Setidaknya ada enam kasus pekerja anak kategori pekerjaan berbahaya yang ditemukan di masyarakat petani kakao di Desa Kompong, Sulawesi Selatan, pada tahun 2022. Indikasinya bermacam-macam. Beberapa di antaranya adalah penggunaan benda tajam ketika membantu orang tua di kebun, mencampur pestisida dan melakukan pemupukan, serta mengangkut hasil panen buah kakao dengan mengendarai sepeda motor.
Kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Desa Kompong menindaklanjuti temuan tersebut dengan remediasi. Mereka berkunjung ke setiap rumah dan bertemu dengan para orang tua untuk memberikan sosialisasi tentang perlindungan anak dan isu pekerja anak.
Setelah mendapatkan sosialisasi beberapa kali, orang tua dari anak yang tergolong sebagai pekerja anak cukup memahami. Beberapa keluarga petani ini mendapatkan alat pengganti untuk memecah biji kakao. Tidak lagi dengan parang, tetapi dengan penjepit berbahan kayu. Beberapa anak bahkan tidak lagi mendapatkan tugas memecah biji kakao. Sebaliknya, saat ini anak-anak menggarap tugas yang lebih ringan sesuai batas wajar usianya, seperti memisah biji dari kulit buah kakao atau menjemurnya saat di rumah.
Salah satu anak tersebut bernama Rizal (14). Ayahnya seorang petani yang sangat giat bekerja, dengan lahan yang cukup luas. Dengan demikian, sang ayah perlu bantuan orang lain untuk menggarapnya dengan baik.
Rizal hadir untuk membantu orang tuanya. Bukan karena disuruh, tekad itu datang dari dirinya sendiri, bahkan sudah menjadi kebiasaan sejak masih kecil. Situasi ini dapat dilihat sebagai budaya turun-temurun di desa ini, seperti diungkapkan oleh Nurhidayah (39), sekretaris PATBM Desa Kompong.
“Biasanya kalau anak sudah SMP, ya harus bantu-bantu orang tua. Cuma, karena kehadiran PATBM ini, kami memberi edukasi. Bantu seperti ini yang boleh, bantu seperti itu yang tidak boleh,” ungkap Nurhidayah.
Rizal masih kelas 7 SMP ketika PATBM menemuinya. Dia mulai memahami bahwa anak-anak seharusnya belum boleh dibiasakan untuk membawa barang-barang berat menggunakan sepeda motor.
Selain Rizal, anak-anak lain juga dibantu. Sosialisasi mengenai perlindungan anak membuat mereka menyadari hak-hak anak dan waktu yang sebaiknya dimanfaatkan oleh anak, selain soal pekerja anak. Namun sebelumnya, PATBM pernah mendapatkan stigma yang tidak diharapkan sebab edukasinya disinyalir akan membuat anak-anak menjadi malas.
“Terus siapa yang akan menggantikan? Ayahnya sakit, anak saya juga sudah besar, dia sendiri yang mau sekolah, yang mau beli bensin juga. Masa saya ibunya yang harus nyemprot?” begitu kira-kira salah satu respons warga yang pernah ditemui oleh kelompok PATBM.
Para kader PATBM menjelaskannya perlahan. Upaya mereka tidak pernah berhenti dalam menguraikan isu pekerja anak dan apa bedanya dengan “anak bekerja”. Nurhidayah menjelaskan, pada dasarnya semua kegiatan yang tidak memberatkan dan tidak sampai menganggu sekolah anak selalu diperbolehkan.
Suatu ketika, ada seorang anak lain yang juga pernah ditemui oleh tim PATBM terkait kasus pekerjaan berbahaya. Seperti Rizal, sang anak suka sekali membantu orang tuanya di kebun kakao, terutama untuk penyemprotan pupuk. Dia biasa membantu satu kali dalam sebulan atau tiga bulan dan merasa tidak masalah karena selalu mengenakan masker ketika bekerja. Nurhidayah bercerita, sekilas hal itu cukup aman. Namun karena pencampuran pestisida dan pemupukan itu tidak diperbolehkan oleh anak-anak, dia tetap menasihati sang anak.
“Nanti kalau kamu mau jadi polisi, atau mencapai cita-citamu yang lain, enggak bisa karena kesehatan terganggu, gimana,” terangnya pada anak tersebut.
Selain pekerja anak, kelompok PATBM Desa Kompong juga mendapati kasus perkawinan anak. Sang perempuan masih berusia 16 tahun dan masih bersekolah, sedangkan sang laki-laki berusia 30 tahun. Hari pernikahan mereka berdua sudah terlalu dekat saat PATBM mendapat kabarnya. Mereka akhirnya menjalani pernikahan secara agama, tetapi pernikahan ini tidak tercatat di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil karena usianya masih di bawah 19 tahun.
Kelompok PATBM tetap memberi edukasi dengan cara lain. Nurhidayah mencoba mendekati mereka, mengupayakan hak pendidikan anak ini tetap dipenuhi. Sang anak perempuan dihimbau untuk tetap melanjutkan sekolahnya setelah menikah. Respons mereka baik. Anak perempuan ini tetap bisa bersekolah.
“Sudah (bersekolah) dua tahun hingga hari ini karena dia menikah tahun 2020. Dia masih kelas 3 SMP waktu menikah. Sekarang kelas 11 SMA, masih usia anak,” katanya.
Di lain waktu, seorang anak perempuan hampir saja kehilangan hak pendidikan. Sebelumnya dia sempat pergi merantau dengan orang tuanya ke Sulawesi Tenggara selama dua tahun. Pada tahun 2022, mereka pulang dan kembali tinggal di Desa Kompong. Anak ini sempat tidak bisa bersekolah karena tidak memiliki surat pindah.
Para kader PATBM mencarikan solusinya. Seharusnya anak yang bersangkutan sudah masuk kelas 6 SD. Setelah diusahakan, anak tersebut bisa kembali ke sekolah walaupun harus mengulang dari kelas 3 SD. Di kelasnya, DF memiliki sembilan teman.
Anak itu bernama DF* (12). Dia adalah anak ke-5 dari enam bersaudara. Dua kakaknya sudah menikah dan tidak lagi tinggal bersamanya. Satu kakaknya yang lain masih sekolah dan satu lagi bekerja untuk menafkahi keluarga ini. Sementara itu, adiknya masih kelas 1 SD.
“Kakaknya itu juga termasuk putus sekolah sebetulnya, tetapi enggak bisa ditarik karena dia juga termasuk pencari nafkah utama untuk adik-adiknya,” terang Nurhidayah.
Peran sang kakak cukup penting dalam kehidupan DF. Dia yang membantu semua keperluan sekolah, termasuk makan sehari-hari. Banyak warga sekitar yang juga membantu, sementara bantuan tunai juga telah diberikan kepada keluarga tersebut. Namun, tidak mungkin hanya mengandalkan itu saja. Saat ini, sang kakak bekerja sebagai petani jagung dan memilih untuk berhenti sekolah.
Siang itu sepulang sekolah, DF dan teman-temannya masih bermain. Apa yang mereka lakukan tampak asyik, berlari-larian di siang yang terik. Seorang perempuan memanggil nama DF. Anak itu datang dan mengucap salam, sebelum duduk ikut berbincang bersama kami. Perempuan ini adalah sang nenek yang kini merawat DF dan adiknya. Mereka sungguh sangat akrab.
“Kalau paling suka, pelajaran agama,” ungkap DF. Lantas, apa cita-citamu sekarang? “Ingin jadi dokter, sama seperti cita-cita kakakku,” sambungnya.
Siang itu Nurhidayah tidak sendirian saat ditemui oleh tim dari Save the Children dan Wadjo Foundation. Tiga kader PATBM ada di sana, ikut berbincang. Kelompok PATBM di desa ini memiliki 12 anggota kader yang semuanya aktif saat melakukan kegiatan dengan warga. Itu sudah termasuk [erwakilan dari lima kelompok petani kakao di desa ini. Bahkan, dalam beberapa kali pertemuan dengan warga, kelompok tani turut andil untuk memanggil semua anggotanya. Mereka tidak ingin ada kasus pekerja anak di perkebunan.
“Pernah kejadian, ada petani register, kontrak lima tahun, yang biji kakaonya tidak dibeli karena ditemukan ada pekerja anak dalam sektor pertanian kakaonya,” kata Nurhidayah.
Pembentukan kelompok PATBM di Desa Kompong dimulai pada bulan Agustus 2019. Saat itu, beberapa orang menerima undangan dari Save the Children Indonesia dan Arus NGO untuk mengikuti kegiatan pelatihan dan sosialiasi terkait isu perlindungan anak, hak-hak anak, dan masalah pekerja anak. Kegiatan ini adalah bagian dari Program Perlindungan Anak untuk Kakao Berkelanjutan yang didukung oleh Cargill.
Kegiatan pelatihan dan sosialisasi berjalan selama 10 hari. Setelah itu, para warga peserta membentuk kelompok PATBM yang secara resmi dikukuhkan pada bulan berikutnya.
Seperti pada umumnya, pembagian kerja kepengurusan PATBM terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, seksi informasi dan komunikasi, seksi dokumentasi, dan seksi lapangan. Ranah kerjanya tidak ketat, setiap anggota bisa beralih fungsi saling mengisi. PATBM biasanya mengundang warga untuk sosialisasi di aula kantor desa. Jika dalam pertemuan itu ada yang tidak datang, warga tersebut akan dikunjungi.
“Sekitar 90% masyarakat sudah tahu tentang PATBM. Kegiatan sosialisasi paling banyak di tahun 2020, dilanjutkan di tahun 2021,” ungkap Nurhidayah.
Berkat rangkaian sosialisasi pada tahun 2020, jumlah kasus pekerja anak yang ditemui pada tahun 2021 semakin menurun. Bahkan setelahnya, PATBM lebih fokus untuk merespons laporan warga serta menggali informasi dari pertemuan tatap muka yang informal atau spontan.
Kasman (32) misalnya. Sebagai kader PATBM, dia lebih suka model pendekatan lewat kegiatan sehari-hari, sebelum dia membahas tentang hak-hak anak. Mengingat dirinya adalah anggota kelompok tani, dia menilai cara ini lebih mudah diterima kelompok tani.
“Misalnya kayak nonton bola, main voli, begitu. Mungkin dari awalnya bercanda, terus menjurus ke situ (informasi tentang anak). Karena kalau setiap rumah dikunjungi setiap hari, bisa bosan sendiri,” jelas Kasman.
Nurhidayah juga demikian. Setiap pengajian bulanan, dia berbincang biasa saja dengan ibu-ibu lain. Begitu pula di sekolah PAUD, dia lebih sering berbincang dengan para ibu yang sedang mengantar anaknya. Saat sang ibu menceritakan anaknya, pembicaraan bergeser pada pola asuh sampai ke perlindungan anak.
Kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) juga punya program untuk membantu pembuatan Kartu Identitas Anak. Mereka membantu mendata, merujuk, dan melaporkannya ke kantor catatan sipil. Nur Alim (31), salah satu anggota PATBM yang juga bekerja sebagai Sekretaris Desa, bahkan harus mampir ke desa lain untuk membantu kepengurusan dokumen warga secara daring. Jarak tempuhnya sekitar 30 menit dengan mengendarai sepeda motor. Dia biasa mampir di warung kopi untuk menjangkau jaringan sinyal internet yang memadai.
Cakupan jaringan telepon dan internet di desa ini masih belum tercakup merata. Di beberapa area, sinyal benar-benar kosong. Kondisi tersebut berdampak pada proses komunikasi jarak jauh, terutama yang menyangkut kepentingan publik seperti dokumen warga yang dilakukan ecara daring. Kontribusi ini tidak mudah tetapi harus diperjuangkan.
“Handphone harus aktif dan sinyal baik. Kendalanya, walaupun ini online dan diurus dengan aplikasi Telegram, kita juga tetap harus mengantri. Jaringannya susah, jadi kita perlu bergeser ke desa lain. Itu kita sudah harus siap dan standby sekitar pukul 07.45 sampai jam 08.00. Kalau lewat itu, sudah tidak bisa, harus menunggu di hari berikutnya,” ujar Nurhidayah menjelaskan proses pembuatan KIA.
Kelompok PATBM di Desa Kompong sudah memasuki tahun ke-3 sejak dibentuk. Nurhidayah merefleksikan bahwa PATBM punya manfaat terhadap warga. Seperti ceritanya, sebagian besar orang tua sudah mengutamakan pendidikan untuk anak, sementara anak masih boleh membantu bekerja di kebun selama dalam batas aman. Nurhidayah beserta kader-kader lain juga tidak henti-hentinya mengingatkan warga untuk mengurus dokumen-dokumen penting yang menjadi hak anak.
“Kami hanya mengingatkan, akta itu penting, bukan kapan-kapan, atau waktu nanti usia 6 tahun saat mau masuk sekolah,” ungkapnya.
Waktu menunjukkan hampir pukul satu siang. Percakapan panjang seperti membawanya pada antusiasme yang lain. Semangatnya untuk bercerita masih terjaga.
“Karena kita sudah banyak tahu, ya harus memberitahukan ke masyarakat di desa ini,” pungkas Nurhidayah.
Nur Alim merefleksikan apa yang telah dia kerjakan selama tiga tahun terakhir bersama PATBM. Baginya, anak-anak seharusnya fokus dahulu untuk belajar di sekolah. Pendidikan bagi anak-anak perlu diupayakan.
“Anggaplah kita ini umur sudah 30 tahun atau ke atas, pasti sudah melalui apa-apa yang kita kerjakan dulu waktu anak-anak. Ternyata, apa yang kita lakukan, setelah ada PATBM, itu bertentangan. Ada hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Maka itulah yang harus kita sampaikan bahwa anak harus belajar dulu. Belakangan dulu untuk kerja,” sambung Nur Alim.
*) Nama disamarkan.