Dukungan bagi Anak-Anak dan Orang Muda dengan HIV/AIDS di Yogyakarta

Cerita Program

HO*, 21 tahun, sudah lama menerima kenyataan bahwa dia harus hidup dengan virus HIV di tubuhnya. Pemerintah telah memberikan obat gratis dan dia juga rutin meminumnya sejak kecil. Namun mengambil obat ini dari rumah sakit adalah kesulitan tersendiri baginya dan keluarga.

HO tinggal bersama kakak dan ayahnya di sebuah kamar kos sederhana di sebuah desa di Yogyakarta. Sang ibu sudah meninggal saat HO masih bayi. Dia hidup dengan HIV karena tertular ibunya sejak lahir.

HO tidak bisa menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar seperti anak-anak dan remaja pada umumnya. Dia juga sudah berhenti sekolah sejak kelas 1 SD karena sering dirundung. Sehari-hari, HO membantu ayah mengumpulkan barang rongsok dan bekas. Mereka berkeliling dengan sepeda atau becak sejak pagi hingga petang. Penghasilan utama mereka untuk makan bersumber dari barang-barang yang berhasil mereka jual. Mereka juga sisihkan sedikit untuk ditabung.

HO sudah tahu sakit apa yang ada di tubuhnya dan paham bahwa dia harus minum obat setiap hari supaya tidak sakit. Dia minum obat pagi hari sebelum berangkat memulung. Sang ayah membantu memberi pemahaman tentang pengobatan kepada HO dan mengingatkan kapan saatnya minum obat. Ayahnya berharap HO selalu sehat.

“Saya tidak mau sakit, jadi minum obat terus,” ungkap HO.

HO dan ayahnya harus mengambil obat untuk HIV setiap bulan di rumah sakit yang jauh di kota. Ini adalah kesulitan lain karena persoalan ekonomi. Ongkos transportasi ke kota tidaklah murah dan mereka hanya punya sepeda untuk bepergian.


NA*, 16 tahun, mengalami hal serupa. NA terlahir dengan virus HIV karena tertular ibunya. Ayahnya telah meninggal karena AIDS saat NA masih kecil. Tidak mudah baginya menjalani kehidupan ini. NA harus bertahan hidup dengan ibunya, menjalani pengobatan yang ada.

Kondisi perekonomian mereka membaik ketika ibunya menikah lagi. Dari pernikahan kedua ibunya, lahirnya dua adik NA. Namun, NA menghadapi masalah kesehatan lain. Dia mendapatkan diagnosa berat yang membuat dia harus menjalani tranfusi darah seminggu sekali.

Saat pandemi COVID-19, NA harus bertahan untuk tetap bisa menjalani tranfusi darah di rumah sakit. Berat karena pada masa itu, pasien tranfusi wajib menjalani tes swap COVID-19 terlebih dahulu. Saat anak-anak remaja lain bersekolah dari rumah, NA harus berjuang melawan HIV dan kanker, serta keluar masuk rumah sakit. Tindakan medis untuk masalah kesehatannya juga dijalani tahap demi tahap.


Yayasan Victory Plus dengan dukungan Save the Children memberikan bantuan nontunai bagi anak-anak dan orang muda dengan HIV/AIDS di Yogyakarta, termasuk HO dan NA, senilai Rp300 ribu setiap bulan selama tiga bulan pada akhir 2023 dan awal 2024. Bantuan ini diberikan demi meringankan beban keluarga anak-anak dan orang muda seperti HO dan NA dalam mengakses layanan kesehatan, memenuhi kebutuhan gizi, serta memenuhi kebutuhan mendasar lain.

Sebelumnya, HO dan NA juga telah menjadi anggota kelompok dukungan sebaya dampingan Victory Plus. Di kelompok ini, mereka bertemu dengan anak-anak dan orang muda lain yang juga hidup dengan HIV/AIDS. Mereka saling bertukar cerita dan menguatkan satu sama lain.

Bagi HO dan ayahnya, bantuan nontunai ini sangat bermanfaat. Mereka memakainya untuk ongkos transportasi saat hendak mengambil obat di fasilitas kesehatan dan membeli makanan. Mereka juga tetap menyisihkan sebagian untuk ditabung.

“Senang dapat bantuan itu karena sesuai dengan kebutuhan kami. Bisa ditabung, untuk bisa menambah, untuk beli motor nantinya,” kata ayah HO.

Impian untuk hidup lebih baik menjadi harapan HO dan ayahnya. Mereka punya harapan besar untuk bisa membeli sepeda motor dengan hasil tabungan. Sepeda motor ini akan digunakan untuk memulung dan keperluan sehari-sehari. “Saya berharap bantuan ini bisa terus ada,” ungkap ayah HO.

Sementara itu bagi NA dan keluarga, bantuan nontunai ini ibarat sedikit embun kelegaan. Mereka memakainya untuk membeli salep dan obat untuk mengurangi rasa nyeri hebat di perut. Ini adalah obat yang tidak tercakup dalam tanggungan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

“Berharap bantuannya berlanjut untuk ditabung dan buat modal usaha. Saya membuat batik jumputan dan pernak-pernik, lumayan bisa untuk uang saku dan jajan adikku,” ungkap NA.

Keinginan sehat dan sembuh membuat NA bertahan hingga detik ini. Kondisi disabilitas tidak membuat NA malu bersekolah di sebuah sekolah luar biasa. Di sela pengobatan, tangan mungil NA merangkai manik-manik menjadi kalung dan aksesoris lain untuk dijual. Di depan rumahnya, beberapa kain jumputan hasil karyanya dipamerkan dan siap dijual.

Dukungan ini adalah bagian dari program kolaborasi Save the Children dan Yayasan Victory Plus untuk membantu anak-anak dan orang muda dengan HIV/AIDS yang mengalami tantangan ganda selama pandemi dan masa transisi setelahnya. Selain bantuan nontunai, kegiatan program juga meliputi peningkatan kapasitas orangtua, wali, atau pengasuh ADHA dalam pengasuhan ADHA, serta peningkatan kapasitas bagi bidan, perawat, dan kader kesehatan mengenai HIV & AIDS di lima kabupaten/kota di Provinsi Yogyakarta. •

*) Nama disamarkan untuk melindungi kontributor cerita.

Teks: Magdalena Diah (Victory Plus), Purba Wirastama (Save the Children)
Skip to content scroll to top button