Langit* dan Bulan* belum pernah sama sekali merasakan bangku pendidikan. Lokasi tempat tinggal mereka yang terpencil memperparah kondisi mereka sehingga tidak bisa bersekolah. Setiap hari, mereka hanya berinteraksi dengan sang ibu, Luna* (33), dan nenek mereka di sebuah area terpencil di salah satu desa di Sulawesi Selatan. Salah satu syarat penting agar anak dapat bersekolah adalah dokumen kependudukan lengkap. Sayangnya, mereka tidak memiliki karena kondisi keluarga.
Jumahira (26) dan Karlina (26), keduanya anggota kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dampingan program perlindungan anak Save the Children yang didukung oleh MARS, bekerja memastikan hak anak atas identitas dan pendidikan terpenuhi. Mereka aktif mengunjungi Luna dan anak-anaknya, membantu mereka memperoleh kartu identitas dan akses ke sekolah.
Saat kunjungan awal, Luna benar-benar tidak memiliki data diri yang lengkap. Ia bahkan tidak bisa mengingat tanggal lahirnya dan hanya mengingat tanggal lahir kedua anaknya. Melihat urgensi ini, Jumahira dan Karlina pun bergegas membantu Luna untuk memiliki dokumen identitas kependudukan bagi keluarganya.
Prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jumahira, Karlina, bersama teman-teman PATBM lain mengawali proses dengan berembuk, mengatur kelengkapan data yang dibutuhkan dan bolak-balik mengurus ke kantor pemerintahan, mulai dari kelurahan, bidan, desa, hingga pencatatan sipil. Proses ini saja sudah memakan waktu hingga dua bulan.
“Saat proses perekaman ‘iris mata’ untuk KTP, baru terlihat, ternyata selama berpuluh-puluh tahun, Bu Luna* tidak pernah sama sekali memiliki data. Tidak tercatat,” jelas Jumahira.
Setelah mengurus pendataan sang ibu, Jumahira dan Karlina lanjut mengurus pencatatan data Langit dan Bulan. Hingga akhirnya, pada November 2023, kedua kakak-beradik ini sudah mendapatkan tempat untuk bersekolah. Karena mereka sama sekali belum pernah mengenyam bangku pendidikan, kelompok PATBM juga berusaha agar kepala sekolah berkenan memberikan dispensasi.
Dalam prosesnya, kedua anak tersebut sempat akan masuk ke sekolah luar biasa, tetapi kelompok PATBM menolak karena Langit dan Bulan bukan anak disabilitas. Kakak-beradik ini sempat disangka sebagai anak disabilitas karena tidak berkata-kata sedikitpun saat diajak berbicara. Menurut Karlina dan Jumahira, itu karena Langit dan Bulan sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan orang selain ibu dan nenek mereka.
“Kalau ngomong sama orang lain itu kaku. Selama ini, berbicara hanya dengan orang yang betul-betul dia kenal,” terang Karlina.
Beragam solusi dibicarakan oleh Karlina dengan kepala sekolah. Mulai dari sekolah daring, tetapi sulit karena keterbatasan alat. Lalu pemberian buku, tetapi tidak jadi karena Langit dan Bulan dinilai perlu melakukan interaksi dengan pihak lain. Hingga akhirnya, mereka memutuskan agar Langit dan Bulan pergi ke sekolah minimal satu kali dalam satu minggu.
“Alhamdulillah, kepala sekolah serta guru-guru lain juga kami ajak komitmen untuk melindungi Langit dan Bulan. Jangan sampai ada bully karena kondisi mereka yang sudah besar tapi baru bersekolah,” jelas Karlina.
Selain kasus Luna dan anak-anaknya, kelompok PATBM desa ini juga mengupayakan seorang remaja agar dapat kembali bersekolah. Sang anak saat itu memilih kabur dari pesantren dan ditemukan oleh ayah Jumahira. Dia sedang menyusuri jalan di antara kebun kakao, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari pesantren.
Setelah beberapa hari, Jumahira bertemu dengan orang tua sang anak dan memberikan saran agar anak ini bersekolah di sekolah reguler.
“Awalnya, kami ditentang. Orang tuanya bilang, kalau mereka lebih tahu apa yang terbaik untuk anaknya dibanding kami. ‘Karena saya yang pelihara, bukan kamu,’ katanya,” kenang Jumahira.
Jumahira dan anggota PATBM tidak menyerah. Mereka terus membujuk agar anak ini dapat kembali bersekolah.
“Saya bujuk, saya bilang, ‘Kak, pikir masa depannya anak. Pikir, mau jadi apa anak?Setidaknya ada ijazah SMA,’” jelas Jumahira.
Hingga akhirnya, tiba titik di mana Jumahira memilih berhenti sejenak membujuk orang tua tersebut. Namun setelah itu, ia terkejut dan sekaligus lega saat melihat anak ini berangkat ke sekolah reguler di wilayah mereka.
“Ada kebanggaan. Walaupun awalnya melalui proses yang rumit, tapi Alhamdulillah, anak-anak tersebut bisa kembali bersekolah,” ungkap Jumahira. •
*) Nama disamarkan untuk melindungi narasumber.