Aksi Generasi Iklim

Krisis iklim berdampak langsung pada anak-anak di seluruh dunia dan menjadi ancaman besar terkait kebertahanan hidup, akses untuk mendapatkan pendidikan dan perlindungan. Jika tidak melakukan sesuatu untuk merespons krisis iklim ini, kita akan memberikan beban yang berat bagi anak-anak di masa yang akan datang.

Suhu bumi diprediksi sedang menuju kenaikan sebesar 2,7º C pada akhir abad ini. Kenaikan suhu sebesar itu akan menyebabkan kerusakan yang sangat masif di muka bumi dan memicu terjadinya bencana alam lebih banyak.

Risiko ini telah diketahui oleh dunia dan dibahas pada tanggal 12 Desember 2015 yang dikenal dengan Persetujuan Paris (Paris Agreement), yang selanjutnya diadopsi ke dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Persetujuan ini kemudian dinegosiasikan oleh 195 perwakilan negara-negara dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB Tahun 2015 atau COP21 di Paris, Perancis.

Hingga Juli 2021, Perjanjian Paris telah ditandatangani oleh 197 negara dan diratifikasi oleh 195 negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Persetujuan Paris pada 22 April 2016 dan meratifikasinya menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2016.

Untuk memenuhi skenario membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5º C yang dicanangkan pada Perjanjian Paris, dunia perlu mengurangi emisi hingga hampir 8% per tahun dari 2020 hingga 2030. Kita memiliki waktu kurang dari 10 tahun untuk bertindak dan menyelamatkan generasi yang akan datang dari dampak terburuk krisis iklim.

Save the Children mengambil peran dalam mendukung anak-anak dalam menyuarakan suara mereka, terutama anak-anak yang paling terpinggirkan dan telah mengalami dampak buruk dari krisis iklim. Kita harus memastikan bahwa anak-anak dapat menjadi bagian dari solusi dan mempengaruhi keputusan para pengambil keputusan dari tingkat lokal, nasional, hingga global.

Berdasarkan laporan Save the Children International, Born Into The Climate Crisis, aktivitas manusia yang melakukan eksplorasi berlebihan pada bahan bakar fosil dan industri perusak lingkungan lainnya, serta kelambanan pemerintah dalam mengambil kebijakan yang berpihak pada lingkungan, menyebabkan anak-anak yang akan menanggung beban kerugian, seperti terganggunya kesehatan, hingga kehilangan lahan atau tanah, warisan budaya, pengetahuan lokal, dan keanekaragaman hayati sebagai akibat dari krisis iklim.

Pemodelan yang dikembangkan oleh tim peneliti iklim internasional, yang dipimpin oleh Vrije Universiteit Brussel, menemukan bahwa anak yang lahir pada tahun 2020 akan mengalami rata-rata dua kali lebih banyak kebakaran hutan; 2,8 kali lebih banyak mengalami kejadian gagal panen; 2,6 kali lebih banyak mengalami kejadian kekeringan; 2,8 kali lebih banyak mengalami banjir; dan 6,8 kali lebih banyak merasakan gelombang panas sepanjang hidup mereka dibandingkan dengan orang yang lahir pada tahun 1960. Data menunjukkan bahwa anak-anak dari banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang akan lebih banyak menanggung beban.

Melalui laporan tersebut, Save the Children International mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasi ketidakadilan iklim secara langsung serta memenuhi janji yang dibuat untuk anak-anak dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Konvensi Hak Anak (CRC). Untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris, pemerintah, donor, sektor swasta, dan lembaga multilateral harus:

  • Mengambil tindakan ambisius dan mendesak sekarang untuk membatasi pemanasan hingga maksimum 1,5°C di atas tingkat pra-industri, termasuk dengan secara cepat menghapus penggunaan dan subsidi bahan bakar fosil.
  • Meningkatkan komitmen pendanaan iklim, baik untuk mitigasi maupun adaptasi, sebagai pengakuan bahwa krisis iklim adalah masalah hak anak yang pertama dan terburuk mempengaruhi anak-anak. Ini termasuk memenuhi janji yang belum terpenuhi untuk memobilisasi setidaknya USD 100 miliar per tahun, dengan setidaknya 50% berkontribusi terhadap langkah-langkah adaptasi yang mendukung negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam mengelola dampak perubahan iklim yang tak terhindarkan, selain mengejar jalur pembangunan hijau.
  • Mengakui anak-anak sebagai pemangku kepentingan yang setara dan agen perubahan utama dalam menangani krisis iklim dan lingkungan, termasuk dengan membangun mekanisme dan platform yang ramah anak untuk memfasilitasi keterlibatan formal anak-anak dalam pembuatan kebijakan iklim.
  • Meningkatkan sistem perlindungan sosial untuk mengatasi peningkatan dampak guncangan iklim pada anak-anak dan keluarga mereka, dengan ambisi untuk beralih ke manfaat anak universal dari waktu ke waktu sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan membangun ketahanan.

Sejalan dengan rekomendasi tersebut, Save the Children Indonesia berkomitmen untuk menjalankan kampanye nasional untuk mengurangi dampak terburuk dari krisis iklim yang saat ini telah mulai dialami oleh anak-anak dan masyarakat. Kita akan memberikan ruang bagi anak-anak untuk menyuarakan suara mereka dan meningkatkan kesadaran masyarakat, membuat gerakan di komunitas mereka dan mengajak anak-anak lain serta masyarakat umum untuk terlibat, dan berbicara pada para pengambil keputusan terkait masa depan mereka.

Masa depan generasi yang hidup di hari ini sangat ditentukan oleh krisis iklim yang terjadi sekarang. Anak-anak berhak untuk bersuara serta beraksi bagi generasi mereka. Aksi untuk Generasi Iklim.

Skip to content scroll to top button