Sore itu awan gelap menyelimuti salah satu sekolah di Rancaekek, Jawa Barat. Angin yang semula berhembus pelan lambat laun menjadi kencang. Dari kejauhan, terlihat kolom udara yang berputar di bawah awan mulai menukik ke bawah membentuk pusaran puting beliung.
Para murid dan guru yang melihat pemandangan itu dari halaman sekolah mulai terlihat was-was. Seorang murid bahkan tampak mulai menangis ketakutan karena beberapa tahun yang lalu rumahnya pernah hancur dihantam puting beliung.
Puting beliung yang menghantam Rancaekek pada Februari lalu tersebut berlangsung sekitar setengah jam dan melukai puluhan orang serta merusak ratusan rumah. Meski begitu, sekolah ini berhasil lolos dari terjangan angin tersebut. Para murid dan guru pun selamat dan tidak ada satupun yang menjadi korban.
Saat angin mulai mereda, awan mulai memuntahkan hujan deras disertai kilat dan gelegar petir. Meski cuaca tidak kondusif, para guru mulai bergegas meminta muridnya untuk pulang ke rumah.
Kawasan di sekitar sekolah selalu dilanda banjir jika hujan deras mulai turun. Akibatnya, akses jalan banyak yang terputus sehingga para murid bisa terjebak banjir jika tidak bergegas untuk pulang.
Rancaekek terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kawasan ini semula merupakan kawasan hijau yang banyak memiliki pepohonan dan persawahan. Namun seiring berjalannya waktu, kawasan ini kini telah beralih menjadi kawasan industri dan permukiman yang padat penduduk.
Masih jelas dalam ingatan Sri Nuryani (57) saat ia pertama kali mengabdi sebagai guru di sekolah ini hampir 30 tahun yang lalu. Saat itu kawasan di sekitar sekolahnya masih dikelilingi oleh area persawahan, sedangkan area permukiman masih belum terlalu padat.
“Saya datang ke sini tahun 1995. Saat itu lingkungan di Rancaekek masih banyak area persawahan dan belum padat penduduk seperti sekarang,” ungkap Sri.
Laju pembangunan di Rancaekek yang tidak diimbangi dengan penghijauan membuat kawasan ini selalu dilanda banjir saat musim penghujan. Sebagian besar rumah murid dan guru pun selalu terendam banjir kala hujan deras turun.
“Rumah saya di Rancaekek selalu terendam banjir saat musim hujan. Hal ini disebabkan karena daerah resapan air semakin berkurang karena banyak area persawahan yang diubah menjadi area permukiman sehingga air hujan tidak bisa tertampung dengan baik,” ungkap Sri.
Tidak hanya rumah yang selalu dilanda banjir saat hujan tiba, di sekolah pun demikian. Hampir semua ruang kelas selalu terendam banjir jika hujan turun dengan deras.
“Jadi kalau hujan deras, air itu biasanya akan masuk ke dalam kelas. Setelah banjir surut, waktu belajar kita akan tersita untuk bersih-bersih kelas dan itu sangat mengganggu,” ungkap Fauzan (15), salah satu murid SMP.
Selain mengganggu aktivitas belajar, banjir juga mempengaruhi tingkat kehadiran murid di sekolah. “Saat musim hujan, rumah teman-teman banyak yang kebanjiran. Akibatnya, banyak dari mereka tidak masuk sekolah karena perlengkapan sekolahnya basah terkena banjir,” ungkap Raja (14), murid SMP.
Rancaekek merupakan salah satu kawasan prioritas nasional dalam kaitannya sebagai kawasan yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Karena itu, Save the Children Indonesia, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) Jawa Barat, dan Yayasan Sheep Indonesia bekerja sama dengan pemerintah dan sekolah untuk membantu anak-anak agar lebih siap menghadapi perubahan iklim melalui Program Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat.
Salah satu yang dilakukan adalah dengan melibatkan anak-anak dalam pemetaan risiko bencana di lingkungan mereka yang terkait dengan perubahan iklim. Melalui program ini, diharapkan anak-anak akan memiliki ketahanan dan ketangguhan dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim, serta memiliki kemampuan dan kecakapan dalam membangun lingkungan yang memungkinkan mereka untuk tetap aman dan terlindungi.
“Saya banyak mendapat pengetahuan baru dari program ini. Pertama, saya jadi lebih paham ciri-ciri atau keadaan di sekitar sebelum terjadi bencana alam. Sedangkan yang kedua, saya jadi tahu cara mengatasi dan beradaptasi dengan bencana alam yang sering terjadi di sekitar seperti banjir,” ungkap Raja.
Selain memberi pengetahuan baru terkait mitigasi dan adaptasi, program ini juga mengajak murid untuk bersikap kritis terhadap perubahan iklim yang terjadi di sekitar mereka.
“Dari program ini saya belajar untuk berpikir secara kritis terkait penyebab dan dampak perubahan iklim, serta solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampaknya,” ungkap Mei (15), murid SMP.
Agung Cahyono (57), salah seorang guru di SMP, sangat mengapresiasi program Adaptasi Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat yang dilakukan di sekolahnya.
“Hasil dari program kemarin, saya lihat anak-anak rasanya menjadi lebih waspada dan siap dalam menghadapi perubahan iklim karena banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang mereka dapatkan. Jadi menurut saya lanjutkan program tersebut, positif hasilnya,” ungkap Agung.