Kisah Livi*, Nino* dan Alvin*, Bangkit Kembali dan Belajar Lebih Nyaman di Sekolah Darurat 

Cerita Perubahan

Letusan gunung api Lewotobi Laki-Laki pada 3-4 November 2024 lalu mengubah total kehidupan warga yang tinggal di lereng. Letusan tersebut melontarkan batu pijar beragam ukuran yang menghantam pemukiman, merusak rumah, serta bangunan sekolah, termasuk sekolah tempat Livi* (11), Nino*(11) dan Alvin*(12) belajar. 

Bangunan sekolah mereka sudah tidak layak untuk digunakan. Beberapa ruang kelas mengalami kerusakan parah akibat hantaman batu pijar yang merobohkan atap dan tembok serta membakar sebagian ruang kelas. Lantai dan lapangan sekolah juga berlubang serta tertutup lapisan tebal sisa hujan abu vulkanik. Kini, anak-anak di lereng gunung sudah tidak bisa lagi belajar di sekolah mereka seperti dulu.  

Usai letusan dahsyat pada dini hari, warga yang tinggal di lereng gunung mulai mengungsi ke tempat yang lebih jauh dan aman. Selama masa pengungsian, mereka sempat berpindah-pindah sebelum akhirnya menetap di Hunian Sementara (Huntara) setelah mendapatkan arahan pemerintah.  

Di pengungsian, Livi, Nino, dan Alvin melanjutkan sekolah mereka tenda-tenda darurat di belakang Huntara. Jumlah tenda yang terbatas membuat dua hingga tiga kelas harus bergabung di bawa satu tenda dan hanya dibatasi dengan sekat-sekat kain. 

Tenda darurat yang dipisahkan menjadi dua atau tiga ruangan untuk digunakan oleh siswa di dekat tempat penampungan sementara 

“Kami satu tenda ada yang tiga kelas sama dua kelas. Jadi kami cukup kesulitan, soalnya kalau kami di sini diam, kelas sebelahnya ribut. Kalau di sebelah diam, kami di sini ribut,” jelas Livi, 

Tidak hanya itu, kondisi di dalam tenda juga panas dengan sirkulasi udara terbatas. Anak-anak merasa kepanasan, mudah kehausan, dan tidak nyaman saat belajar. 

“Kami sekolah di tenda. Kami belajar duduk di terpal dan menulis di meja kecil, papan tulis juga kecil. Panas, ribut, sempit,” ujar Alvin, mengenang saat ia belajar di tenda darurat. 

Ruang belajar yang sempit membuat suasana pembelajaran menjadi kurang kondusif. Akibatnya, pihak sekolah membatasi durasi belajar hanya tiga jam sehari, selesai sebelum sinar matahari terlalu terik. 

Untuk mengatasi hal ini, Save the Children bersama CIS Timor dan mitra lainnya membangun ruang belajar sementara atau sekolah darurat, yang didanai oleh Komunitas Pahlawan Anak (KPA). 

Sekolah darurat ini dirancang dengan memperhatikan sirkulasi udara yang baik dan dibangun di area yang teduh, dekat pepohonan. Ketika kabar sekolah darurat ini tersebar, anak-anak pun merasa senang dan bersemangat untuk kembali belajar. 

Students and teachers with the response team and local government rep pose for a photo in front of their new temporary learning spaces

Siswa dan guru bersama tim tanggap darurat dan perwakilan pemerintah daerah berpose untuk foto di depan ruang belajar sementara mereka yang baru 

“Perasaan saya dapat sekolah baru senang karena bisa mendapatkan fasilitas yang lebih baik. Mendapatkan meja, papan tulis, kursi, gedung baru, kamar WC yang dekat dan mendapatkan pelajaran yang lebih baik,” ungkap Nino. 

Anak-anak memulai hari pertama di sekolah darurat dengan mengikuti kegiatan dukungan psikososial (PSS) yang dipandu oleh para guru terlatih. Kegiatan ini bertujuan membantu mereka meregulasi emosi dan mengatasi dampak psikologis selama masa krisis.  

Dalam sesi PSS, guru mengajak anak-anak mengekspresikan perasaan mereka melalui emoji. Mereka diminta menggambar emosi sebelum dan sesudah pindah ke sekolah baru, dengan contoh seperti emoji tersenyum untuk rasa senang dan emoji menangis untuk sedih. 

Livi* berbagi perasaannya dalam sesi dukungan psikososial yang dipimpin oleh guru di ruang belajar sementara mereka setelah letusan gunung berapi 

“Waktu itu di kelas ibu guru mengajar kami tentang menggambar emoji perasaan kami sebelum dan sesudah kami pindah ke sekolah baru ini. Di sana, saya menggambar emoji pertama, emoji sedih karena rumah saya terbakar dan udara di sana (tenda) juga panas dan susah konsentrasi,” terang Livi. 

“Sedangkan sesudah pindah, saya menggambar emoji kedua yaitu emoji senang karena mendapat sekolah baru. Intinya sekolah yang layak kami gunakan, sejuk, dingin, bisa konsentrasi saat belajar,” tambahnya. 

Nino dan kawannya duduk di ruang belajar sementara mereka yang baru dan menghabiskan waktu belajar bebas 

Di samping itu, Livi, Nino, Alvin dan anak-anak yang mengungsi juga mendapatkan paket perlengkapan sekolah. 

“Kami mendapatkan peralatan sekolah seperti tas, seragam, buku tulis, buku gambar, pensil, spidol, krayon dan peralatan sekolah lainnya yang lengkap,” ungkap Nino. 

“Saya berterima kasih karena telah mendapatkan gedung baru dan bisa belajar bersama teman-teman saya,” tambahnya. 

“Harapan saya itu bisa belajar dengan baik, mendapat nilai yang bagus, bisa mendapat juara satu, dan bisa bergaul dengan teman dari sekolah lain,” ujar Alvin penuh harap. 

Kini, Livi, Nino, Alvin, dan anak-anak yang mengungsi lainnya dapat kembali belajar dengan aman dan nyaman di sekolah darurat. Dengan ruang belajar yang lebih layak serta perlengkapan sekolah yang memadai, mereka bisa melanjutkan pendidikan tanpa hambatan. Meski masih beradaptasi dengan lingkungan baru, semangat mereka untuk belajar tetap menyala, membawa harapan baru di tengah masa pemulihan. 

Teks: Justicia Maulida
Foto: Purba Wirastama/ Save the Children Indonesia
scroll to top button