Orangtua Intan* (17) memiliki toko kelontong di rumah mereka di sebuah desa di Poso, Sulawesi Tengah. Keseharian ibunya adalah menjaga toko dan kerap membantu pelayanan di gereja dekat rumahnya. Sedangkan ayahnya bekerja mengelola keperluan toko dan sering berada di luar rumah. Hal ini menjadi salah satu penyebab hubungan Intan dan ayahnya canggung dan tidak begitu akrab.
Hubungan canggung Intan dan ayahnya memuncak ketika sang ayah memukulnya di depan teman-temannya. Pemukulan ini terjadi bukan tanpa sebab. Saat itu, kala ibunya sedang sakit, ayahnya meminta Intan untuk menjaga sang ibu sewaktu sedang keluar rumah. Namun, ketika ayah kembali, ia melihat Intan sedang bermain bersama temannya di luar rumah. Melihat hal itu, ayahnya tidak bisa mengontrol emosi dan memukul Intan. Tidak lama setelah kejadian itu, Intan memutuskan untuk pergi dari rumah tanpa mengabari kedua orang tuanya.
Asri (49) mendengar kabar tentang kepergian Intan dari para tetangga dan teman-teman Intan. Sebagai salah satu anggota kelompok Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Asri kemudian bergegas untuk mencari keberadaan Intan. Dia menemui ibu Intan terlebih dulu untuk mengetahui penyebab sang anak kabur dari rumah.
Ibunya sempat ragu untuk bercerita. Namun pada akhirnya, ia menceritakan permasalahan keluarganya dan kronologi kepergiaan Intan. Ibunya merasa sangat cemas dan khawatir dengan keselamatan Intan. Namun, di sisi lain dia juga takut jika Intan pulang dan bertemu kembali dengan sang ayah. Asri menjamin bahwa ia dan kelompok PATBM akan melindungi Intan setelah ditemukan.
PATBM adalah gerakan berbasis masyarakat di tingkat desa yang digagas oleh pemerintah nasional. Di desa ini, kelompok PATBM dibentuk dan didampingi oleh Save the Children Indonesia dan Yayasan Panorama Alam Lestari, bekerja sama dengan pemerintah lokal, sebagai bagian dari program perlindungan anak yang didukung oleh Cargill. Melalui Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat, warga desa didukung untuk lebih memahami isu-isu anak, mengidentifikasi masalah hak anak, dan merujuk atau membantu mengatasi masalah tersebut.
Setelah sekian lama menghilang, akhirnya Intan kembali pulang ke rumah. Saat fajar, ibunya membawa Intan ke rumah Asri untuk tinggal selama sementara waktu karena takut Intan dipukul oleh sang ayah begitu kembali ke rumah. Ia berharap PATBM dapat melindungi. Asri menyambut keduanya dengan hangat. Asri rutin mengajak Intan berbicara sambil makan bersama.
Setelah beberapa saat, Intan kemudian mencurahkan isi hatinya kepada Asri. Intan mengaku ia tidak mau pulang karena tidak mau dipukul lagi oleh ayahnya. Ia bahkan berencana untuk berhenti sekolah. Mendengar itu, Asri menasehati Intan untuk tidak berhenti sekolah. Selepas menguatkan Intan, akhirnya Asri mengantarkan Intan kembali pulang ke rumah.
Selama satu pekan penuh, Asri mengunjungi rumah orangtua Intan setiap malam untuk berbincang dengan mereka dan memberi nasihat tentang keharmonisan keluarga. Strategi penyelesaian masalah ini Asri terapkan setelah mendapatkan pelatihan terkait PATBM dari Save the Children.
“Kami bilang, ‘Tidak boleh begitu, Intan anakmu itu perempuan. Tidak begitu cara menegur anak. Apalagi di depan teman-temannya,'” tutur Asri.
Selain itu, Asri juga melakukan sosialisasi perlindungan anak di gereja setelah acara Sekolah Minggu. Harapannya, edukasi secara kekeluargaan yang didukung dengan sosialiasi saat kegiatan bersama semakin memudahkan orangtua untuk memahami isu perlindungan anak.
Ibu Intan bersyukur dengan adanya PATBM di desa. Ia sering mengikuti sosialisasi yang diadakan di gereja dan menjadi sadar tentang peran orang tua kepada anak. Dengan kejadian sebelumnya, sang ibu juga merasa lebih dekat dengan Intan.
“Saya dapat penjelasan peran orang tua dan anak bagaimana karena selama ini, kami menjalani hubungan dengan anak hanya biasa-biasa saja. Setelah sosialisasi, jadi tahu bagaimana dekat ke anak. Saya rangkul dan dekat lagi dengan anak,” ungkap ibu Intan.
“Sebelumnya, dengan Intan sudah dekat, tapi setelah (kejadian) ini, saya makin dekat dengan Intan,” imbuhnya.
Intan sendiri juga merasa lega dengan kehadiran PATBM. Ia menjadi lebih terbuka untuk bercerita dan mencurahkan isi hatinya kepada kader PATBM. Intan mengingat kata-kata dari Asri yang membuatnya nyaman dan berani untuk terbuka, “Tidak apa-apa bicara saja.” Hal ini membuat Intan menjadi tenang dan menceritakan hal-hal yang selama ini dia simpan tentang orang tuanya. Saat ini, hubungan Intan dan kedua orang tuanya telah pulih. Intan berharap ia dan kedua orangtuanya bisa lebih mengerti satu sama lain.
“Saya bisa bicara dan terbuka bilang, ‘Mama, saya suka ini.’ Jadi, kayak lebih tenang, lebih terbuka, tiada sembunyi-sembunyi, tiada beban pikiran,” ungkap Intan. •
*) Nama disamarkan untuk melindungi narasumber.