui, telah bertahun-tahun. Bahkan, ada beberapa anggota kelompok belajar Mama Ilo yang sudah dewasa, bekerja, hingga ada yang menikah.
Sebelum merutinkan pembelajaran Bahasa Inggris, kelompok belajar Mama Ilo telah fokus menanamkan mindset membaca kepada anak-anak di desanya. Semua itu diawali dari keresahannya yang melihat banyak buku di rumahnya namun kebanyakan bukan untuk anak-anak. Dari situ, ia pun memutuskan untu memberi pelajaran tambahan membaca kepada anak-anak yang masih berusia TK dan SD.
“Setelah saya lihat banyak buku-buku dewasa itu, saya buka-buka lagi dan ketemu buku untuk anak-anak belajar mengeja. Dari situ saya ajarkan yang basic seperti i-ni i-bu bu-di,” kenangnya.
Tak berhenti di situ. Setelah anak-anak sudah bisa membaca, Mama Ilo lalu menerapkan kebiasaan untuk anak-anak membaca buku selama maksimal 10 menit sebelum memulai sesi di kelompok belajar. Setelah membaca, Mama Ilo meminta anak-anak untuk menulis apapun yang didapat dari buku tersebut.
Ia tidak membatasi apa yang ditulis anak-anak. Bisa soal ceritanya, kosa kata baru yang didapat, atau bahkan hal-hal yang tidak berhubungan seperti warna buku atau sampulnya. Menurut Mama Ilo, setidaknya membaca sebentar lalu menulis ulang bisa membiasakan anak-anak untuk berkonsentrasi penuh.
Jika anak SD diajarkan membaca, anak SMP ia ajarkan bahasa asing. Secara pribadi, Mama Ilo sendiri sebenarnya menolak disebut guru karena kesehariannya lebih banyak ia habiskan sebagai wiraswasta. Namun sebutan guru pun sebenarnya tak berlebihan. Karena sama seperti guru, ia bahkan memberikan target kepada anggota-anggota kelompok anaknya.
Seperti untuk murid-murid kelas 4 hingga 6 SD yang sudah akan masuk SMP. Mama Ilo tegas memberikan rentang waktu 6 bulan bagi anak-anak tersebut untuk minimal bisa memperkenalkan diri dalam Bahasa Inggirs.
“Jadi minimal keluar dari sini kalau ditanya, tidak buka buku lagi,” sebutnya.
Kelompok anaknya pun makin berkembang pesat setelah adanya program dampingan dari Save the Children dan Yayasan Panorama Alam Lestari yang didukung Cargill. Program ini memang berfokus mendampingi kader-kader PATBM desa seperti Mama Ilo untuk lebih memahami isu-isu anak, mengidentifikasi masalah hak anak, dan merujuk atau membantu mengatasi masalah tersebut.
Kini, Mama Ilo bahkan kerap kewalahan meladeni anak-anak di kelompok belajarnya yang semakin hari semakin bertambah. Pernah suatu hari 30 anak hadir di waktu yang bersamaan, mulai dari anak TK hingga SMP. Hingga kemudian ia memutuskan untuk membatasi pertemuannya menjadi 1 kali dalam seminggu, juga agar ia tetap bisa menjalankan pekerjaannya.
“Saya bingung mau ditaruh di mana, tempatnya kan kecil. Di sini ada yang dari jauh juga, dari desa sebelah. Banyak dari mereka juga, sampai usul bangun (kelompok anak) di sana biar tidak jauh,” jelasnya.
Tak terbatas soal pendidikan, Mama Ilo pun berharap ingin mengembangkan kelompok anaknya tersebut di sisi kebudayaan. Ia ingin agar anak-anak dapat belajar menari. Sama seperti latar belakangnya di awal, pengabdian yang diberikan kepada anak-anak haruslah menyesuaikan situasi dan kondisi.
Akhir-akhir ini, ia sering melihat anak-anak bermain gadget dan membuka aplikasi media sosial yang banyak berisi gerakan tari. Ketimbang membatasi anak-anak, tutur Mama Ilo, lebih baik mengembangkan potensi yang telah dimiliki.
“Saya kan sering ketemu anak-anak. Kalau di depan kamera, suka goyang-goyang. Jadi saya pikir lebih baik mereka belajar tari yang profesional. Sayangnya, belum ada guru tarinya di kelompok anak ini,” jelas Mama Ilo.